NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:849
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kembali

Di ruang OSIS, Pak Agus duduk berdua dengan Bobi. Sengaja guru yang juga pengawas OSIS itu mengajaknya bicara empat mata, tentu untuk membahas kejadian di hutan kemarin, berharap ada kejujuran kali ini.

Saat pelajaran olahraga tadi, Pak Agus sudah meminta Bobi datang ke ruang OSIS ketika jam istirahat, tanpa mengajak siapa pun.

"Gimana kabar Agam sekarang, Bob?" tanya Pak Agus membuka percakapan.

"Kata mamanya, sih, udah mulai membaik, Pak. Besok juga udah bisa pulang," jawab Bobi.

"Syukurlah. Kabar kamu sendiri gimana? Apa selama ini aman saja?"

Dahi Bobi mengernyit, heran dengan pertanyaan itu. Ia menghela napas, bingung harus menjawab apa. Di sudut lain pikirannya, rasanya ia ingin jujur—bahwa dirinya sedang dirundung ketakutan, terlebih karena mimpi semalam yang mengganggu.

Namun, Pak Agus pasti curiga ada sesuatu yang mengganggu geng mereka. Tapi bukankah memang faktanya seperti itu? batin Bobi. Segalanya seolah berperang di dalam kepalanya.

"Alhamdulillah saya baik, Pak. Ada apa, ya, Pak?" kilah Bobi, berusaha bersikap biasa saja.

Pak Agus melipat tangan di dada, lalu bersandar di kursi. Tanpa basa-basi, ia menyampaikan bahwa selama ini curiga Bobi serta teman-temannya melakukan hal aneh sewaktu kemah.

Dahi Bobi mengernyit, tenggorokannya kering. Ia mengusap keringat di keningnya, suaranya gemetar saat berkata, "Maaf, Pak, kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?"

"Ya karena saya sama Bu Tutik menelisik kasus kalian sejak kematian Vani. Ayolah, Bobi, saya tidak akan marah. Lebih baik kamu jujur, biar saya bisa carikan solusi."

Bobi terdiam, bingung. Kalau jujur, bisa-bisa Kevin akan marah. Pemuda itu menelan ludah, tangannya bergerak mengusap lehernya yang berkeringat.

"Sa-saya... saya cuma membakar ranting di hutan, Pak," ucap Bobi gugup. Biarlah masalah jelangkung ia simpan saja, toh larangan yang berlaku hanya soal menyalakan api.

"Loh, bukannya kalian tahu kalau itu dilarang?"

"Sumpah, kami nggak sengaja. Soalnya saya lupa ada aturan itu. Jadi maafin kami, Pak," Bobi mulai memelas.

Sekarang Pak Agus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya bisa menghela napas panjang. Mau dihukum pun, kejadian itu sudah berlalu. Yang ada dalam pikirannya kini hanyalah bagaimana anak-anak bisa terhindar dari bahaya.

"Makanya, kalian itu kalau bercanda jangan berlebihan. Saya juga dapat laporan, kalian sering merundung Ratna. Itu perbuatan nggak baik," tegas Pak Agus.

Bobi berdecit lirih. "Itu mah bercandaan aja, Pak. Berlebihan kalau dianggap bully mah."

Jawaban itu membuat Pak Agus menggeleng. Ia memperingatkan Bobi sekali lagi untuk menjaga perilaku, baik di sekolah maupun di luar. Jika tidak, laporan tentang kenakalan mereka akan diteruskan ke kepala sekolah. Ia berharap ancaman itu bisa menimbulkan rasa takut.

"Ya udah, kamu boleh keluar!" ucap Pak Agus.

"Baik, Pak. Makasih." Bobi pun segera keluar.

Dari arah kanan, ia melihat Kevin dan Kila berjalan mendekat. Kevin langsung merangkul Bobi dari samping, mengajaknya segera ke kantin. Pikiran Bobi sudah buruk saja, pasti setelah ini akan diintrogasi lagi.

Mereka duduk di meja kantin, paling pojok. Kila yang belum duduk menghampiri ibu kantin untuk memesan tiga mangkuk mie instan dan es teh manis. Sementara Kevin menatap Bobi dengan penasaran.

"Gue nggak ngomong apa-apa ke Pak Agus," ucap Bobi. "Cuma bilang, waktu di hutan gue bakar ranting tanpa sengaja."

"Lu nggak bohong?" Tatapan Kevin tajam, penuh intimidasi.

"Sumpah demi Tuhan. Gue cuma bilang gitu." Bobi khawatir Kevin marah dan menyuruh teman geng motornya melakukan sesuatu. Itulah kenapa selama ini ia sulit menolak setiap ajakan Kevin.

