CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sekarang hari Sabtu, dimana Velove libur dari segala aktivitas kantornya. Bahkan perempuan itu sekarang—lebih tepatnya di jam sepuluh pagi masih belum juga membuka matanya, dia masih nyaman menggulung tubuhnya dengan selimut di atas ranjangnya.
Hari ini perempuan itu tidak memiliki rencana apapun, yang ingin dilakukan oleh Velove saat ini hanya ingin tidur seharian di dalam kostnya.
Tapi rencananya itu harus hancur ketika sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya beberapa kali yang membuat Velove dengan terpaksa harus membuka matanya yang masih terpejam itu.
Tangannya terulur untuk mengambil benda pipih tersebut dari atas meja yang ada di sebelah ranjangnya, tanpa melihat terlebih dulu siapa yang menelpon dirinya, perempuan itu langsung mengangkat panggilan itu begitu saja.
"Halo?" Suara serak khas bangun tidur terdengar dari bibir perempuan itu.
"Kamu baru bangun jam segini?"
Ada jeda beberapa saat setelah pertanyaan itu terdengat dari seberang sana, Velove sontak melihat layar ponselnya untuk memastikan siapa yang sedang menelponnya saat ini dan nama Dimas ternyata tertera dengan jelas di sana, mata perempuan itu yang tadinya belum terbuka sempurna kini membelalak kaget.
"E—eh, iya Pak." Dengan kesadaran yang belum terkumpul, Velove menjawab dengan demikian.
Terdengar sebuah decakan dari seberang sana yang berasal dari mulut atasannya itu. "Saya minta kamu datang ke apartemen saya hari ini.”
Seingat Velove, perempuan itu tidak memiliki kerjaan yang tertunda minggu ini, begitu juga dengan atasannya itu. Jadi, ada urusan apa Dimas menyuruhnya untuk datang ke apartemen miliknya? Di hari libur begini pula, Velove juga kan butuh waktu untuk istirahat.
"Ya, Pak? Eum... sebelumnya mau ngapain ya Pak? Soalnya seinget saya Pak Dimas lagi nggak ada berkas yang harus dikerjain lagi minggu ini." Velove bertanya dengan hati-hati agar Dimas diseberang sana tidak marah padanya.
"Jangan banyak tanya, datang ke apartemen saya secepatnya." Perintah Dimas dengan dingin sebelum kemudian lelaki itu mengakhiri panggilannya secara sepihak tanpa memberikan kesempatan untuk Velove menjawab.
"Aaaaa!! Pak Dimas sialan! Ganggu tidur orang aja!" Perempuan itu melempar dengan asal ponsel miliknya ke atas kasur seraya menggerutu kesal dan menyumpah serapahi lelaki itu.
Walaupun sambil menggerutu, perempuan itu tetap beranjak dari tempat tidurnya dengan ogah-ogahan. Mau bagaimanapun dia masih sayang dengan pekerjaan ini, jangan sampai dia kehilangan pekerjaannya, karena memang gaji yang diberikan oleh perusahaan lumayan besar, belum lagi dengan bonus-bonus bulanannya.
Velove segera masuk ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamarnya, dia memang sengaja mencari kostan yang memiliki kamar mandi dalam agar dirinya lebih nyaman. Tidak butuh waktu yang lama untuk perempuan itu siap-siap, begitu sudah rapih dengan pakai casual-nya, Velove segera memasukkan dompet dan juga ponsel miliknya ke dalam tas selempang.
Sebenarnya Velove memang cukup sering datang ke apartemen atasannya itu, dan semua itu pasti berhubungan dengan pekerjaan. Walaupun ada beberapa kali dia kesana untuk mengerjakan tugas diluar pekerjaannya, seperti membersihkan apartemen atasannya itu atau mengurusi Dimas ketika lelaki itu sedang sakit.
