Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Udara di lantai pimpinan selalu terasa berbeda. Bukan sekadar dingin; ini adalah dingin yang artifisial, agresif, dan disengaja. Pendingin udaranya secara konsisten disetel beberapa derajat lebih rendah daripada lantai-lantai lain di bawah, berfungsi sebagai pernyataan kekuasaan yang subtil. Sebuah pengingat fisik bagi siapa pun yang dipanggil ke lantai ini agar tetap waspada, sedikit tegang, dan mungkin sedikit takut.
Ajun Komisaris Besar Polisi Daniel Tirtayasa merasakan dingin itu menembus lapisan kain kemeja seragamnya, yang sudah kusut dan terasa seperti kertas amplas di kulitnya. Kekusutan itu adalah cerminan dari kondisi mentalnya. Tidur adalah sebuah kemewahan yang mustahil diraih selama dua puluh empat jam terakhir.
Pikirannya tidak bisa berhenti. Ia terjebak dalam lingkaran setan yang mengulang dua gambaran yang saling berperang, dua obsesi yang menolak untuk pergi.
Yang pertama adalah gambaran jendela kamar Nadia yang terbuka. Sebuah detail yang salah, sebuah anomali yang terasa seperti jangkar bagi instingnya yang berteriak.
Yang kedua, yang jauh lebih mengerikan, adalah kesadaran yang dingin dan menusuk bahwa Dr. Samuel Adhinata aset forensik paling berharga di timnya, anggota lingkaran intinya telah berbohong tepat di depan wajahnya.
Bukan kebohongan yang rumit. Itu adalah pengkhianatan yang tenang. Daniel bisa melihatnya dengan jelas: wajah Samuel yang tenang dan akademis di TKP kedua, saat dia sengaja mengabaikan skalpel bermata obsidian itu. Benda yang seharusnya menjadi pusat perhatian forensik, namun Samuel melewatkannya begitu saja. Lalu, dengan otoritas ilmiahnya yang tak terbantahkan, dia mengarahkan seluruh tim pada narasi 'media' sebagai alat penyebaran pesan si pembunuh.
Dia sengaja mengabaikan skalpel itu.
Dia mengarahkan kami pada 'media'.
Kenapa?
Pikiran itu adalah racun. Asam yang menggerogoti setiap sisa logika dan ketenangan yang dimilikinya. Dan bagian terburuknya? Dia tidak bisa membagi racun ini dengan siapa pun. Jika analisisnya salah, dia akan terlihat seperti komandan paranoid yang putus asa dan mencari kambing hitam di dalam timnya sendiri.
Jika dia benar... Ya Tuhan. Jika dia benar, itu berarti dia tidak sedang memburu serigala. Dia telah mengundang serigala itu untuk duduk semeja dengannya, memberinya akses ke setiap strategi, setiap pemikiran, setiap rencana di meja perangnya. Dia, sang "Gembala", telah menyerahkan kunci kandang domba kepada pemangsa.
Dan kini, dalam kondisi mental terburuk dalam hidupnya, ia dipanggil menghadap Jenderal. Dengan tangan kosong.
Daniel berhenti satu langkah di depan pintu kayu jati yang masif dan mengintimidasi. Dia memaksa paru-parunya untuk mengambil satu napas dalam yang bergetar. Dia menekan amarahnya pada Samuel. Dia menekan paranoia yang mencengkeramnya. Dia menekan kelelahan yang menggerogoti tulangnya. Dia mengubur semuanya dalam-dalam, menarik topeng profesionalismenya. Menjadi "polisi" lagi. Menjadi "Ajun Komisaris" yang tenang. Menjadi "Gembala" yang tidak boleh goyah.
"Masuk," suara Brigjen Hartono yang berat terdengar dari dalam, bahkan sebelum buku-buku jari Daniel sempat menyentuh permukaan kayu.
