"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
“Kamu masih sangat enak, Mirna,” ucap Erik sambil merapikan bajunya.
Mirna pun mengenakan kembali bajunya dengan perasaan gusar. Setelah sekian lama, akhirnya dia berselingkuh lagi.
“Ingat janji kamu, Erik,” ucap Mirna.
“Tenang saja, aku sudah sediakan 20 juta di depan,” jawab Erik.
“Baiklah kalau begitu. Lalu bagaimana rencana kamu menculik Hana?” tanya Mirna.
“Aku heran, kenapa kamu mau mencelakai anak kamu sendiri? Aku ini bajingan, tapi kalau anakku ada yang menyenggol, maka aku akan menghabisinya,” ucap Erik.
“Hana bukan anakku. Dia sangat mirip dengan wajah wanita itu, dan aku sangat membencinya setiap kali melihat Hana,” jawab Mirna.
Erik tampak menganggukkan kepala. Terjawab sudah rasa penasarannya. Jika Mirna sudah seperti itu, maka Erik tidak akan sungkan melakukan tindakan pada Hana.
“Apa kamu punya foto Handoko?” tanya Erik.
“Punya. Untuk apa?” tanya Mirna.
“Aku punya editor andal. Dia bisa mengedit foto dan bahkan membuat videonya seolah nyata,” ucap Erik.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya Mirna.
“Aku akan memancing Hana ke lokasi yang sudah aku tentukan. Selanjutnya, dia akan menjadi milikku,” ucap Erik.
“Baguslah, lebih cepat lebih baik,” ucap Erik.
Sementara itu, Hana mengenakan blus putih polos dipadukan dengan celana jeans biru muda. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan ia memakai sepatu flat krem yang sederhana. Penampilannya tampak bersih, sopan, sekaligus nyaman untuk bergerak bebas saat mengasuh serta bermain bersama Felix.
Setibanya di rumah Jefri, Felix sudah menunggu di teras dengan wajah penuh semangat.
“Oleeeee... Ateu cantik jadi dateng!” seru Felix gembira.
Hana tersenyum hangat, lalu memeluk bocah kecil itu dengan penuh kasih sayang dan mengecup lembut keningnya.
“Aneh sekali, si Felix ini paling tidak mau disentuh oleh orang asing. Bahkan, sama ibunya saja dia tidak mau,” ucap Jefri dalam hati.
“Ayo, Teu, main, Teu,” ucap Felix manja sambil menuntun Hana ke kamarnya yang luas.
“Ateu, aku punya mainan lobot-lobotan,” ucap Felix penuh semangat.
“Iya, robotnya lapar, katanya mau nasi goreng,” jawab Hana sambil tersenyum, mencoba mengikuti imajinasi Felix.
“Hahaha... masa ada lobot makan nasi goleng?” ucap Felix sambil tertawa.
“Loh, ini kan robot aneh, jadi makannya nasi goreng,” jawab Hana sambil pura-pura serius.
“Robot itu makannya besi, Teu, cuma anak-anak nakal kayak aku,” ucap Felix polos.
Hana langsung memeluk Felix dengan hangat.
“Siapa yang bilang kamu nakal? Kamu itu anak pintar, baik hati, ganteng lagi,” ucap Hana lembut.
“Kata Mamy aku nakal, makanya aku ditinggal,” jawab Felix dengan wajah sedikit murung.
“Rupanya anak ini kurang perhatian dari ibunya,” ucap Hana dalam hati.
“Felix nggak nakal kok, Felix anak pintar,” ujar Hana sambil tersenyum.
“Benarkah, Teu? Yah... tapi kadang-kadang Papih juga bilang aku anak nakal, Teu,” adu Felix dengan wajah polos.
“Tenang saja, nanti Ateu hukum siapa pun yang bilang Felix nakal,” ucap Hana sambil menirukan suara anak kecil, membuat Felix tertawa kecil.
Siang pun tiba. Hana berhasil menidurkan Felix. Ia menatap wajah mungil itu penuh kasih sayang, merasakan ikatan yang semakin kuat dengan bocah polos nan manis yang kini terlelap damai di pelukannya...
..
“Sial... sial!” teriak Jefri.
“Ada apa lagi kamu?” tanya Viona.
“Maria pergi ke Australia, Bu. Dia mau menjadi model di sana,” ucap Jefri menyesal.