"Yaudah, gue nggak mau bahas lagi." Kevin merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan gelang hitam dari tali tipis dan memberikannya kepada Bobi. "Lu pake gelang ini, buat ngehadang setan-setan yang mau gangguin kita."

"Serius? Dari mana?" tanya Bobi heran sambil meraih gelang itu.

"Gak usah banyak tanya, Bangs*t! Semua kebagian, termasuk Agam. Lu anterin nanti ke dia," sahut Kevin tegas.

Bobi segera mengangguk. Ia buru-buru mengenakan gelang itu karena Kevin juga memakainya. Tak lama kemudian, Kila datang dan duduk di samping Kevin. Ternyata gelang serupa sudah melingkar di pergelangan tangan Kila. Dengan begini, Bobi pun percaya sepenuhnya.

Di tengah obrolan mereka, mata Kevin tertuju pada Ratna yang baru datang dan duduk sendirian di kursi depan. Matanya menyipit, seakan memikirkan sesuatu.

Makanan yang dipesan Kila pun tiba. Mereka menikmatinya dengan santai sambil bercakap-cakap. Setelah makan, ketiganya berjalan menuju kasir. Saat akan mengeluarkan uang untuk membayar, Kevin melarang kedua temannya.

"Bu, dibayar sama si Ratna," ucap Kevin.

Ibu kantin hanya mengangguk. Baginya, yang penting uang masuk, tak peduli siapa yang membayar. Buru-buru mereka pergi.

Tak lama kemudian, Ratna yang baru selesai makan menghampiri kasir. "Berapa roti sama susu cokelat tadi, Bu?"

Totalnya lumayan besar, padahal makanan yang dibeli tak seberapa. Ratna terkejut. Ia mengira harga kantin tak semahal itu. Mendadak ia menghela napas panjang ketika Ibu Kantin mengatakan bahwa Kevin dan teman-temannya bilang makanan mereka dibayar oleh Ratna.

"Kenapa Ibu gak larang mereka?" tanya Ratna dengan nada lemas, setengah memelas.

"Ya bukan urusan Ibu! Yang penting dibayar!" jawab Ibu Kantin tegas.

Wajah Ratna memberengut. Ia pun membayar sesuai yang diminta. Mau bagaimana lagi, daripada dipermalukan di depan orang banyak.

......................

Atas keputusan yang diambil, Pak Agus akhirnya berangkat menuju Gunung Merbabu demi menemui Ki Wangsit. Jawaban dari kecurigaannya telah menanti. Salah satu aturan, bahwa tak boleh melakukan segala jenis pembakaran di hutan, justru dilanggar oleh Bobi dan teman-temannya.

Hanya saja, Pak Agus belum sepenuhnya memahami konsekuensi tindakan itu. Apakah akan berujung fatal hingga membahayakan anak didiknya? Kejadian yang menimpa Vani membuat hatinya tak tenang.

Meski pihak medis menyatakan gadis itu meninggal akibat serangan jantung, Pak Agus justru teringat pada momen dirinya pingsan saat kegiatan, bahkan sempat meracau melihat semburan darah dari pohon.

Keberangkatan Pak Agus dari Jakarta dimulai setelah salat Subuh. Ia sengaja mengendarai motor agar mudah menembus jalan-jalan sempit, sekaligus memangkas perjalanan lewat jalur alternatif.

Matahari mulai menanjak. Sesekali ia menengok ponsel, memastikan rute tercepat menuju kawasan Gunung Merbabu. Menurut peta, Pak Agus harus mengambil jalan ke selatan dari jalan raya. Agar tak memutar terlalu jauh, ia harus melewati beberapa gang pedesaan.

Mengikuti petunjuk, Pak Agus berbelok ke kanan, memasuki jalan sempit yang masih bisa dilalui pick up atau Avanza. Kondisinya kurang mulus; lubang-lubang mengintai di sana-sini. Namun, rindangnya pepohonan membuatnya nyaman, terhindar dari teriknya matahari.

Ia terus menuruti arahan peta. Saat disuruh berbelok kiri, ia menyesuaikan laju sambil sesekali menatap layar ponsel yang terpasang di stang motor. Namun, ia terpaksa berhenti sejenak ketika suara arahan dari peta justru membawanya ke perkebunan kosong.

“Bener kan ke sebelah sini,” gumam Pak Agus, melebarkan tampilan peta di layar untuk menilai sejauh mana tujuan masih berada. Sebuah jalan setapak terlihat di depan, dan dengan hati-hati ia melanjutkan perjalanan, pelan tapi pasti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!