NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:408
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kuil di Bawah Darah

Langkah Bell meninggalkan Helmsgrave tanpa suara. Di tangannya, fragmen pertama bersinar redup, denyutnya terasa seperti detak jantung asing yang terus berdetak dalam saku jubahnya. Cahaya itu hangat—dan untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, Bell merasa sedikit… hidup.

Tapi perasaan itu tidak bertahan lama.

Angin mendadak berhenti.

Bayangan membesar di atas bukit batu yang menghadap reruntuhan.

Dan dari kabut, suara langkah mendekat—berat, lambat, namun membawa tekanan yang menusuk dada. Udara terasa lebih padat. Rerumputan menghitam. Burung-burung diam. Dunia seakan tahu: sesuatu yang mengerikan telah tiba.

Bell tidak perlu menoleh.

Ia sudah mengenali auranya.

“Dia mengirimmu, ya.”

Sosok itu muncul dari kabut—tinggi, bersenjata dua pedang kembar, tubuhnya dibalut baju zirah hitam berduri, dan wajahnya tersembunyi di balik topeng iblis yang membeku dalam senyuman sadis. Di punggungnya, sayap tulang seperti kelelawar terbentang, dan matanya menyala merah tua.

Namanya: Drevarn, Penjagal Jiwa.

Salah satu Enam Tangan Rahlzephon, prajurit elit neraka yang hanya turun ke dunia fana bila lawan mereka terlalu penting untuk dibiarkan hidup.

“Dua abad kau sembunyi dalam reruntuhan dan sunyi,” kata Drevarn, suaranya dalam seperti logam yang digesek. “Tapi sekarang, kau keluar… dan menyentuh sesuatu yang bukan hakmu.”

Bell tetap diam.

Drevarn mengayunkan satu pedangnya ke tanah—dan dari tanah itu muncul retakan seperti sarang laba-laba. “Kau menginginkan kematian, Bell. Tapi jangan berharap mendapatkannya dengan damai.”

“Aku tidak mencari damai.”

“Aku mencari akhir.”

Tanpa aba-aba, Drevarn melesat.

Kedua pedangnya seperti kilatan hitam yang merobek udara. Bell menangkis dengan pedangnya, tubuhnya terpental ke belakang, menghantam pilar batu dan menghancurkannya. Tapi ia berdiri lagi—mata ungunya menyala lebih terang.

Pertarungan mereka menggetarkan tanah. Setiap tebasan Drevarn membelah batu. Setiap serangan Bell menimbulkan kilatan cahaya dari fragmen di tubuhnya. Dunia di sekitar mereka seolah memudar—yang tersisa hanya kegelapan dan kilau kematian.

Namun Drevarn bukan sekadar iblis biasa.

Ia tahu gaya bertarung Bell. Ia tahu celah dalam gerakannya. Ia pernah mengamati Bell… sebelum Bell menjadi kutukan.

“Tak ada tempat di dunia ini untuk makhluk seperti kita,” kata Drevarn di sela benturan pedang. “Terimalah. Ikuti jalan iblis. Setidaknya, kita bisa membuat dunia menderita seperti kita.”

Bell menatapnya dingin. “Kau salah satu dari mereka yang menerima neraka. Aku… memberontak padanya.”

Dalam ledakan cahaya terakhir, Bell melepaskan tebasan bercahaya dari fragmen Archelion, menembus dada Drevarn dan membuat tubuhnya terpental jauh, hancur menabrak batu.

Darah iblis berwarna hitam mengalir dari mulut Drevarn. Tapi ia tertawa… walau tubuhnya sekarat.

“Kau akan dicari… oleh yang lebih kuat dariku.”

Bell berbalik, membiarkan iblis itu larut dalam kabut. Ia tahu Drevarn belum sepenuhnya mati—iblis sekelas dia hanya bisa dibunuh dalam altar tertentu. Tapi itu bukan tujuannya hari ini.

Yang penting:

Bell telah membangunkan neraka.

Dan mereka tidak akan tinggal diam.

Cahaya dari fragmen pertama masih berdenyut lembut di tangan Bell, bahkan setelah ia meninggalkan reruntuhan Helmsgrave dan tubuh Drevarn yang terkubur kabut. Tapi sekarang… cahaya itu mulai berubah. Merah. Lebih panas. Seperti darah yang mulai mendidih.

Fragmen itu… menunjukkan arah.

Bell berdiri di tepi lembah yang dalam, menghadap dataran kosong tempat perang besar pernah terjadi. Tanah itu sekarang merah, bukan karena cahaya senja, tapi karena darah yang pernah tumpah di sana masih menolak diserap bumi.

Tempat itu dikenal sebagai:

> "Val D'rethon" – Ladang Pembantaian Abadi."

Dulu, di sanalah kerajaan manusia terakhir bertempur hingga titik darah penghabisan melawan pasukan iblis. Ribuan jiwa melayang, dan sihir dari kedua belah pihak menciptakan luka abadi di dunia—sebuah celah yang memuntahkan darah dari dalam tanah.

Di bawah lembah itulah tersembunyi Kuil Archelion Kedua, yang dulunya hanya legenda.

Bell turun perlahan ke dalam lembah. Setiap langkahnya menapaki tanah basah berwarna merah gelap. Angin di sana berbau besi, busuk, dan sesuatu yang jauh lebih tua dari kematian.

Dan saat ia mencapai titik terdalam dari lembah…

...tanah itu terbelah.

Sebuah jalan batu menurun terbuka dengan sendirinya, digerakkan oleh resonansi fragmen di tubuhnya. Pilar-pilar batu menjulang dari dalam, penuh ukiran yang berisi ratapan dan doa para ksatria yang gugur di medan perang.

Kuil Kedua Archelion tersembunyi di bawah sana.

Namun tidak sunyi.

Bell mendengar suara…

—bukan iblis, bukan roh…

Tapi nyanyian, suara lembut perempuan yang menyanyikan bahasa lama dunia—bahasa suci yang bahkan iblis tak berani tirukan.

Nyanyian itu berasal dari dalam kuil. Tapi itu bukan lagu penyambutan.

Itu adalah perangkap.

Bell menarik tudungnya lebih dalam, menatap jalan menuju bawah tanah yang gelap dan memancarkan hawa panas. Ia tahu, tempat ini bukan sekadar kuil. Ini adalah makam massal, dan banyak dari mereka yang terkubur di sini… tidak pernah benar-benar mati.

> “Kematian tetap hidup di tempat ini,” gumam Bell.

“Dan aku akan berjalan melewatinya… lagi.”

Dengan satu napas panjang yang tidak dibutuhkannya, Bell memasuki kedalaman Kuil di Bawah Darah, di mana Fragmen Kedua Archelion tersegel dalam suara-suara jiwa yang belum pernah berhenti menangis.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!