"Nih Pak Dimas mau nyuruh aku buat bersih-bersih apartemen dia lagi kah?" Perempuan itu bertanya sambil memakai sandalnya, tangannya dia gunakan untuk menggulir layar ponsel, sepeti biasa dia akan berpergian menggunakan ojek online.
"Mau pake helm, Mbak?" Tanya driver ojek online itu pada Velove seraya menyodorkan benda tersebut.
"Pake Pak." Jawab Velove yang kemudian mengambil helm yang disodorkan oleh sang driver.
Setelahnya perempuan itu segera naik ke atas jok motor dan meninggalkan kostannya menuju ke apartemen sang atasan. Tapi saking terburu-burunya, ada satu hal yang Velove lupakan begitu saja sebelum berangkat ke apartemen Dimas.
"Makasih ya Pak, pembayarannya udah lewat aplikasi kan ya?" Velove memastikan sambil melepas helm di kepalanya begitu dia sampai di lobby apartemen itu.
"Iya udah di aplikasi Mbak, makasih juga." Balas sang driver seraya mengambil helm yang disodorkan oleh Velove.
Velove membalasnya dengan senyum tipis sebelum kemudian dia segera masuk ke dalam bangunan apartemen mewah itu, unit apartemen Dimas ada di lantai 20, jadi perempuan itu harus menggunakan lift untuk naik ke atas.
Ting!
Suara lift yang terbuka membuat Velove segera masuk ke dalam sana dan menekan panel lantai apartemen yang dia tuju. Tidak butuh waktu lama, pintu lift sudah kembali terbuka dan Velove segera keluar dari sana, berjalan di lorong menuju pintu unit apartemen atasannya itu.
Begitu sampai di depan pintu unit apartemen itu, Velove tidak langsung masuk walaupun sebenarnya dia sudah tahu passcode-nya tapi dia tidak bisa langsung masuk begitu saja, harus atas izin Dimas terlebih dahulu.
Tangan perempuan itu begerak di atas layar ponsel untuk mencari nomor sang atasan dan langsung menghubunginya. Untuk panggilan pertama belum ada jawaban, untung panggilan kedua akhirnya diangkat oleh lelaki itu.
"Halo Pak? Saya udah ada di depan." Ucap Velove begitu panggilan itu terhubung.
"Langsung masuk saja, sudah tahu kan passcode-nya?" Karena memang perempuan itu sudah beberapa kali masuk ke sana tanpa bersama dengan Dimas, yaitu saat mengambil berkas yang lelaki itu tidak sengaja tinggalkan di apartemennya.
"Baik, Pak." Dan kemudian panggilan itu berakhir begitu saja.
Velove langsung menekan beberapa digit angka pada panel yang tersedia, setelah pintu itu berhasil dibuka, dia langsung masuk ke dalam apartemen itu. Seperti biasa, begitu dia masuk suasana dingin dan sunyi apartemen itu langsung terasa.
Perempuan itu bisa langsung melihat sosok Dimas yang sedang duduk di atas sofa depan televisi yang ada di tengah ruangan, Velove langsung membawa langkah kakinya untuk mendekati atasannya tersebut.
"Pagi Pak." Sapa perempuan itu begitu sampai di depan lelaki itu.
"Sekarang sudah siang." Balasnya tajam.
Velove menjadi kikuk di tempatnya, tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Perempuan itu kemudian berdehem pelan sebelum kemudian kembali membuka suaranya. "Eum... Pak Dimas nyuruh saya ke sini buat apa ya?"
"Kamu kesini naik apa?" Bukannya menjawab, Dimas malah balik bertanya.
"Kayak biasa Pak, ojek online." Balas perempuan itu seadanya, sesuai dengan kenyataan yang ada.
"Dengan pakaian kamu yang kayak gini?" Tanya Dimas seraya menatap penampilan Velove dari atas sampai bawah.