Ruangan itu, yang terakhir kali ia masuki dengan penuh harapan untuk meminta pembentukan Satgasus, kini terasa seperti ruang pengadilan. Atmosfernya berat oleh kegagalan. Brigjen Hartono tidak duduk di kursi kebesarannya yang seperti singgasana di balik meja. Ia berdiri kaku di depan jendela raksasa yang membentang dari lantai ke langit-langit, membelakangi Daniel. Punggungnya adalah benteng yang tegang.
Dari sana, Hartono memandangi lanskap Jakarta yang terbentang di bawah sibuk, kacau, dan sama sekali tidak peduli pada drama yang terjadi di menara gading ini.
Keheningan yang menyusul adalah sebuah siksaan terencana. Hartono membiarkannya menggantung, memekakkan. Daniel bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Sepuluh detik berlalu. Dua puluh.
"Ahmad Sahroni," kata Hartono akhirnya. Suaranya pelan, terkendali, dan mematikan. "Seorang negarawan. Seorang pilar Senayan. Seorang teman pribadi Presiden. Dan sekarang, dia menjadi headline."
Dengan satu gerakan cepat yang mengejutkan untuk pria seukurannya, Hartono berbalik. Wajahnya yang biasanya terkendali seperti topeng batu, kini merah padam karena amarah yang ditahan. Di tangannya ada tumpukan koran pagi dan sebuah tablet. Ia melemparkan koran-koran itu ke meja oval besar di antara mereka. Bunyinya sangat keras di ruangan yang senyap itu.
Foto TKP, foto yang seharusnya hanya dimiliki oleh timnya dan tidak boleh keluar terpampang di halaman depan, buram namun tidak salah lagi. Daniel merasakan gelombang mual naik ke tenggorokannya. Kebocoran ini, ditambah pengkhianatan Samuel, terasa seperti konspirasi.
"ISTANA DI ATAS AWAN DISERBU: PEMBUNUHAN POLITIK?"
"SANG HAKIM MENYERANG PEJABAT ELIT: SISTEM KEAMANAN KEPOLISIAN GAGAL TOTAL!"
Hartono menyentuh tabletnya. Layar besar di dinding yang tersembunyi di balik panel kayu menyala, menampilkan klip berita pagi.
"...kegagalan aparat dalam melindungi tokoh sekaliber Ahmad Sahroni menimbulkan pertanyaan serius," seorang pengamat politik berkacamata berbicara dengan fasih di layar. "...apakah ini murni kriminal, atau ada upaya sistematis membungkam lawan-lawan RUU Migas yang akan datang? Kita semua tahu posisi almarhum sangat vokal menentang klausul impor yang baru..."
Hartono mematikan suaranya di tengah kalimat.
"Kau tahu apa yang aku lakukan sejak pukul empat pagi tadi, Daniel?" geram Hartono, suaranya tidak lagi pelan. Dia mulai mondar-mandir di depan jendela, seperti macan di dalam kandang. "Aku menjawab telepon! Telepon dari Istana, yang bertanya dengan 'tenang' tapi nadanya menuntut. Telepon dari Mabes, yang tidak setenang itu. Telepon dari ketua partai almarhum yang berteriak-teriak di telingaku menuntut jawaban!"
Hartono berhenti dan membanting telapak tangannya ke tablet. "Mereka tidak bertanya soal 'penebusan' atau 'dosa'! Mereka bertanya soal 'RUU Migas'! Mereka bertanya kenapa polisi 'diam' dan 'tidak kompeten'!"
Daniel berdiri tegak, berusaha menahan diri. "Jenderal, ini bukan pembunuhan politik. Semua bukti, signature-nya..."
"MOTIFNYA?!” Raungan Hartono meledak, memecahkan ketegangan di ruangan itu. Urat-urat di lehernya menonjol. Tinjunya menghantam meja kayu solid itu dengan kekuatan brutal. Cangkir kopinya yang setengah penuh terlempar, menumpahkan cairan hitam pekat ke atas tumpukan koran yang baru saja dilemparnya.
