JANGAN DIBACA!!!
ASLI, BUKAN TIME TRAVEL, YA!
HANYA KISAH ASAL PENUH PERKETYPOAN!
KALAU UDAH BACA, YA JANGAN NYESEL! BISA MENYEBABKAN MUAL DADAKAN, GANGGUAN SUSAH TIDUR, DIABETES BERLEBIHAN, DAN BUCIN DADAKAN.
(Gejala di atas berdasarkan survey dari zaman kuno hingga saat ini).
Bagai bulan yang tertutup awan, aku harus membuang semua hal tentangku, semua jati diriku, dan melanjutkan hidup sebagai kembaranku sendiri.
Terasa susah. Namun, itulah yang harus kulakukan. Hanya karena paksaan sang ayah dan juga kesalahan yang sepenuhnya bukan milikku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggrek, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Sempurna, Waktunya Kembali.
Di hari kedua Rian mengurus masalah internal perusahaan, dia telah menyelesaikan semuanya. Desita yang mendengarnya langsung memesan penerbangan pertama untuk besok, dia dan keluarganya akan kembali ke tempat mereka sebelum ke luar negeri. Untuk masalah tempat tinggal, Desita menyarankan mereka tinggal di hotel dulu selama beberapa waktu. Wanita itu berencana akan mencari hunian sesuai keinginannya ketika dia sampai di sana nanti, pasti itu akan memerlukan waktu sedikit lebih lama sebelum menemukan rumah yang cocok untuk mereka.
Ketika Desita mengatakan rencananya, Herman jelas menyetujui tanpa pikir panjang. Di sisi lain, Rian hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Dia tak memiliki niat menolak atau mendukung, semua terserah kemauan Desita sebagai nyonya rumah saja.
"karena masalah rumah sudah beres, sekarang tinggal masalah kedua lagi!" kata Desita bersemangat.
"Masalah apa ma?" tanya herman. Rian menatap sang ibu, dia juga ingin terlihat seakan ingin mengetahui apa yang akan dikatakan Desita.
"Masalah penting di atas penting pokoknya pa!" balas Desita yang membuat Herman semakin penasaran, masalah apa sebenarnya yang dimaksud istrinya itu.
"Mama mau Rian sekolah lagi," lanjut Desita menatap anaknya.
"Hah? Mom, jangan bercanda!" kata Rian menimpali, dia sedikit kaget mendengar apa yang diucapkan Desita barusan.
"Siapa yang bercanda, sayang. Kamu kan belum pernah sekolah seperti anak pada umumnya!" jelas wanita itu.
"Jadi mommy mau kamu setidaknya punya sedikit pengalaman seperti remaja pada umumnya," lanjut Desita.
"Mom, Rian udah lulus. Rian juga dapat nilai bagus," ucap Rian tersirat bahwa dia enggan mengikuti keinginan Desita kali ini. Dia sudah bekerja keras untuk lulus lebih cepat, jadi buat apa dia harus mengulang belajar lagi. Itupun bersama dengan orang lain, dia tak yakin dia bisa melakukan itu semua dengan baik.
"Sepertinya ucapan mommy mu benar, Rian! Kalau kamu sekolah lagi, kamu mungkin memiliki teman, bukan!" kata Herman setelah memikirkan alasan yang tepat untuk mendukung istrinya.
"Dad! Tetap saja itu buang-buang waktu!" Rian tetap bersikeras menolak, baru kali ini dia tak mengikuti keinginan Desita. Biasanya Rian iya-iya saja saat diharuskan melakukan apapun.
"Dan kamu masih memiliki waktu yang panjang sebagai remaja, Rian!" kata Herman, tentunya Desita mengangguk setuju.
"Tujuh belas tahun itu masih muda, kamu masih memiliki cukup waktu untuk dibuang-buang hingga beberapa tahun ke depan, sayang," kata Desita menambahkan.
Rian menghela napas panjang. " Ha-ah, apa Rian harus masuk kelas satu?" tanya Rian dengan desahan panjang.
"Fu-fu-fu, jadi itu yang kamu khawatirkan, sayang?" balas Desita.
"Tenang saja, kamu akan masuk sekolah di tahun kedua semester akhir," tambah wanita itu.
"Jadi kamu tak terlalu lama menghabiskan waktu di sana, tapi tetap memiliki waktu untuk berteman dengan seseorang!" Desita terlalu antusias dengan semua rencananya untuk sekolah Rian.
"Begitu juga bagus," kata Herman menimpali.
"Daddy tinggal tanda tangan saja, bukan?" lanjut pria itu.
"Mom, anggap Rian sekolah, ya! Bagaimana kalau Rian ketemu sama teman Rian?" tanya Rian cepat, dia masih tak ingin bersekolah lagi.