"Eh?" Mendengar pertanyaan dan mendapat tatapan seperti itu dari Dimas, Velove ikut menelisik penampilannya dari atas sampai ke bawah. Perasaan tidak ada yang aneh dari penampilannya, dia memakai kaos lengan panjang yang tidak begitu ketat dan celana jeans yang panjangnya satu jengkal dari atas lutut, ya ini penampilan biasa dirinya di luar kerja.
"I—iya Pak, ada yang aneh?"
"Paha kamu, lain kali pakai celana panjang kalau naik kendaraan umum. Jangan ngundang orang buat berbuat jahat."
Velove mengerjap di tempatnya, bingung sekaligus terkejut kenapa atasannya itu tiba-tiba menjadi seperti ini padanya. Tapi perempuan itu kembali tersadar saat lelaki itu kembali membuka suaranya.
"Saya lupa bilang sama kamu." Sebelum melanjutkan kalimatnya, lelaki itu mengangkat tangan sebelah kirinya. "Tolong belikan saya salep memar atau apapun itu untuk mengobati tangan saya."
Kini Velove membelalak di tempatnya melihat tangan kiri sang atasan yang memar dan terlihat sedikit membengkak, lantas entah mendapat dorongan dari mana perempuan itu segera mendekat dengan pandangan khawatir.
"Ya ampun! Ini kenapa bisa kayak gini Pak?" Velove yang khawatir langsung duduk di sebelah lelaki itu seraya tangannya menyentuh pelan tangan kiri Dimas.
Dimas yang ada di tempatnya sedikit terkejut mendapati Velove yang bertingkah seperti itu, bahkan sekarang jarak diantara keduanya cukup dekat, membuat lelaki itu bisa mencium aroma tubuh sang sekretaris.
"Jatuh di kamar mandi."
"Kok bisa sih Pak?! Bapak harusnya lain kali hati-hati dong!" Tanpa Velove sadari kalau sekarang dia sedang memarahi atasannya.
Melihat reaksi yang sekretarisnya itu berikan, Dimas kembali dibuat terkejut dan merasakan sedikit getaran aneh dalam dirinya, apalagi dalam jarak yang sedekat ini.
"Kamu marahin saya?" Dimas bertanya seraya menatap datar sekretarisnya itu.
"E—eh? Maaf Pak, saya cuma khawatir aja." Ucap Velove begitu dirinya menyadari apa yang sudah dia lakukan barusan. "Pak ini biar saya kompres pake air dingin dulu ya sambil nunggu saya beli salep ke apotek."
"Terserah kamu." Jawab lelaki itu dengan singkat.
Setelah mendapat jawaban dari Dimas, perempuan itu beranjak dari sana menuju ke dapur minimalis Dimas untuk mengambil air kompresan dan juga kain bersih di sana. Setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan, Velove kembali ke sofa depan televisi menghampiri Dimas yang masih duduk di sana.
"Pak, saya kompres dulu ya?" Perempuan itu kembali meminta izin seraya memeras kain kompresan sebelum dibalutkan di tangan Dimas yang memar dan bengkak itu.
"Iya." Setelahnya Dimas mulai merasakan rasa dingin saat kain itu menempel pada kulitnya.
"Kok bisa jatuh sih Pak? Pas kapan jatuhnya?" Velove kembali bertanya demikian.
"Udah takdir." Jawab Dimas dengan asal membuat Velove mendengus kesal di tempatnya.
Perempuan itu kembali beranjak dari sana seraya mengambil tas selempangnya. "Saya ke apotek dulu Pak kalo gitu, ada yang mau dititip lagi nggak? Biar sekalian." Velove menekan kata 'sekalian' di akhir untuk menyindir lelaki itu, karena memang Dimas terbiasa memerintahnya setengah-setengah membuat Velove harus bekerja dua kali nantinya.
"Sekalian mampir ke minimarket, beli ayam frozen atau apa aja buat saya makan."
Velove sedikit mengernyitkan dahinya, jam 10 waktu yang terlalu siang untuk sarapan dan terlalu awal untuk makan siang. Apa atasannya itu belum makan dari pagi?
