“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Lima
"Kamu marah? Cemburu?" tanya Axel lagi. Entah mengapa dia ingin tahu jawaban dari wanita itu. Sebenarnya dia yang merasa cemburu melihat Elena menatap foto suaminya. Axel tahu ini salah. Tapi, dia tak bisa menolak perasaan itu. Elena hanya tersenyum. Belum menjawab pertanyaan pria itu.
Elena menatap layar ponselnya cukup lama. Foto itu masih terpampang di sana, seakan menantang hatinya untuk merasakan sakit lagi. Tapi anehnya, rasa perih itu sudah tak lagi tajam. Yang tersisa hanya rasa kecewa, rasa hampa.
Axel duduk di sofa, menunggu jawaban Elena. Ada rasa cemas di sorot matanya, tapi ia menutupinya dengan ekspresi santai.
“Aku udah nggak punya alasan buat cemburu, Axel,” akhirnya Elena berkata pelan, tapi mantap. “Rasa cintaku ke Aldi, rasa cemburuku ke dia, udah mati dari pertama kali aku tahu dia selingkuh sama Lisa.”
Axel sedikit terkejut mendengar kalimat itu. Elena bahkan menyebut nama sahabatnya dengan tenang, padahal dulu setiap mendengar nama itu, dia akan langsung menangis atau marah.
Elena menghela napas panjang. “Yang tersisa sekarang cuma kecewa. Kecewa sama diri sendiri kenapa selama ini aku terlalu sabar. Kecewa karena aku bertahan di pernikahan yang cuma bikin aku hancur.”
Axel mencondongkan tubuhnya sedikit. “Lalu sekarang?” tanya Axel hati-hati.
Elena menatap mata Axel, seolah mencari kepastian dari sosok itu. “Sekarang aku cuma mau selesai. Aku mau keluar dari lingkaran ini, Xel. Aku mau bebas. Pernikahan ini udah salah dari awal, karena kami menikah tanpa restu dan tanpa seorangpun tau. Bisa tolong carikan aku pengacara? Aku mau urus perceraian secepatnya.”
Axel menatapnya lama, memastikan apakah Elena benar-benar yakin dengan keputusannya. Namun melihat sorot mata wanita itu yang tak lagi ragu, Axel hanya mengangguk. “Baik. Aku akan carikan pengacara terbaik untukmu. Perceraian ini harus berjalan lancar.”
Elena tersenyum kecil, meski senyumnya pahit. “Terima kasih.”
Axel meraih kepala Elena dengan lembut, mendekatkan ke dadanya. Gerakannya begitu hati-hati seolah khawatir Elena akan menolak. Tapi wanita itu tidak menolak. Malah tubuhnya seperti melemas ketika merasakan dekapan hangat itu.
Axel mengusap rambut Elena perlahan. “Kamu udah cukup kuat sejauh ini. Aku janji kamu bakal keluar dari ini semua dengan kepala tegak. Kamu nggak sendirian.”
Suasana hening. Hanya suara hujan di luar yang masih terdengar samar. Elena memejamkan mata. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa benar-benar nyaman.
Entah sejak kapan, tubuhnya merasa begitu lelah. Kelopak matanya terasa berat. Ia bahkan tak sadar kapan tepatnya ia tertidur di dada Axel.
Pagi menjelang.
Elena perlahan membuka mata. Sinar matahari menembus tirai, membuat ruangan terasa hangat. Butuh beberapa detik sampai ia sadar di mana dirinya berada.
Yang pertama ia rasakan adalah posisi kepalanya. Ia sedang berbaring di paha seseorang.
Refleks Elena menoleh. Axel ada di sana, duduk bersandar di sofa dengan posisi setengah tidur. Matanya terpejam, napasnya teratur.
Elena menatap wajah Axel lama-lama. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar. Perhatian pria itu begitu tulus, bahkan dia rela tidur semalaman hanya dengan duduk demi menemani dirinya.
“Terima kasih, Xel ...,” bisik Elena lirih.
Ia pelan-pelan bangkit agar tidak membangunkan Axel. Namun pria itu justru membuka mata ketika merasakan gerakannya.
“Kamu udah bangun?” tanya Axel dengan suara serak.
Elena mengangguk. “Maaf, aku bikin kamu tidur kayak gitu.”
Axel menggeleng santai. “Nggak apa-apa. Yang penting kamu kelihatan lebih tenang sekarang.”
Elena tersenyum kecil. “Iya. Makasih kamu udah ada di sini.”
Axel berdiri, meregangkan tubuhnya sebentar. “Mau sarapan? Aku bisa pesan makanan. Atau mau aku masakin sesuatu?”
"Sebaiknya kita sarapan di kantor saja, sudah telat," ucap Elena.
"Baiklah. Kamu mandi di kamar tamu saja," ujar Axel. Elena mengangguk dan berjalan masuk ke kamar tamu.
Sementara itu, di apartemen Lisa.
Aldi terbangun dengan kepala berat. Rasa pusing karena alkohol masih terasa. Ia menatap sekeliling dan mendapati dirinya masih di kamar Lisa.
