NovelToon NovelToon
Misteri Ikat Rambut Berdarah

Misteri Ikat Rambut Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Horror Thriller-Horror / Cinta Beda Dunia / Hantu / Si Mujur / Tumbal
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: YoshuaSatrio

Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.

Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.

"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.

"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.

"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.

Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Keluarga Walji

Tok

Tok

Tok

Parto mengetuk pintu perlahan, ‘Sepinya ….’ gumamnya dalam hati, seraya melihat ke sekeliling dan hanya mendapati gelap dan riuh suara jangkrik dan katak yang bersahutan.

Ceklek!

Kriyeeet

Terdengar derit engsel pintu dibuka, setelah beberapa saat menunggu. Seorang wanita paruh baya muncul dari baliknya, dengan tatapan datar ia mengamati Parto dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

“Permisi … selamat malam, Bu,” sapa sopan Parto seraya mengangguk kecil disertai senyuman.

“Iya, selamat malam. Anda siapa dan ada perlu apa?” tanya balik si wanita pemilik rumah dengan nada sangat datar, tak terlihat sedikitpun ke-ramah-an.

“Anu … saya mau nyari Walji, apa betul ini rumah orang tuanya?”

Wanita itu sedikit tersentak setelah Parto menyebutkan nama yang disebutkan Parto. Belum sempat si wanita menjawab, dari arah dalam rumah, muncullah seorang pria sedikit lebih tua, berbadan tambun dengan kumis tipis, hanya mengenakan singlet berwarna putih, dan bawahan sarung yang terlihat kumal.

“Siapa yang datang malam-malam begini, Bu?” tuturnya seraya berjalan mendekat, hingga ia melihat Parto yang berdiri di ambang pintu.

“Ini, Pak! Mas-nya ini nyariin Walji,” tukas si wanita.

“Oh? Lha ….” Entah apa yang dipikirkannya, Pria itu sepertinya sengaja tak melanjutkan ucapannya.

“Saya Parto, teman semasa SMP-nya Walji juga teman se-kantor-nya, sebelum Walji resign beberapa bulan lalu.” Parto segera memperkenalkan diri.

“Masuk dulu aja, Mas, ngobrolnya di dalem, sudah malem, nggak enak ngobrol di depan pintu.” Si pria yang ternyata adalah pak Ngatnu, ayahnya Walji mempersilakan Parto untuk masuk dan duduk.

Rumah sederhana dengan interior ruang tamu yang juga sederhana layaknya rumah di kampung. Tak banyak perabot, hanya satu set meja kursi tamu motif bunga-bunga yang sudah usang dan tak lagi empuk, serta sebuah lemari bufet berbahan kayu yang menonjolkan ukiran unik dan kuno sebagai pembatas dengan ruangan lainnya.

“Lha Mas-e ini datang dari mana, kok malem-malem baru nyampe sini? Terus naik apa, kok saya nggak dengar suara kendaraan?”

“Saya dari ibukota Pak, cuma naik bus. Dulu saya pernah tinggal di kampung Jambeasri sebelum akhirnya pindah ke ibukota,” terang Parto sopan.

“Walah jauh tenan … tapi, ada perlu apa kok jauh-jauh sampai ke sini buat nyari Walji, anak saya?”

Belum juga Parto membuka mulut untuk menjawab, Bu Sumiyem, istri pak Ngatnu muncul kembali dengan sebuah nampan. Bu Sumiyem duduk jongkok di lantai, lalu menurunkan dua gelas dengan aroma kopi yang sangat kentara, serta sepiring singkong goreng yang masih tampak mengepulkan asap dari penggorengan.

“Silakan sambil minum kopi, Mas. Sama ini ada kudapan khas kampung, mumpung masih anget,” ujar Bu Sumiyem ramah seraya menggeser piring berisi singkong goreng mendekat ke Parto.

“Terimakasih, Bu, malah repot-repot,” tukas Parto basa-basi.