"Pak Dimas belum sarapan ya?" Tebak Velove.
Dimas kemudian menjawab. "Tadi gak sempet."
"Kenapa nggak bilang aja tadi biar sekalian pas saya ke sini beli makanan dulu di jalan?"
"Lupa."
Selalu seperti ini, Velove akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah. "Ya udah Pak nanti sekalian saya mampir ke minimarket. Saya pergi dulu ya."
Saat perempuan itu berbalik hendak beranjak dari sana, Velove tertahan karena panggilan dari Dimas yang ada di belakangnya.
"Vel." Lelaki itu memanggil nama sang sekretaris.
Perempuan itu kembali menoleh ke belakang dan mendapati Dimas yang sudah menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah kepadanya, membuat Velove menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Buat beli salep sama ayamnya." Ucap Dimas menjawab kebingungan di kepala Velove.
"Tapi ini kebanyakan Pak." Balas Velove seraya menerima lembaran uang yang disodorkan oleh lelaki itu.
"Sekalian beli yang lain atau sisanya kamu simpen aja."
Tentu senyum di wajah perempuan itu langsung mengembang, rezeki tidak boleh ditolak. "Baik, Pak."
Perempuan itu kemudian langsung beranjak dari sana, keluar dari dalam unit apartemen Dimas. Velove turun ke bawah, untung saja letak apartemen atasannya itu strategis yang dekat kemana saja, letak apotek dan minimarket tidak terlalu jauh dari sini.
***
Setelah dari apotek dan mendapatkan salep yang dia butuhkan, perempuan itu lalu langsung pergi ke minimarket untuk membeli ayam frozen sesuai dengan permintaan atasannya tadi. Tapi, Velove tidak hanya membeli ayam saja, perempuan itu juga membeli beberapa sayuran dan bahan-bahan lainnya.
Walaupun Dimas hanya memintanya untuk membeli ayam, Velove berinisiatif membeli bahan lain, dia nanti akan meminta izin pada Dimas untuk masak di apartemen lelaki itu.
Begitu sudah mendapatkan bahan-bahan yang perempuan itu butuhkan, dia langsung keluar dari dalam minimarket dengan membawa satu kantong belanjaan. Minimarketnya terletak tidak jauh dari apartemen atasannya, jadi Velove memilih untuk jalan kaki saja.
Tidak butuh waktu yang lama untuk perempuan itu datang ke unit apartemen Dimas, begitu sampai di sana, Velove langsung masuk ke dalam dan masih mendapati Dimas yang duduk di sofa sambil memainkan ponsel milik lelaki itu.
Velove tidak langsung menghampiri sang atasan, tapi perempuan itu memilih untuk ke dapur meletakan kantong belanjaan yang berisi bahan masakan tadi. Setelahnya Velove mengambil salep yang ada di dalam tasnya seraya berjalan mendekat ke arah Dimas.
"Pak, ini salepnya. Kata apotekernya ini bagus, ada sensasi dingin-dinginnya juga." Jelas perempuan itu sambil menyodorkan salep di tangannya.
Lelaki di depannya itu masih sibuk dengan ponselnya, mengabaikan uluran tangan sang sekretaris yang hendak memberikan salep yang dia pesan. "Olesin." Ucapnya tanpa menoleh sedikitpun pada Velove.
"Ya?" Perempuan itu mengerjap bingung, belum menangkap sepenuhnya maksud ucapan Dimas.
"Apa perintah saya kurang jelas?" Tanya lelaki itu seraya mengalihkan pandangannya dari ponsel dan kini tengah menatap Velove dengan tatapan dinginnya.
"J—jelas, Pak." Balas Velove dengan gugup, lalu perempuan itu mulai membuka bungkus salep tersebut.
Dengan perlahan Velove semakin mendekat ke arah atasannya itu. Velove kemudian meraih tangan kiri Dimas yang memar dan mengoleskan salepnya dengan perlahan di area yang memar dan sedikit membengkak itu.