"Aku tidak peduli dengan motif teologismu yang rumit!" bentak Hartono, napasnya memburu. "Aku peduli pada fakta bahwa aku memberimu SATGASUS! Aku memberimu carte blanche! Anggaran tak terbatas! Orang-orang terbaik yang bisa kuminta!"
Ia melintasi ruangan dalam tiga langkah panjang dan menunjuk lurus ke dada Daniel, jarinya menusuk seperti belati. "Dan sebagai balasannya, kau membiarkan politisi paling berpengaruh di negeri ini dibantai di dalam bentengnya sendiri, tepat di bawah hidung tim pengintaimu!"
"Kami tidak mengintainya!" bantah Daniel, suaranya kini juga naik, adrenalin menutupi kelelahannya. "Kami sedang mengejar petunjuk yang salah! Sebuah distraction! Pelaku..."
"Pelaku sedang menertawakan kita!" potong Hartono, suaranya lebih keras dari Daniel. "Dia sedang menertawakan aku! Kau datang ke ruanganku ini, Daniel. Kau menjual kepadaku sebuah teori indah tentang 'Gembala' dan 'perang psikologis'. Kau bilang kau butuh tim kecil yang tajam."
Hartono kini berdiri sangat dekat, Daniel bisa mencium bau napasnya campuran kopi pahit dan tembakau cigarillo yang mahal.
"Dan apa yang dilakukan tim 'tajam'-mu saat Sahroni dibunuh? Hah? Mereka sedang mengawasi seorang asisten kamar mayat di Bekasi yang bahkan tidak bisa membayar tagihan listriknya! Kau membuang seluruh sumber daya elitku untuk mengejar umpan! Umpan yang jelas-jelas ditanam musuh!"
Pukulan itu telak. Daniel terdiam, rasa sakitnya menusuk lebih dalam dari amarah. Karena itu seratus persen benar. Dan umpan itu, ironisnya, diberikan oleh anggota timnya sendiri.
"Jenderal, ini rumit," kata Daniel, mencoba mengendalikan emosinya, suaranya nyaris putus asa. "Pelaku ini... dia ada di dalam kepala kita. Dia tahu... dia tahu terlalu banyak. Analisis Dr. Maya..."
"Persetan dengan analisis Dr. Maya!" raung Hartono. "Persetan dengan 'luka trauma' dan 'khotbah'! Ini dunia nyata, Daniel. Ini bukan ruang kuliah psikologi forensikmu! Ini adalah Jakarta. Dan aku punya mayat politisi di lemari pendingin dan media yang membakarku hidup-hidup!"
Hartono menatap Daniel, matanya menyipit menjadi dua celah berbahaya. "Atau jangan-jangan kau terlalu menikmati permainan psikologis ini? Kau dan para 'ahli'-mu itu sibuk berteori dan berfilsafat, sementara di luar sana orang-orang penting mati!"
Tuduhan itu menggantung di udara, kejam dan tidak adil. Amarah Daniel sendiri kini membara. "Jadi apa yang Anda ingin saya lakukan, Jenderal? Menangkap 'tersangka politik' acak untuk menenangkan media? Menangkap salah satu lawan RUU Migas untuk dijadikan tumbal?"
"Yang aku ingin kau lakukan adalah MENANGKAP PEMBUNUHNYA!" teriak Hartono, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Daniel. "Bukan memahaminya! Bukan berdebat filsafat dengannya! Tangkap dia! Bawa dia ke sini dalam kantong mayat kalau perlu, aku tidak peduli! Hentikan pembunuhan ini!"
Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya terganggu oleh deru napas Hartono yang memburu. Sang Jenderal berjalan kembali ke mejanya, mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bukan lagi jenderal yang marah; dia adalah seorang birokrat yang terpojok, berjuang untuk kariernya.
