Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Bab 1

Suara hujan deras menghantam atap rumah, membuat suasana sore itu terasa lebih sendu. Dari balik tirai putih ruang tamu, Raisa menatap butiran air yang mengalir di jendela, mengikuti alurnya hingga jatuh ke bawah. Pandangannya kosong.

“Raisss…,” suara Mama terdengar dari dapur. “Tolong ke sini, bantu Mama siapin meja. Ada tamu datang.”

“Siapa lagi, Ma?” jawab Raisa malas sambil tetap memeluk bantal kecil di sofa.

Mama keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi kue basah. “Teman Mama. Kamu kenal kok. Om Ardan.”

Raisa langsung mendongak. “Hah? Om Ardan?!”

Mama mengangguk santai. “Iya. Dia ada urusan di dekat sini. Sekalian mampir. Udah lama banget nggak ketemu dia.”

“Ngapain sih Om Ardan datang ke sini segala? Dia kan biasanya sibuk kerja di luar kota.”

Mama menaruh nampan di meja. “Loh, salah ya kalau dia datang? Kayak nggak seneng aja. Kamu tuh dari kecil sering main sama anaknya. Dulu tiap dia ke sini, kamu selalu cerewet cerita ini itu. Sekarang malah kayak ogah-ogahan.”

Raisa menghela napas panjang. “Itu dulu, Ma. Sekarang aku udah gede.”

Mama hanya tersenyum kecil, lalu menepuk bahu putrinya. “Justru karena kamu udah gede, kamu harus ramah. Udah, ayo siapin gelas sama piring. Nggak lama lagi dia datang.”

Dengan enggan, Raisa berdiri. Rambut hitam panjangnya diikat seadanya, dan ia berjalan ke dapur. Om Ardan… Nama itu selalu terdengar asing sekaligus akrab. Ia memang mengenalnya sejak kecil, tapi terakhir kali bertemu langsung… mungkin tiga tahun lalu? Yang ia ingat, Ardan adalah pria dewasa yang ramah tapi terkesan kaku. Dulu ia sering mendengar Mama bercerita bahwa Ardan adalah sahabat lamanya sejak SMA, yang kemudian sukses menjadi pengusaha dan tinggal di luar kota.

Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah. Raisa mengintip dari jendela. Sebuah SUV hitam terparkir. Dari dalam, keluar seorang pria tinggi berjas rapi. Rambutnya sedikit beruban di pelipis, namun wajahnya tetap terlihat tegas dan berwibawa. Ardan.

Raisa mendadak merasa canggung. Gila, makin tua malah makin kelihatan keren. Ih, apa sih Ra, mikir apaan…

Tok! Tok! Tok!

Mama segera membuka pintu, wajahnya berbinar. “Dan! Akhirnya datang juga kamu!”

“Assalamualaikum,” sapa Ardan dengan senyum tipis. Suaranya berat dan dalam.

“Waalaikumsalam,” jawab Mama ceria. “Ayo masuk! Dingin di luar, hujan begini.”

Ardan melangkah masuk, menyalami Mama dengan penuh hormat. Pandangannya kemudian beralih pada Raisa yang berdiri di ambang dapur. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu.

“Raisa?” suaranya terdengar heran.

Raisa merasa pipinya panas. Ia mengangguk canggung. “Iya, Om.”

Ardan menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, bukan dengan tatapan melecehkan, melainkan seperti orang yang benar-benar takjub. “Wah… terakhir kali Om lihat, kamu masih remaja. Sekarang… udah jadi gadis dewasa ya.”

Raisa hanya tersenyum tipis. “Hehe, iya Om. Udah lama nggak ketemu.”

“Duduk dulu, Dan,” ujar Mama sambil menuntunnya ke sofa. “Raisa, bikinin teh hangat ya.”

“Siap, Ma,” jawab Raisa, bergegas ke dapur.

Di balik meja dapur, Raisa mengambil napas panjang. Jantungnya berdetak cepat, lebih dari biasanya. Ia sendiri tak mengerti kenapa. Dia cuma Om Ardan. Teman Mama. Bukan siapa-siapa. Kenapa jadi deg-degan begini?

 

“Jadi, kamu sekarang tinggal di Jakarta terus?” tanya Mama sambil menuang teh ke cangkir Ardan.

Ardan mengangguk. “Iya, sementara ini. Ada beberapa urusan bisnis yang harus aku pegang langsung. Mungkin sekitar setahun aku bakal stay di sini.”

“Oh, baguslah. Jadi kita bisa sering ketemu.”

Raisa keluar membawa piring kue, lalu duduk di kursi sebelah Mama.