“Cewek kurus seperti tiang listrik begitu saja kamu pertahankan, Jef? Lihat tuh Hana... apakah kamu tidak tertarik dengan pinggul Hana yang bulat? Kalau Ibu perkirakan, dia pasti akan banyak anak. Dan yang paling penting, Felix menyukai Hana. Kamu tahu sendiri kan, Felix itu anak yang pemilih. Selama ini yang bisa mencium dia hanya kamu dan Ibu. Tapi tadi pagi kamu lihat sendiri, Hana sudah berhasil menaklukkan Felix,” ucap Viona.
“Ah, Ibu tidak tahu saja. Dia itu matre, Bu. Yang ada di kepalanya cuma uang, uang, dan uang,” jawab Jefri.
“Coba kamu belah kepala Ibu,” ucap Viona.
“Jangan dong, Bu. Aku nggak akan tega,” jawab Jefri.
“Kalau ada dokter yang membelah kepala Ibu, maka isinya adalah uang dan uang. Dan hampir semua wanita seperti itu, uang dan belanja,” ucap Viona sambil tersenyum.
“Sudahlah, Bu, belum saatnya aku mencari jodoh,” ucap Jefri.
“Mungkin kamu belum, tapi kamu harus pikirkan Felix. Ingat, Felix membutuhkan orang yang mengerti dirinya,” ucap Viona.
“Ya, ya, Bu, nanti akan aku pikirkan,” jawab Jefri.
..
Kemudian Jefri melangkah ke kamar Felix. Tampak Viona juga sedang tertidur. Jefri memperhatikan dengan seksama wajah Hana. Memang, Hana terlihat cantik meski hanya dengan riasan tipis.
“Ayah... tolong... Ayah... tolong... tolong...” gumam Hana sambil mengigau.
Felix mendekat, menyaksikan dari dekat wajah Hana. Wajah cantik itu tampak ketakutan. Rasanya Felix ingin memeluk Hana untuk memberi ketenangan.
“Ayah... tolong... Ayah... jangan...” gumam Hana lagi.
Jefri keluar dari kamar Felix, meninggalkan Hana dan Felix yang masih terlelap.
Kemudian Felix menelepon Doni.
“Ya, Bos, ada apa?” tanya Doni.
“Percepat liburan kamu.”
“Kenapa lagi, Bos? Baru juga dua hari, Bos.”
“Cepatlah, ada tugas penting untuk kamu.”
“Tugas apa?”
“Tidak bisa dibicarakan lewat telepon,” jawab Jefri.
“Ok, Bos, sore ini saya meluncur ke Jakarta.”
“Ok,” jawab Jefri.,
….
Sore tiba. Felix, anak yang gampang diberi pengertian, tidak marah saat Hana akan pergi meninggalkan rumahnya.
“Yah... menikahlah dengan Ateu, aku menyukainya,” ucap Felix polos, membuat Hana tersipu malu.
“Cih, duda arogan itu bukan tipeku. Aku tidak suka cowok sombong,” ucap Hana dalam hati.
“Selera anakku jelek sekali, masa cewek matre seperti ini jadi ibunya,” ucap Jefri dalam hati.
“Nanti kita bicarakan lagi, oke,” ucap Hana sambil tersenyum.
“Ateu, lain kali menginap, temani Felix main. Soalnya kalau malam Papih jarang ada di rumah,” pinta Felix polos.
…
“Jef, antar dulu Hana,” perintah Viona.
“Tidak usah, Bu, aku bisa sendiri,” ucap Hana.
“Tapi ini sudah malam, Sayang.”
“Aku sudah biasa, Bu,” jawab Hana.
“Ya sudah, kalau begitu hati-hati, ya,” ucap Viona yang mendadak diliputi rasa khawatir.
...
Ponsel Hana terus berdering tiada henti.
Hana menepikan motornya, lalu melihat ponselnya.
“Aku tahu kamu membenci ayahmu. Kalau kamu ingin melihat jasad ayahmu untuk terakhir kali, maka datangi alamat ini,” demikian isi pesan itu.
Tak lama, Hana mendapat kiriman video.
Tampak wajah ayahnya penuh luka, sedang diikat di sebuah gudang tua.
“Kalau kamu tidak datang, maka aku akan membakar tubuh ayahmu.”
“Sial... bajingan! Jangan apa-apakan ayahku!” geram Hana.
Ia mencoba menelepon nomor pengirim pesan tersebut, namun nomornya tidak aktif.