“Nggak apa-apa, Mas. Wong cuma seadanya,” sahut Bu Sumiyem lagi lalu duduk di sebelah suaminya.

Parto membuka tutup gelas, untuk mengurangi panas di-kopi-nya, sontak aroma kopi yang sangat kuat menyeruak masuk dan menusuk indera penciuman.

“Jadi, maksud saya datang ke sini, untuk menanyakan uang saya yang dipinjam Walji beberapa hari sebelum dia resign, Pak,” ucapnya tanpa lagi berbasa-basi.

Pak Ngatnu mendengus membuang napas kasar, lalu kembali meletakkan gelas kopinya di meja. “Duh! Mas … kami juga sedang dalam upaya mencari keberadaan anak kami.”

Deg!

‘Duh, piye ini! Ngalamat uangku hilang,” batin Parto.

Namun sebisanya ia masih berusaha menetralisir kekhawatirannya, mengingat masih ada orang tua Walji di sana, setidaknya masih ada harapan sebagian uangnya akan kembali, meski entah bagaimana caranya nanti.

“Lha memangnya apa yang terjadi, Pak?” Parto pun tak tahan dengan rasa penasaran sejak mendengar penuturan dari warga di pos, dan keanehan tingkah warga itu.

“Sebenarnya, sudah seminggu anak saya nggak pulang.” Pak Ngatnu tertunduk.

“Tadi warga di depan juga mengatakan hal yang sama, memangnya ada apa toh, Pak? Soalnya sepanjang saya berteman sama Walji, dia tuh nggak neko-neko, orang-e juga baik. Kenapa tiba-tiba seperti itu?”

“Saya bingung, Mas, harus mulai cerita darimana, tapi intinya sejak lima bulan lalu, setelah Walji buka toko kelontong, banyak orang yang tak suka dengan usaha Walji, mereka melempar fitnah kalau Walji buka warung dengan modal hasil ngepet.”

“Itu jelas fitnah, Pak. Walji bilang mau pindah ke kampung saja, lalu minjem uang ke saya tiga puluh juta, dia nggak bohong ternyata memang buat buka toko kelontong, kan?”

“Bener, Mas. Tokonya juga masih ada, lengkap dengan semua dagangannya. Tapi, saya juga kaget karena bilangnya itu uang pesangon dari kantornya.”

“Walji kerja di kantor itu belum ada setahun, Pak. Saya tidak yakin ada pesangon untuknya,” terang Parto lirih, seakan takut salah memberikan informasi dan justru menambah kekecewaan pak Ngatnu.

“Kasihan Walji Mas ….” ucap pak Ngatnu lirih dan menggantung menahan kecewa, membuatnya tak sanggup melanjutkan ucapan.

Parto pun harus terima, meski ada rasa kecewa, namun tak ada juga yang bisa diperbuatnya. Ia hanya bisa berharap semoga teman baiknya itu pun segera pulang.

“Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Tolong kalau Walji pulang, suruh menghubungi saya.” Parto mencatat nomor ponselnya di sebuah kertas, lalu di sobeknya dan diserahkan pada pak Ngatnu.

“Malam-malam begini, Sampeyan mau langsung balik ke kota, Mas?” sahut Bu Sumiyem yang sedari tadi hanya diam saja. “Sudah nggak ada bis lagi loh, Mas.”

“Oh, iya saya tahu, Bu. Saya mau jalan kaki saja ke kampung Jambeasri, saya mau nginep di tempat kerabat, di sana.”

Pak Ngatnu dan Bu Sumiyem saling pandang sejenak, entah apa yang mereka pikirkan.

“Nggak bisa loh, Mas. Jembatan yang menghubungkan ke desa itu putus karena banjir dua hari lalu, belum sempat diperbaiki karena cuaca masih tidak menentu, jadi kalau malam jalannya harus turun jurang, gelap dan sulit!” terang Pak Ngatnu

“Sampeyan kan temennya Walji, nginep aja dulu, besok pagi baru ke sana,” imbuh Bu Sumiyem.