"Dengar, Daniel," katanya, suaranya kini lebih lelah, tapi tak kalah mematikan. "Aku melindungimu saat kau meminta Satgasus. Aku mempertaruhkan jabatanku untuk teori 'ujung tombak'-mu itu. Sekarang, giliranmu melindungiku. Dan kau gagal."
Daniel menelan ludah yang terasa pahit. Dia tidak bisa mengatakan apa yang sebenarnya dia curigai. Dia tidak bisa bilang, 'Jenderal, saya rasa ahli forensik yang saya rekrut, Dr. Samuel, baru saja berbohong padaku dan dengan sengaja menyabotase timku.'
Dia memutar skenario itu dengan cepat di kepalanya. Dia mengatakannya. Apa yang akan Hartono lakukan? Dia akan tertawa. Dia akan melihat Daniel bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai atasan yang tidak kompeten, paranoid, dan panik, yang menyalahkan kegagalannya pada anak buahnya sendiri. "Jadi, kau terdesak, dan kau menyalahkan timmu?" Dia akan dicopot saat itu juga, dianggap tidak stabil. Dia terjebak. Sendirian dengan racunnya.
"Beri saya waktu," bisik Daniel. Itu satu-satunya hal yang bisa dia katakan.
"Waktu?" Hartono tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. "Waktu adalah kemewahan yang sudah tidak kita miliki, Komisaris. Sahroni adalah korban ketiga. Aku tidak akan menunggu korban keempat. Media tidak akan membiarkanku menunggu."
Sang Jenderal duduk di kursinya, akhirnya. Matanya menatap Daniel, sedingin es, tanpa emosi.
"Kau punya dua minggu, Daniel. Empat belas hari."
"Jenderal, itu tidak mungkin. Kita bahkan belum tahu..."
"Empat belas hari," ulang Hartono, memotongnya dengan nada final. "Bawakan aku pembunuhnya. Bukan teori. Bukan profil psikologis. Tapi seorang pria dalam borgol. Jika dalam empat belas hari kasus ini masih 'dingin'..."
Dia berhenti, membiarkan ancaman itu menggantung di udara yang dingin.
"Satgasus 'Operasi Penebusan' akan kububarkan. Aku akan menyerahkan kasus ini kembali ke Jatanras dan membiarkan mereka mengejar 'motif politik' yang semua orang inginkan."
Hartono menatap Daniel dengan tatapan yang menghancurkan semua sisa harapan.
"Dan kau... akan kucopot dari kasus ini. Kutarik dari lapangan. Aku akan menempatkanmu di meja administrasi, mengurus logistik, sampai kau pensiun. Mengerti, Ajun Komisaris?"
Setiap kata adalah pukulan. Dicopot. Dibubarkan. Dipermalukan. Meja administrasi.
Daniel bisa melihatnya dengan jelas: sebuah ruang bawah tanah tanpa jendela di Mabes, berbau debu dan kertas tua. Dirinya yang menua di balik tumpukan dokumen, menghitung staples dan mengurus nota bensin. Sementara di luar sana, Sang Hakim masih bebas, menertawakan "Gembala" yang telah dikebiri.
Itu bukan hanya akhir dari karirnya. Itu berarti Sang Hakim menang.
Daniel merasakan darahnya mendingin. Tekanan di ruangan itu kini terasa fisik, seolah dinding-dindingnya merapat, menghisap semua oksigen.
Dia memaksakan bahunya untuk tegap. Jika dia akan tenggelam, dia akan tenggelam sambil berjuang.
"Mengerti, Jenderal."
Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Daniel berbalik, setiap langkah terasa berat seolah kakinya terbuat dari timah. Dia tidak lari. Dia berjalan. Dia mencapai pintu kayu jati yang berat itu dan menariknya terbuka.
Pintu itu menutup di belakangnya. Suara 'klik' pelan dari mekanisme kunci itu terdengar seperti pelatuk yang ditarik.
Empat belas hari.
Hitungan mundurnya resmi dimulai.