NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 3

Langkah kaki Raisa terdengar tergesa menuruni tangga rumah kosannya siang itu. Ia mengenakan jeans biru longgar dan kaus putih, rambutnya diikat asal—pakaian andalan kalau sedang malas tampil rapi. Hari ini cuma mau ke kampus buat revisi skripsi, pikirnya. Ia ingin hari itu berlalu biasa saja, tanpa gangguan.

Namun begitu membuka pintu pagar kos, dunia seolah menertawakan doanya.

Sebuah mobil SUV hitam berkilau terparkir di depan. Jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok pria yang sudah membuat hidupnya kacau dalam dua hari terakhir.

“Raisa,” suara berat itu terdengar.

Raisa mematung di tempat. Detak jantungnya otomatis berpacu lebih cepat. Apa-apaan sih orang ini?!

Ardan keluar dari mobil dengan kemeja putih rapi dan celana hitam, penampilannya membuatnya tampak seperti baru keluar dari rapat penting. Tubuhnya yang tegap dan tinggi membuatnya berdiri dengan wibawa.

“Apa kabar?” tanyanya, seolah mereka baru bertemu biasa.

Raisa spontan mendengus. “Om ngapain di sini?”

Ardan tidak terpengaruh nada ketus itu. “Boleh kita bicara sebentar? Di tempat yang tenang.”

“Nggak bisa. Aku mau ke kampus,” balas Raisa cepat.

“Kalau begitu, Om antar. Sambil bicara.”

Raisa mendengus lebih keras. “Om nggak ngerti, ya? Aku nggak mau bicara!”

Ardan mendekat perlahan, jarak mereka kini hanya tinggal satu meter. “Raisa. Kamu punya hak untuk marah. Tapi beri Om lima menit saja untuk menjelaskan. Setelah itu, kalau kamu tetap mau menolak, Om nggak akan memaksa.”

Nada suaranya tenang, tapi tegas. Raisa menggigit bibir bawahnya. Ia benci karena hatinya sedikit goyah.

“Lima menit?”

Ardan mengangguk. “Lima menit.”

 

Dengan berat hati, Raisa masuk ke mobilnya. Begitu duduk, ia langsung memeluk tas di pangkuan, seolah itu bisa menjadi pelindung dari semua kegugupannya.

“Ke kampus?” tanya Ardan sambil menyalakan mesin.

“Iya. UI Depok.”

Mobil melaju perlahan. Suasana di dalam mobil hening untuk beberapa menit. Raisa melirik ke arah Ardan sekilas—pria itu mengemudi dengan tenang, matanya fokus ke jalan. Tidak ada gerakan yang berlebihan. Tidak ada tatapan mengganggu. Tapi justru itu membuat Raisa semakin gelisah.

 

“Kenapa Om ngelakuin ini?” akhirnya Raisa membuka suara.

Ardan meliriknya sebentar. “Maksudmu?”

“Melamar aku. Om sadar nggak… betapa anehnya itu? Aku… aku bahkan nggak bisa ngerti jalan pikirannya.”

Ardan menghela napas. “Om tahu. Dan Om minta maaf kalau membuatmu tertekan. Tapi Om nggak main-main waktu bilang itu.”

“Kenapa aku? Dari semua orang, kenapa aku? Om bahkan jarang ketemu aku!”

Ardan menoleh sebentar, menatapnya dalam. “Mungkin kita jarang ketemu, tapi dari dulu Om memperhatikanmu. Kamu tumbuh jadi wanita yang kuat, cerdas, dan punya hati yang besar. Om melihat itu. Dan Om merasa… kamu adalah orang yang bisa membuat hidup Om berarti lagi.”

Raisa mengerutkan kening. Kata-kata itu terlalu berat untuk dicerna. “Om… itu aneh. Aku ini… seumuran anak Om. Kalau Om butuh teman hidup, cari yang… ya… seumuran Om lah. Atau setidaknya… yang bukan teman anaknya.”

Ardan tersenyum tipis. “Usia memang berbeda, Raisa. Tapi hati manusia nggak mengenal hitungan angka. Om nggak mencari orang yang sekadar sebaya. Om mencari orang yang bisa benar-benar mengerti.”

 

Raisa mendengus sinis. “Kedengarannya kayak omongan manis pria yang lagi cari alasan buat nikah sama cewek muda.”

Ardan menoleh lagi, tatapannya tetap tenang. “Kalau kamu mau menganggap begitu, silakan. Tapi Om jujur. Om sudah lama sendiri. Om tahu hidup Om tidak sempurna, tapi Om ingin mencoba memperbaikinya. Dan… Om ingin kamu jadi bagian dari itu.”

Raisa merasa dadanya sesak. Ia ingin marah, tapi kata-kata itu terasa terlalu tulus untuk diabaikan.

 

Mereka tiba di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan. Ardan memarkir mobil, lalu menoleh. “Kita bicara sebentar di sini. Lima menit. Kalau kamu nggak nyaman, Om akan mengantarmu langsung ke kampus.”