Ardan memperhatikannya sekilas. “Kamu sekarang kuliah di mana, Raisa?”

“UI, Om. Jurusan Psikologi.”

Ardan mengangkat alisnya. “Bagus. Berarti kamu sudah semester akhir ya?”

“Iya. Tinggal skripsi.”

Ardan mengangguk-angguk. “Kamu pasti pinter. Dulu aja waktu kecil, Om ingat kamu paling cerewet soal cerita-cerita psikologi anak-anak.”

Raisa tertawa kecil. “Ah, Om masih inget aja.”

Ardan menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu di matanya—entah kekaguman, entah sekadar nostalgia.

 

Obrolan berlangsung hangat. Ardan bercerita tentang bisnisnya, Mama bercerita tentang kegiatan sehari-hari. Raisa hanya sesekali ikut nimbrung. Tapi setiap kali Ardan berbicara, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berhenti memperhatikan. Wibawanya, caranya menyusun kata-kata, bahkan cara ia memegang cangkir teh—semuanya terlihat… menarik.

Hujan di luar semakin reda. Waktu terasa berjalan lambat.

Sampai akhirnya, Ardan menatap Mama. “Lis, sebenarnya aku ke sini bukan cuma mau silaturahmi.”

Mama menoleh penasaran. “Loh? Memangnya ada apa?”

Ardan menghela napas panjang. “Aku… mau bicara serius. Sama kamu. Dan Raisa.”

Raisa sontak kaget. Sama aku? Ngapain?

Mama tampak heran. “Serius gimana?”

Ardan menatap Raisa sekilas, lalu kembali pada Mama. “Lis, kamu tahu aku sudah lama sendiri sejak cerai. Aku nggak pernah kepikiran untuk menikah lagi. Tapi… belakangan ini aku merasa butuh teman hidup. Dan setelah mempertimbangkan banyak hal…” Ia berhenti sejenak. “Aku… berniat melamar Raisa.”

 

Suasana langsung hening.

Mama membeku, menatap Ardan dengan mata terbelalak. “Apa?”

Raisa pun merasa dunia berhenti berputar. APA?!

Ardan menatap Raisa dengan penuh ketenangan. “Aku tahu ini mendadak. Dan mungkin kalian kaget. Tapi aku serius. Aku ingin menjadikan Raisa istriku.”

 

“Om… bercanda, kan?” suara Raisa tercekat.

“Tidak.”

Mama langsung berdiri. “Ardan! Kamu sadar apa yang kamu omongin? Kamu itu… seumuran sama aku! Raisa anakku!”

Ardan tetap tenang. “Justru karena itu aku datang ke sini. Aku ingin minta izin baik-baik. Lis, aku nggak main-main. Aku sudah memikirkan ini dengan matang. Raisa bukan sekadar anak kecil bagiku. Dia… wanita dewasa yang menurutku tepat untuk mendampingi hidupku.”

Raisa masih tak bisa berkata apa-apa. Otaknya blank. Kenapa harus aku? Dari semua orang di dunia ini, kenapa aku?

 

Mama duduk kembali, memegang keningnya. “Ardan… kamu sadar nggak perbedaan umur kalian? Apa kata orang nanti? Apa kata keluargamu? Apa kata orang-orang?”

Ardan menatap Mama dalam. “Aku tidak peduli kata orang. Yang penting… aku serius pada Raisa.”

Raisa akhirnya bersuara, suaranya pelan. “Om… kenapa aku? Kita bahkan jarang ketemu. Aku… nggak ngerti.”

Ardan menatapnya. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu, Raisa. Ketenangan, kecerdasan, dan hati yang tulus. Aku butuh seseorang seperti kamu. Dan aku siap melindungimu, menjagamu, membuatmu bahagia. Kalau kamu mau.”

 

Raisa tercekat. Kata-kata itu terdengar seperti janji besar. Tapi hatinya bergejolak. Ia masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan, apalagi dengan pria yang selama ini ia anggap seperti… Om-nya sendiri.

Mama masih syok. “Ardan… aku butuh waktu. Ini terlalu mendadak.”

Ardan mengangguk. “Aku paham. Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kalian tahu keseriusanku.”

 

Malam itu, setelah Ardan pamit, Raisa masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Ia terduduk di tepi ranjang, memegang dadanya yang masih berdebar keras.

Dilamar… sama Om Ardan?

Ia memejamkan mata, mencoba memahami perasaannya sendiri. Antara bingung, takut… dan entah kenapa, sedikit tersentuh.

Terpopuler

Comments

Aliya Awina

Aliya Awina

siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,

2025-07-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!