"Yang sakit cuma tangan kiri aja Pak?" Velove kemudian membuka suara untuk mengusir rasa canggung.
Lelaki itu hanya menjawab dengan deheman pelan, kembali fokus pada ponsel yang ada di tangannya dan membiarkan sekretarisnya itu melakukan pekerjaannya.
Velove yang mendengar deheman dari sang atasan hanya mengangguk paham. Setelah selesai mengoleskan salep itu pada tangan kiri Dimas, perempuan itu kemudian langsung menutup tempat salep tersebut.
"Oh ya, tadi saya beli bahan-bahan buat bikin sayur sop. Kalo ayamnya saya bikin jadi sayur sop aja Pak Dimas mau gak? Saya juga ada beli bahan-bahan lain, nanti saya masukin ke kulkas Bapak." Ucap perempuan itu.
"Bukannya saya cuma nyuruh kamu beli ayam?"
"Tapi sisa uangnya masih banyak Pak, jadi ya udah saya beliin yang lain juga, ini aja uangnya masih sisa banyak." Walaupun sudah dibelikan bahan-bahan lain, tapi uang yang Dimas berikan tadi masih tersisa dan tentu saja uang itu masuk ke dalam kantong Velove.
Lelaki itu kemudian mengangguk sekilas. "Terserah mau kamu masak apa, yang penting masih bisa saya makan."
"Okee Pak."
Velove kemudian beranjak dari sana, menuju ke arah dapur yang ada di unit apartemen Dimas itu. Dia langsung mengeluarkan bahan-bahan yang ada di dalam kantong belanjaan dan menyimpannya sebagian ke dalam kulkas yang ada di sana.
Tapi sebelum dia memasak sayur sop, yang pertama harus dia masak adalah nasi. Maka dari itu dia langsung mencuci beras dan memasaknya di rice cooker, Velove sudah hapal sudut-sudut apartemen ini karena memang dia sudah beberapa kali masuk ke sini.
Hampir menghabiskan waktu satu jam untuk perempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah semuanya selesai dimasak, Velove segera menyajikannya di atas meja makan minimalis yang ada di dekat dapur. Lalu perempuan itu membawa langkah kakinya menuju Dimas untuk memberitahu atasannya itu kalau semuanya sudah siap.
"Pak Dimas, makanannya udah siap." Ucap Velove begitu dia sampai di hadapan Dimas.
Mendengar hal itu, Dimas meletakan ponsel miliknya dengan asal di atas sofa dan beranjak dari sana. Lelaki itu membawa langkah kakinya menuju tempat makan, tapi ketika dia tidak menyadari Velove mengikuti langkahnya, Dimas kembali menoleh ke belakang dimana sang sekretaris berdiri di sana.
"Kamu sudah makan?"
Velove yang berdiri di belakang lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya. Bagaimana mau makan kalau begitu bangun dari tidur lelaki itu langsung menyuruh untuk datang ke apartemennya? "Belum, Pak."
"Makan, temani saya."
Perempuan itu lantas kembali menggelengkan kepalanya ribut. "Bapak duluan aja, saya bisa makan nanti."
"Saya gak suka harus ngomong dua kali." Ucap lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya.
Velove yang mendengar hal itupun lantas mulai mengikuti langkahnya dari belakang,m dengan bibir yang mencebik. Dia sebenarnya ingin segera pulang, tapi dia yakin Dimas tidak akan membebaskannya secepat itu.
Begitu sampai di meja makan, Velove segera menyendokan nasi pada piring atasannya dan juga mengambil lauk lainnya untuk dihidangkan. Setelah itu keduanya duduk berhadapan menyantap makanan masing-masing.
Dimas sempat menatap sebentar pada wajah Velove saat perempuan itu sedang menunduk menikmati makanannya, tapi mata lelaki itu teralihkan melihat bulatan kecil yang tercetak dibalik kaos yang perempuan itu pakai.