Raisa menghela napas panjang. “Baiklah.”

 

Kedai kopi itu sepi. Mereka duduk di pojok, jauh dari pandangan orang. Raisa memeluk tubuhnya sendiri, sementara Ardan duduk dengan tenang di seberangnya.

“Raisa,” suara Ardan pelan. “Om tahu kamu marah. Kamu berhak marah. Tapi Om juga ingin kamu tahu, ini bukan keputusan yang Om buat secara sembarangan. Om sudah memikirkannya berbulan-bulan.”

“Berbulan-bulan?!” Raisa membelalak. “Om… udah mikirin aku selama itu?”

Ardan mengangguk. “Iya. Om tahu kamu butuh waktu untuk menerima atau menolak. Tapi Om ingin kamu tahu dulu niat Om. Supaya kamu nggak berpikir ini cuma keinginan mendadak.”

 

Raisa tertawa hambar. “Om sadar nggak… Mama juga kaget. Dan aku… aku bener-bener nggak tahu harus gimana.”

Ardan menatapnya dalam. “Kalau kamu nggak mau, bilang saja. Om tidak akan memaksa. Tapi beri Om kesempatan untuk menunjukkan siapa Om sebenarnya. Bukan sebagai teman Mamamu. Tapi sebagai pria yang ingin mengenalmu lebih jauh.”

 

Raisa menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab “tidak” saat itu juga. Tapi kata-kata Ardan terdengar terlalu… serius.

Ia berdiri cepat. “Aku… aku nggak bisa sekarang. Aku butuh waktu. Dan… Om… jangan datang tiba-tiba kayak gini lagi. Aku benci.”

Ardan mengangguk pelan. “Baik. Om akan menunggu sampai kamu siap bicara lagi.”

Raisa berbalik dan melangkah keluar kedai. Dadanya berdebar kencang.

 

Dalam perjalanan ke kampus, ia berkali-kali memukul setir motornya pelan. “Kenapa sih dia ngomong kayak gitu?! Bikin aku… mikir.”

Ia tahu satu hal: Ardan mungkin tua, tapi pria itu tahu bagaimana membuat kata-katanya menghantam langsung ke hati.

Dan itu yang membuat Raisa semakin kesal.

*

Hari itu panasnya tak masuk akal. Matahari terasa seperti bola api yang digantung rendah di atas kepala. Jalanan kampus ramai, suara klakson dan teriakan pedagang kaki lima bercampur menjadi satu.

Raisa mengerang sambil menyalakan mobilnya yang sudah agak tua—hadiah dari ayahnya sebelum ia meninggal beberapa tahun lalu. Mobil itu memang sering rewel, tapi biasanya masih mau kompromi kalau ia ajak jalan.

“Please… jangan sekarang,” gumamnya sambil memutar kunci kontak.

Brrr… brrr…

Mesin hanya bergetar sebentar lalu mati. Raisa menekuk wajahnya frustasi. “Ya Allah… jangan di sini, dong.”

Beberapa mahasiswa yang lewat menoleh, sebagian melirik penuh kasihan, sebagian lagi menahan tawa. Rasanya dunia benar-benar kompak mempermalukannya.

Ia keluar, membuka kap mobil, menatap mesin dengan wajah bingung. Apa yang aku lihat? Aku kan nggak ngerti beginian… pikirnya.

 

“Raisa?”

Suara berat itu datang lagi.

Raisa sontak menoleh. Dan di sana, seperti déjà vu dari tiga hari terakhir, berdiri Ardan. Kali ini dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung ke siku, tangan kirinya memegang jas, sementara tangan kanannya membawa kunci mobil.

“Serius, ya Allah?!” Raisa spontan berseru. “Kenapa tiap aku susah, yang muncul selalu Om?!”

Ardan hanya mengangkat alis, mendekat dengan ekspresi datar. “Kenapa? Kamu nggak seneng Om datang?”

“Ya nggak lah!” Raisa melipat tangan di dada. “Om ngapain di sini? Ngikutin aku, ya?”

Ardan menghela napas, jelas menahan diri. “Om ada rapat di fakultas sebelah. Kebetulan lewat sini. Dan kebetulan… kamu mogok.”

“Kebetulan? Kebetulan banget, ya?!” Raisa mendengus. “Kayaknya semesta doyan banget bikin aku ketemu Om.”

“Kalau begitu… mungkin semesta mau kamu dengerin Om,” jawab Ardan tenang, membuat Raisa mendelik.

 

Tanpa minta izin, Ardan mencondongkan tubuh ke arah mesin mobil. “Kuncinya mana?”

“Eh, Om! Jangan seenaknya—”

“Raisa,” potong Ardan sambil menoleh, suaranya serius. “Kalau kamu mau mobil ini hidup lagi, kasih kuncinya.”

Raisa ingin membantah, tapi akhirnya ia mengulurkan kunci dengan wajah cemberut.

Ardan mulai memeriksa mesin. Gerakannya teratur, seperti orang yang paham betul apa yang dilakukan. Raisa memelototinya dari samping.

