“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
“Ara ... boleh nggak, cincin kamu dijual dulu? Uangnya pinjemin ke saya. Atau, digadai dulu juga boleh. Nanti saya ganti kok ....” Ucap Bu Sum sore itu, sambil memasang senyuman semanis madu.
Ara mengernyit, mengangkat sebelah alisnya. “Cincin saya?”
Bu Sum mengangguk cepat. “Iya, nanti saya ganti, kok. Saya butuh cepat, untuk arisan.”
Ara tersenyum kecil, tangannya bergerak memainkan cincinnya.
“Anda ini, lucu juga ya, Bu. Selama ini ... Anda selalu berkomentar paling pedas tentang hidup saya—katanya saya ini janda gatel yang punya pekerjaan gak jelas—bangun warung pakai uang haram. Lalu, kenapa Anda justru meminjam cincin yang sudah pasti berasal dari uang haram?”
Perkataan yang dilontarkan Ara, sukses membuat air muka Bu Sum berubah total.
“Saya tau loh, Bu—Anda selalu menyebarkan cerita miring tentang saya ke para tetangga. Selain pekerjaan, Anda juga sangat heboh membicarakan tentang perceraian saya. Tapi, Bu, tetangga-tetangga di sini nggak sebodoh yang Ibu kira—nggak akan langsung menelan gosip tak mendasar itu mentah-mentah.”
Ara pernah mendengar sendiri kala Bu Sumiyati menyebarkan gosip ke para tetangga bahwa penyebab Ara diceraikan—karena suaminya sudah tidak tahan lagi menghadapi sifat Ara yang pemarah, angkuh dan juga pemalas. Ditambah lagi, Ara digosipkan sering menghambur-hamburkan uang sang suami. Dan tentunya, gosip itu berasal dari Bu Syam, mantan mertua Ara—yang tak lain merupakan teman arisan Bu Sum.
(SYAM, SUM, SAYA GEBUK JUGA NIH LAMA-LAMA KALIAN BERDUA 🫵)
Bu Sum terkekeh kaku. “Aduh, Ara. Itu kan ... saya ... hanya bercanda.”
Ara ikutan terkekeh. “Bercanda? Bu, menjelek-jelekan orang lain nggak akan ngebuat Ibu jadi lebih baik di mata orang lho.”
Bu Sum menghentakkan kaki. “Kamu ini sebenarnya mau minjemin apa enggak, sih?!”
“Enggak,” jawab Ara santai.
“Kalau enggak, ngapain kamu dari tadi banyak tetek bengek?! Buang-buang waktu saya aja! Sekarang memang terbukti semuanya.” Bu Sum menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan muka Ara. “Pantes kamu diceraikan, wajar, sifatmu itu angkuh sekali!”
“Hehehe, maap-maap nih ye, Bu. Yang gugat cerai kan saya, gimana sih ibu? Kagak update nih. Pun, kami bercerai—bukan karena saya angkuh, Bu, bukan. Tapi, kami dipisahkan emang karena kami tidak berdiri di level yang sama. Saya orangnya sangat setia—sedangkan hobby mantan suami saya mendua. Yakali saya mau nerima gitu aja? Hari apes nggak di kalender, Bu. Tau-tau terinfeksi penyakit aja, ngeri dong.” Panjang lebar Ara menjelaskan dengan mimik julid.
“Lagian, Ibu nggak nonton berita, ya? Ketinggalan cerita? Padahal itu video mantan suami saya udah kesebar dimana-mana, masih juga saya yang disalahkan. Heran deh!” timpal Ara gemas.
“Ara, kamu itu kalau punya sifat, jangan angkuh-angkuh kali. Nggak ada lagi nanti laki-laki yang sudi menikahi kamu. Sudah janda, tidak mampu punya anak, angkuh pula. Sekarang badan mu sehat, bisa kerja, makanya kamu sombong—tapi kedepannya? Nggak mungkin selamanya kamu mau kerja. Kita ini, sebagai perempuan, hanya bisa bergantung sama laki-laki. Tanpa laki-laki, kita ini nggak bisa apa-apa!” hati Bu Sum semakin panas.
“Itu mah Anda, Bu. Bukan saya. Asal Anda tau ya, Bu. Perempuan bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan—jika bersedia meninggalkan segala drama percintaan yang tidak berguna dan penuh omong kosong itu!” kata Ara tegas.
Bu Farida yang sedari tadi menyaksikan perdebatan sengit yang bermula dari sebuah cincin—kini berdiri, menarik pelan sang putri.
“Ara, sudah, Ar ....” Bu Farida mengusap lembut punggung Ara.
Sementara Bu Sum semakin sengit memandangi Ara dan Bu Farida secara bergantian.
“Saya sumpahin kamu, nggak nikah-nikah lagi seumur hidup!” Bu Sum menghentakkan kaki, lalu meninggalkan kedai Bu Farida.
Sepeninggalan Bu Sum, Bu Farida menyodorkan sebotol air mineral dingin kepada Ara.
Wanita paruh baya itu berusaha menelisik manik sang putri. “Kamu ada masalah di tempat kerja? Tumben kamu mau ngeladenin Bu Sum. Padahal kamu kan tau, dia orangnya emang begitu.”
“Nggak tau ah, Bu. Ara bawaannya kesel mulu dari semalam.” Ara duduk di kursi samping meja kedai sang ibu.
“Ya sudah, kamu baring-baring dulu gih di kamar. Nggak enak kalau ada pembeli ntar, liat wajah cemberut mu itu,” saran Bu Farida.
Ara pun menurut, ia lekas menuju kamar. Merebahkan tubuhnya sejenak.
Matanya terpejam, Ara berusaha memadamkan bara api yang sempat menyala di dada—efek perdebatan nya dengan Bu Sum. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang.
Namun, bukannya tenang, bara api itu justru berubah menjadi rasa sesak. Tiba-tiba saja, ia teringat dengan sepenggal kejadian di kantor semalam. Ia teringat akan sosok gadis cantik yang menerobos masuk ke ruangan Elan—lalu memeluk erat Elan tanpa ragu-ragu.
“Kekasihnya Elan, ‘kah?”
*
*
*
Readers ... apa kabar? Semoga sehat selalu, ya.
Author hari ini hanya rilis dua bab ya, kebetulan saya sedang tidak sehat—demam tinggi. Kalian jaga kesehatan ya🥰
InshaAllah, besok saya kembali crazy up, pantengin terus ya, jangan lupa di klik permintaan updatenya 💗
semoga cepat sembuh