Entah kenapa rasanya ada kesan terburu-buru dalam setiap ucapan pak Ngatnu dan Bu Sumiyem. Seakan mereka sekuat tenaga berusaha mencegah agar Parto tak pergi dari rumahnya.

“Betul Mas, nginep saja dulu di sini, sukur-sukur nanti Walji pulang pas sampeyan masih di sini.”

Parto menimbang sejenak, sebenarnya ia juga tak terlalu ingat dengan jalan menuju ke kampung yang dulunya ia pernah tinggal di sana, saat sang ibu masih bekerja di puskesmas desa.

“Tapi … apa saya nggak merepotkan kalian?”

“Justru kami yang nggak enak hati karena anak kami ternyata menggunakan uang Mas ….” ucap mengambang pak Ngatnu seraya mengingat nama tamunya itu.

“Parto, saya Parto, Pak!” tukas Parto menyadari hal itu.

Malam itu pun Parto akhirnya setuju untuk menginap di rumah orang tua Walji.

“Tidur ya tidur aja! Jangan menyentuh apapun selain kasur, selimut, sama bantal!” ujar ketus Lasmi, adik perempuan Walji sambil berdiri bersedekap tangan di ambang pintu kamar.

Parto hanya bisa tersenyum kecut seraya mengangguk, ada sungkan dan perasaan tak enak hati pada gadis tomboy itu. Bukan hanya ucapannya yang ketus, namun tatapan bocah SMP itu begitu kasar dan tak ramah sama sekali.

Brak!

Bahkan pintu kamar itu pun ditutup dengan begitu kasar oleh Lasmi, cukup membuat Parto berjingkat karena kaget.

Parto mengedarkan pandangnya ke sekeliling ruangan. “Apanya yang mau di-kepo? Orang adanya cuma lemari usang, meja belajar, sama rak buku. Dasar bocah!” gumamnya lalu merebahkan tubuh melintang dan telentang di atas kasur.

“Ah … akhirnya punggungku nyaman juga.”

…….🫒

“Mas! Tolong aku!” Terdengar panggilan seorang perempuan dari arah yang tak jelas.

“Mas! Ikat rambutku!” seru suara yang sama.

Parto duduk bingung, masih di dalam bus, di kursi yang sama, dengan suasana bus yang sama. Yang berbeda adalah wanita yang berdiri di sampingnya.

Dari sudut matanya, Parto menangkap sebuah kaki yang basah penuh lumpur, tanpa alas kaki. Bahkan benar, pakaian wanita itu basah hingga tetesan air terlihat jelas dari ujung-ujung rok panjangnya.

Parto membulatkan mata, mengamati aliran air dari tetesan demi tetesan, lalu mengalir di lantai bis, semakin terkumpul dan mulai agak menggenang.

Parto mengalihkan tatapannya mendongak perlahan untuk melihat wanita yang berdiri terdiam di sampingnya.

‘Ikat rambutnya?!’ seru Parto tak sanggup berteriak meski sangat terkejut, saat melihat jelas ujung pita itu meneteskan cairan berwarna merah. ‘Da-darah!’ pekiknya gugup.

Namun Parto tak sanggup menggerakkan tubuhnya lagi, seakan sesuatu menguncinya hingga tak mampu beranjak. Bahkan bersuara pun ia tak sanggup.

Mulutnya terkunci rapat.

Hanya kepala dan matanya saja yang dengan bebas bisa digerakkannya.

“MAS! TOLONG!”

Suara memekik, keras, penuh amarah dan tekanan, begitu menyakitkan telinga Parto. Namun saat ia berusaha menggerakkan kedua tangan untuk menutupi telinga, bahkan kedua tangannya pun terkunci memeluk ransel di pangkuannya.

Parto mulai panik, merasakan telinganya kesakitan, seakan gendang telinganya bergetar dan siap meledak.