“Om nggak usah repot-repot. Aku bisa panggil montir,” gumam Raisa.

“Kalau bisa sekarang, kenapa harus nunggu?” jawab Ardan tanpa mengalihkan pandangan.

Lagi-lagi jawaban logis… nyebelin! batin Raisa.

 

Lima belas menit kemudian, Ardan menutup kap mobil. “Coba nyalain.”

Raisa masuk ke mobil, memutar kunci. Mesin menyala dengan suara yang jauh lebih mulus.

“Wow.” Ia tak bisa menahan kekagumannya. “Om… ternyata bisa juga.”

Ardan hanya tersenyum tipis. “Sedikit-sedikit.”

 

Raisa keluar lagi, menyandarkan tubuh ke pintu mobil. “Oke, makasih. Udah nolongin aku. Sekarang… Om bisa pergi.”

Ardan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Om antar kamu pulang.”

“Apa?!”

“Mobil ini nggak aman buat jalan jauh kalau sendirian. Biar Om yang bawa. Kamu ikut mobil Om.”

Raisa melipat tangan. “Om pikir aku ini apa? Anak kecil? Aku bisa nyetir sendiri.”

“Kalau kamu mogok di tengah jalan tol nanti gimana?”

“Kalau mogok lagi, aku bisa panggil bantuan!”

Ardan mendekat sedikit, menatapnya lekat. “Raisa. Tolong. Kali ini ikuti Om.”

Ada sesuatu di nada suaranya—bukan marah, bukan memaksa, tapi… tegas. Raisa mendesah panjang. “Kenapa sih Om suka banget ngatur-ngatur?”

“Karena Om peduli,” jawabnya singkat.

Raisa tercekat. Kata itu menghantamnya lebih kuat dari yang ia duga.

 

Akhirnya, mereka berdua naik mobil Ardan, sementara mobil Raisa dibawa oleh sopir yang dipanggil Ardan untuk mengantar ke bengkel.

Di dalam mobil, hening mendominasi. Raisa memilih menatap ke luar jendela, menolak bertemu mata dengan pria itu. Tapi sesekali ia meliriknya diam-diam.

Ardan mengemudi dengan santai. Sesekali ia menatap ke arah Raisa. “Kamu nggak apa-apa?”

“Baik-baik aja.”

“Kelihatan nggak.”

Raisa mendengus. “Om tuh ya… selalu muncul kayak pahlawan kesiangan. Tapi tahu nggak? Aku nggak butuh diselamatin.”

Ardan menoleh sebentar. “Kamu yakin?”

Raisa langsung membalas tatapannya. “Yakin.”

 

Ardan menghela napas. “Raisa, Om tahu kamu benci ketemu Om. Tapi… kenapa kamu nggak coba lihat Om sebagai orang biasa? Bukan teman Mamamu. Bukan pria yang melamarmu. Hanya… Ardan.”

Raisa mendengus. “Ya gampang ngomong gitu. Tapi kenyataannya nggak bisa, Om.”

“Kenapa nggak bisa?”

“Karena setiap lihat Om, aku inget kata-kata Om. Dan itu… bikin aku risih.”

 

Ardan menepikan mobil di sebuah taman kecil. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke Raisa. Tatapannya tenang, tapi dalam.

“Kalau Om bikin kamu risih, maafkan. Tapi Om nggak menyesal ngomong jujur soal perasaan Om.”

Raisa merasa kepalanya berdenyut. “Kenapa sih Om nggak bisa nyerah aja? Aku nggak mau nikah sama Om. Udah jelas, kan?”

Ardan mengangguk pelan. “Kalau itu keputusanmu, Om terima. Tapi Om ingin kamu benar-benar yakin itu keputusanmu, bukan sekadar emosi.”

 

Raisa menunduk, menggigit bibir. Kenapa sih dia selalu ngomong kayak gini? Selalu bikin aku nggak bisa marah sepenuhnya…

 

Perjalanan pulang berlangsung dalam diam. Begitu sampai di depan kos, Raisa buru-buru keluar. “Makasih… udah nolongin. Tapi mulai sekarang, Om… jangan muncul tiba-tiba lagi. Aku bener-bener nggak suka.”

Ardan mengangguk. “Baik.”

Tapi sebelum Raisa menutup pintu, ia mendengar suara itu lagi. “Raisa.”

Ia menoleh.

“Apa pun yang terjadi… Om nggak akan berhenti peduli sama kamu.”

 

Raisa mematung. Kata-kata itu menggema di kepalanya bahkan setelah mobil Ardan pergi.

 

Malam itu ia menatap langit-langit kamarnya sambil menekan bantal ke wajah. “Ya Allah… kenapa sih dia harus ngomong kayak gitu?! Kenapa dia selalu muncul waktu aku paling butuh bantuan?! Om nyebelin!”

Tapi di dalam hati kecilnya, Raisa tahu… ia tidak benar-benar marah.

Dan itu yang membuatnya paling kesal.

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!