Kaos Velove tampak basah, tapi sepertinya perempuan itu tidak menyadari. Lelaki itu tidak berniat untuk langsung memberitahukan hal itu pada sekertarisnya, dia masih ingin menikmati pemandangan di depannya itu.
Dua bongkahan besar dan bulatan kecil di tercetak jelas membuat lelaki itu merasakan napasnya tercekat. Dimas tidak lagi fokus dengan makanannya, dia malah menatap penuh minta pada tubuh sekretaris di depannya ini tanpa perempuan itu sadari.
Sedangkan di bawah sana, di pangkal paha lelaki itu mulai ada sesuatu yang berdiri tegak tanpa bisa dia tahan. Biarlah itu terjadi, lagipula Velove yang ada di seberangnya tidak akan melihat hal itu.
Velove yang merasa dirinya sedang diperhatikan segera mendongakan kepalanya dan mendapati Dimas yang menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan—ah tapi setelah dia sadari, Dimas bukan sedang melihat wajahnya, tapi sedang melihat ke arah dadanya.
Perempuan itu mengikuti arah pandang sang atasan, begitu dia menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Velove langsung membelalak kaget dan langsung meletahan sendok serta garpu yang ada di tangannya, lalu tangannya dia gunakan untuk menutupi area bongkahan kembarnya yang tercetak jelas karena basah.
"P—Pak." Dengan tergagap perempuan itu berusaha untuk menutupi tubuhnya dari mata lelaki di depannya itu.
"Lanjutkan makannya."
"Ta—tapi Pak, saya mau izin ke kamar mandi dulu."
"Saya bilang lanjutkan." Dimas tidak bisa terbantahkan.
Dengan perasaan tidak enak di hatinya, Velove kembali melanjutkan kegiatan makan itu. Satu tangannya memegang sendok dan satu tangannya lagi dia gunakan untuk menutupi dadanya.
Dimas yang berada di depan perempuan itu malah semakin terang-terang menatap bagian kembar Velove. Perempuan itu tentu saja risih, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Waktu terasa sangat lambat, padahal Velove sudah secepat mungkin berusaha untuk menghabiskan makanannya, tidak peduli lagi sang atasan akan menganggapnya berantakan atau apapun itu. Yang Velove dipikirkan saat ini bagaimana caranya agar dia bisa segera pergi dari hadapan Dimas.
"Kamu kayak gini sengaja mau ngegoda saya?"
Velove yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang atasan lantas mendongakan kepalanya, menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.
"Maksud Pak Dimas apa?"
"Kamu sengaja kan berpenampilan kayak gini biar saya tergoda." Tuduhnya.
Perempuan itu tidak menyangka kata-kata itu akan terlontar dari bibir Dimas. "S—saya sama sekali nggak punya niatan buat kayak gitu Pak, lagipula saya rasa nggak ada yang aneh sama penampilan saya. Kalo soal kaos saya yang basah, itu karena—" Velove tidak melanjutkan ucapannya karena dia tidak bisa menjelaskan alasan yang sebenarnya.
"Karena?" Lelaki itu menatapnya dengan sorot mata yang menelisik serta alisnya yang terangkat sebelah.
"Itu... itu mungkin karena saya gak sadar pas masak tadi kena air." Bohongnya.
"Kamu yakin?"
"Yakin Pak, kalo emang saya punya niatan buat godain Pak Dimas, mungkin saya udah ngelakuin itu dari awal, bukan sekarang." Jelas perempuan itu.
"Tapi kemarin saat di kantor juga kamu kayak gini." Balas Dimas santai sambil melanjutkan makannya.
"Itu karena kena tumpah minuman, Pak." Velove lagi-lagi harus berbohong.
Dimas hanya menganggukan kepalanya beberapa kali seakan paham dengan apa yang dijelaskan oleh sekretarisnya, padahal lelaki itu tidak percaya sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Velove.