"Maksud Rian, teman lama Rian ketika masih kecil," lanjutnya berusaha menghasut Desita untuk membatalkan niatnya menyekolahkan dirinya.
Desita terdiam sesaat menanggapi pertanyaan anaknya. Herman pun melakukan hal yang sama, pria itu juga menatap istrinya dengan raut wajah yang berubah sedikit cemas."Maka lakukan dengan sempurna seperti sekarang, Rian?!" kata Desita membuang muka, enggan menatap ke arah Rian.
"Tak ada bantahan, sesuai perjanjian, kamu hanya harus melakukan semua dengan sempurna tanpa cela sedikitpun!" Desita langsung pergi setelah mengatakan hal tersebut.
"Tidak seharusnya kamu mengatakan hal tadi, Rian!" Herman menggeleng-gelengkan kepalanya lemah, dia pun menyusul istrinya, meninggalkan Rian sendirian.
Rian menunduk, menatap kosong sepatunya. "Seperti kenyataan bisa kulupakan saja!" gumamnya lirih penuh kesakitan.
"Lebih baik aku ke kamar, membereskan barang yang harus kubawa besok!" senyum palsu kembali menghias bibir tipis anak muda itu, dia menutup dan menyembunyikan lukanya dnegan topeng yang selalu dia pakai. Tak ada seorangpun yang tahu apa yang sedang dia pikirkan, terkadang apa yang dia ucapkan sangat bertentangan dengan apa yang dia inginkan. Kepalsuan telah mendominasi remaja satu ini dan dia harus membuat kepalsuan itu seolah hal yang dia lakukan dengan tulus.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Di kamarnya Desita menyapu semua barang-barang yang ada di meja riasnya dengan penuh emosi, semuanya jatuh terbanting ke lantai. Wajah wanita itu memerah menahan amarah, dia sadar dia tak seharusnya marah di depan pelayannya. Makanya dia meluapkan emosinya di kamarnya.
"Ma, tenang ma, tenang!" bujuk Herman mencoba meredakan emosi Desita.
"Apa dia harus bicara seperti itu?!" bentak Desita, bukannya tenang, dia malah semakin murka.
"Dia tak salah menanyakan hal itu, ma. Dia mungkin hanya khawatir," kata Herman mencoba untuk kesekian kalinya membujuk sang istri.
"Tapi tetap saja, pa. Aku benci kalau dia mengingatkan hal yang seharusnya kita lupakan!" ucap Desita sedikit lebih tenang.
"Iya ma, iya. Papa juga gak suka kalau dia begitu," timpal Herman dengan suara lebih lembut.
"Tapi yang dia katakan mungkin saja terjadi, ma. Teman Rian mungkin saja ada di sekolah itu!" lanjut pria itu hati-hati.
"Kalau ada ya malah bagus, pa! Apa yang salah dengan itu?" ketus Desita.
"Begini ma, kalau Rian ketemu temannya, terus Rian tak mengenalinya temannya itu, apa gak aneh menurut mama? Teman Rian pasti juga berpikir ada yang aneh dengan Rian, kan?" jelas Herman.
Desita berpikir sejenak, tak lama dia menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar. "Kalau begitu, kita buat alasan kalau Rian lupa ingatan setelah kejadian itu," ucap Desita senang.
"Apapun, lakukan semau mama," dukung Herman menyetujui rencana istrinya.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Herman menggeret koper kecil milik istrinya, begitu keluar mereka melihat Rian telah siap dengan tas ransel berukuran sedang. Anak itu sedang sarapan ringan. "Pagi mom, pagi dad!" sapanya dengan senyum cerah.
"Pagi sayang, kamu sudah siap?" balas Desita seolah kemarin dia tak pernah marah.
"Pagi juga Rian," ucap Herman.
Rian tersenyum lebih lebar. "Tentu, Rian juga sudah membawa barang yang paling Rian perlukan, mom," ucap anak itu melirik ransel yang tergeletak di dekat kakinya.
"Sisa barang-barang kita akan dikirim nanti begitu kita sampai," ucap Desita.
"Kalau ada yang kurang pun, kalian bisa berbelanja di sana!" kata Herman enteng.
"Mommy jadi tak sabar belanja ditemani dengan pria tampan," celetuk Desita bercanda kecil.
"Papa pasti akan menemani mama kemanapun!" timpal Herman cepat.
"Mama lagi ngomongin Rian, bukan papa tahu!" balas Desita. Herman memasang tampang cemberut, Desita tertawa senang berhasil mengerjai suaminya. Rian sendiri hanya ikut tertawa tanpa sampai ke hatinya, lagi-lagi dia tertawa palsu untuk kesekian kalinya.
ayang bebeb disuruh jd tukang parkir 😝😝😝😝