Lisa sedang duduk di meja rias, merias wajahnya. Melihat Aldi bangun, ia berbalik. “Udah bangun? Kamu tidur kayak mati, nyenyak banget."
Aldi duduk di pinggir ranjang, menatap lantai. Rasa bersalahnya semakin menekan. Tapi di saat bersamaan, amarahnya juga membara.
“Aku harus ketemu Axel,” ucap Aldi tiba-tiba.
Lisa berhenti memoles lipstiknya. “Buat apa?”
“Aku mau dia berhenti deketin Elena. Aku mau dia tahu kalau Elena itu istriku.”
Lisa mendengus kecil. “Kamu serius? Bukannya kamu sendiri yang bikin pernikahan kalian hancur?”
Aldi menatap Lisa tajam. “Aku tahu aku salah. Tapi Elena tetap istriku. Aku nggak akan biarin dia sama Axel.”
Lisa menggigit bibirnya, merasa kesal tapi menahan diri. “Ya sudah. Tapi jangan bikin masalah yang bikin semua orang tahu aib kita.” Lisa tak mau berdebat. Dia yakin Elena tak akan mau lagi dengan Aldi.
Aldi tak menjawab. Ia cepat-cepat bangun, mengambil kemejanya, dan bersiap. Dalam hati ia sudah mantap.
Pagi ini, kantor Axel terasa cukup tenang. Elena duduk di ruang kerja Axel, mengenakan baju ganti yang Axel sediakan. Rambutnya diikat santai, wajahnya terlihat lebih segar.
Di meja ada sarapan yang baru saja selesai mereka nikmati bersama. Axel duduk di seberang Elena, matanya sesekali menatap wanita itu.
Suasana yang tadinya hening berubah ketika pintu ruangan terbuka dengan paksa dan keras. Aldi berdiri di ambang pintu. Napasnya memburu, wajahnya tegang.
“Elena!” serunya.
Elena terkejut. Cangkir yang baru saja hendak ia angkat nyaris terjatuh. “ Mas Aldi?”
Axel bangkit dari kursinya, ekspresi wajahnya langsung berubah waspada. “Apa yang kamu lakukan di sini, Di?”
Aldi melangkah masuk dengan tatapan marah. Pandangannya tertuju pada Elena yang duduk santai dengan sarapan di depannya, dan pada Axel yang berdiri melindungi.
“Kalian sarapan berdua?” tanya Aldi dengan suara yang bergetar menahan emosi.
Axel berdiri tegap. “Kamu nggak pantas marah, Aldi. Ini kantorku. Dan kamu datang tanpa izin.”
“Aku datang untuk bilang satu hal.” Aldi menatap Axel tajam. “Jauhi istriku.”
Ruangan itu mendadak hening. Elena mematung mendengar ucapan Aldi. Axel mengernyit, tak percaya.
“Istrimu?” ulang Axel dengan nada dingin.
Aldi mengangguk. “Ya. Elena adalah istriku. Dan aku nggak akan biarkan kamu mendekatinya lagi.”
Elena berdiri pelan, sorot matanya tajam. “Mas Aldi, cukup!” suaranya meninggi. “Kamu nggak punya hak lagi ngomong begitu setelah semua yang kamu lakukan!”
Aldi menoleh pada Elena, seakan tak percaya mendengar nada dingin itu. “Aku suamimu, Elen. Kamu tetap istriku.”
Elena menatapnya dengan mata yang berkilat. “Dan aku akan segera jadi mantan istrimu. Aku sudah minta Axel carikan pengacara. Kita akan segera bercerai.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar dada Aldi. Rahangnya mengeras.
“Jadi kamu benar-benar mau ninggalin aku? Demi dia?”
“Aku ninggalin kamu demi diriku sendiri,” jawab Elena tegas. “Aku capek disakiti terus. Kamu dan Lisa... kalian udah cukup menghancurkan aku. Aku nggak mau jadi korban lagi.”
Aldi terdiam. Nafasnya berat. Matanya merah menahan emosi.
Axel maju selangkah. “Aldi, kalau kamu datang ke sini cuma untuk bikin keributan, sebaiknya kamu keluar sekarang. Dan satu lagi, sejak kapan Elena menjadi istrimu. Bukankah kau mengatakan kalau dia hanya teman sekantor?"
"Aku menyembunyikan ini semua hanya untuk sementara. Aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan pada keluarga!"
"Tapi sayang Mas Aldi, waktumu sudah habis. Aku yang kali ini tak bersedia kau akui sebagai istri. Aku tak mau orang tau kamu adalah suamiku. Itu hanya akan membuatku malu, karena selama ini tak pernah diakui. Hanya sebagai istri di dalam buku saja!"
"Elen, kamu dulu setuju. Kalau kita akan mengatakan ini di saat semua telah siap!"
"Tak perlu! Sudah aku katakan, jika aku ingin kita berpisah."
"Kamu dengar, Aldi. Kalau Elena sudah tak menginginkan kamu lagi."
"Axel, apa kamu tak malu mendekati Elena, dia itu kakak iparmu. Aku, suaminya. Abang sepupumu!"
Elena terkejut mendengar ucapan Aldi. Tak menyangka jika Axel adalah sepupu suaminya.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2