Hal lain yang membuat Parto semakin tercekat, wajahnya pucat pasi dan detak jantung semakin memburu ketakutan, saat air dalam bis itu semakin meninggi, dan menenggelamkan semua yang ada dalam bis itu.

Namun anehnya kepanikan hanya ia rasakan sendiri. Saat melihat ke sekeliling, kengerian semakin memuncak saat semua penumpang tampak tak terpengaruh, semua tetap sibuk dengan ponsel masing-masing, persis seperti saat ia melihat pertama kali.

“TOLONG AKU MAS! HAHAHA!”

Suara keras dan pilu seakan seseorang tengah berada diambang kematian, terus terdengar berulang, hingga membuat Parto mulai merasakan mual dan pusing yang begitu hebat.

‘Ap-apa yang harus kulakukan?’ teriak batinnya panik saat air keruh itu mulai mencapai lehernya.

Hingga kemudian, ia merasakan guncangan hebat, seakan bus yang ditumpanginya itu, menabrak sesuatu lalu terguling dan berputar di udara beberapa kali, ditambah suara tawa si wanita yang memekik membuat Parto mulai lemas.

........🫒

...****************...

Bersambung.

#Oke, sampai di sini bagaimana? Cocok nggak author nulis beginian🥴🤣

1
HK
Makin rumit aja ish 😣😣😣
EkaYulianti
siapa nih pembunuh sebenarnya?
EkaYulianti
kasihan parto ketiban sial terus
Bulanbintang
Apa Walji sekongkol juga sama bapaknya?
HK: Kayaknya sih enggak, soalnya Ngatnu rada kesel sama Walji. Kalau setongkol kan harusnya ...
total 1 replies
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Sebaiknya kamu tinggal dulu sampai urusannya beres,inget loh kamu punya utang janji sama 3 arwah jgn sampai mereka ngikutin kamu ke rumah 😔👻👻
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
mulai
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
ke tempat asalmu
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Wah ternyata Walji banyak utang 🙄
HK: Pantesan aja kabur 😐
total 1 replies
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Tapi Jumini jg bantuin Parto 😮‍💨
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Apa Mingun ini dukun ya,kan dia jg yg dulu nyuruh bikin jebakan buat nangkep tuyul 🤔
HK: Kok aku gak kepikiran ke sana, ya 😭
total 1 replies
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Wah ternyata Mingun yg membunuh Utari 😔
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Aku jg 😔
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Siapa lg ini 🤨
〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨
mingun itu apa cowok yg menggedor pintu pas parto baru tinggal di ruko bukan sih? dia yg beli rokok? apa dia?
HK: Bisa jadi, bisa jadi /Shy/
total 1 replies
Yuli a
duuuh......bingung ya to....,
dua orang cewek dari masa lalumu dan masa depanmu sedang melarangmu pergi.
gimana to...? jadi pergi atau tetap bertahan walaupun menakutkan?
HK: Harusnya km kasih nafas buatan aja gak sih?
Yuli a: ish... itu udah... megap2 kayak ikan kurang air nya....😂😂
total 3 replies
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
nahh yooo
siapa yg di rulo dan siapa yg di ikuti coba
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
nahh siapa pula itu
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
ada apa gerangan ncoba
Yuli a
mingun kok hebat . bisa melihat hantu. bisa dengerin suara hati juga ...
apa mingun =Sasongko???🤔🤔🤔
Yuli a: iya. tak tunggu... tenang aja... aku nggak akan pergi kok...😂😂😂🏃🏃🏃🏃🏃
𝕐𝕆𝕊ℍuaˢ: tunggu, hampir sampai ke bagian itu,/Smile/
total 2 replies
〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨
klo gak salah, mingun itu kan suaminya bu bidan ya?
HK: Bukan, Bu. Mingun warga biasa, tapi yg suka komporin orang-orang buat nyerang Parto. Baca lagi bab 6 deh, Bu.
〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨: gak tahu,
total 5 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!