Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
Amara melangkah ke gerbang kampus dengan langkah hati-hati. Matahari pagi terasa lebih panas dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena tatapan orang-orang yang seakan menusuk punggungnya. Sejak berita pernikahannya dengan Bagas meledak, ia tahu kampus bukan lagi tempat aman.
Baru beberapa langkah masuk, sekelompok mahasiswi berbisik keras dengan nada mengejek.
“Itu dia pengantin baru konglomerat.”
“Serius, cewek kayak gitu bisa jadi istri Pak Bagas? Dunia memang gila.”
“Pasti demi uang. Mana ada cinta di situ.”
Amara menggenggam buku erat-erat. Ia menunduk, berusaha melewati mereka. Tapi setiap langkah justru diiringi tawa kecil dan lirikan tajam.
Di kelas, suasana tidak lebih baik. Begitu ia masuk, obrolan mendadak hening sesaat, lalu meletup kembali dengan volume yang sengaja dikeraskan. Amara duduk di kursi belakang, menatap papan tulis kosong.
Dosen masuk dan memulai pelajaran. Namun setelah beberapa menit, matanya tertuju pada Amara.
“Saudari Amara,” katanya lantang. “Saya dengar Anda sekarang sudah menjadi istri seorang pengusaha besar. Apakah itu berarti Anda tidak perlu serius di kelas ini lagi?”
Beberapa mahasiswa tertawa. Amara merasa pipinya panas. Ia berdiri, menahan getaran di suaranya. “Mohon maaf, Pak. Status saya tidak mengubah kewajiban saya di kelas. Saya akan tetap belajar.”
Dosen itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan pelajaran. Tapi tawa kecil masih terdengar di sudut-sudut ruangan.
Saat jam istirahat, Amara memilih duduk sendirian di taman kampus. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga yang biasanya menenangkan, tapi kali ini justru membuat dadanya sesak. Ia membuka ponsel, mencoba mengalihkan pikiran.
Notifikasi media sosial penuh dengan foto dirinya di acara konferensi bersama Bagas. Kolom komentar lebih kejam dari yang ia bayangkan.
“Dia cuma numpang kaya.”
“Kasihan Selvia, sahabat dikhianati.”
“Tunggu saja, sebentar lagi diceraikan.”
Amara memejamkan mata, menahan air mata. Ia ingin membuang ponselnya, tapi ia tahu melarikan diri bukan solusi.
“Amara.”
Suaranya familiar. Davin berdiri di depannya, menatap dengan cemas. Ia meletakkan sebotol air mineral di meja taman. “Kau kelihatan lelah. Minum dulu.”
Amara menatapnya, ragu. “Terima kasih.”
Davin duduk. “Aku tahu semua ini berat buatmu. Tapi kau tidak bisa biarkan mereka menang. Kau lebih kuat dari yang kau kira.”
Amara menggenggam botol itu, matanya berkaca-kaca. “Semua orang menertawakanku, Davin. Bahkan dosen mempermalukan aku. Aku merasa sendirian.”
“Kau tidak sendirian,” jawab Davin mantap. “Aku ada di sini. Aku mungkin bukan siapa-siapa dibanding Bagas, tapi aku peduli. Kalau kau butuh bahu untuk bersandar, aku selalu siap.”
Kata-kata itu menusuk hati Amara. Sebagian dirinya ingin percaya, ingin kembali pada kehangatan yang dulu ia rasakan bersama Davin. Tapi ia juga tahu, hidupnya sudah berubah. Ada dinding besar bernama Bagas Atmadja yang memisahkan masa lalu dan masa kini.
Sore itu, begitu pulang, Amara mendapati Selvia sudah menunggunya di ruang tamu rumah besar Atmadja. Wajah Selvia dingin, tatapannya menusuk.
“Bagaimana rasanya jadi bahan tertawaan di kampus?” tanya Selvia tanpa basa-basi.
Amara terkejut. “Kau dengar dari siapa?”
“Dari semua orang. Mereka kirim padaku. Mereka simpati padaku, sahabat yang dikhianati.” Selvia mendekat, suaranya bergetar karena emosi. “Semakin banyak orang tahu, semakin jelas siapa dirimu sebenarnya.”
Amara menggigit bibir. “Aku tidak pernah berniat menyakitimu, Selvia. Kau harus percaya itu.”
“Percaya?” Selvia tertawa getir. “Kepercayaan kita sudah mati sejak hari kau menerima lamaran Papa. Ingat kata-kataku, Amara: kau boleh duduk di kursi itu sekarang, tapi aku akan pastikan kau tidak lama di sana.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada cibiran mahasiswa mana pun.
Malam harinya, Amara duduk di balkon. Lampu kota berkelip di kejauhan, tapi pikirannya masih terjebak pada wajah-wajah yang mencibirnya.
Bagas datang, berdiri di sampingnya. “Kau terlihat lelah.”
Amara menoleh singkat. “Aku lelah. Semua orang membenciku. Teman-temanku, dosenku, bahkan sahabatku sendiri.”
Bagas tidak menjawab segera. Ia menatap langit malam, lalu berkata, “Semua itu ujian. Kalau kau bisa melewatinya, tidak ada yang bisa menjatuhkanmu lagi.”
Amara menahan napas. “Tapi aku hanya manusia, Bagas. Aku bisa hancur juga.”
Bagas menatapnya dengan sorot yang sulit dibaca. “Kalau kau hancur, bangun lagi. Itu satu-satunya cara.”
Hening. Angin malam bertiup, membawa dingin yang menusuk tulang. Amara menunduk, tapi dalam hatinya sebuah tekad kecil tumbuh. Ia tidak akan membiarkan dunia menelannya mentah-mentah. Kalau mereka ingin melihatnya jatuh, ia akan berdiri lebih tegak.
Malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: apa pun yang terjadi, ia akan bertahan. Dan suatu hari nanti, ia akan membuat semua orang yang meremehkannya menundukkan kepala.
Keesokan paginya, Amara melangkah masuk kelas dengan kepala tegak. Namun begitu ia duduk, seorang mahasiswi di depannya sengaja berbisik cukup keras agar ia dengar.
“Kalau aku jadi dia, aku malu. Menikahi pria setua itu cuma demi duit.”
“Ah, jangan begitu. Mungkin dia memang suka jadi istri simpanan.”
Tawa kecil terdengar. Amara menggenggam pena erat, menahan tangis yang ingin pecah. Ia mengingat kata-kata Bagas: jangan tunjukkan kelemahan.
Saat dosen memberi tugas kelompok, semua orang saling memilih teman. Tidak ada satu pun yang menoleh ke arahnya. Ia berakhir duduk sendirian, kertas kosong di depannya.
Dosen memperhatikan, lalu tersenyum tipis. “Saudari Amara, tampaknya teman-temanmu tidak butuh bantuan. Mungkin Anda bisa minta tolong pada suami Anda untuk mengerjakan tugas ini?”
Seluruh kelas tertawa.
Amara berdiri perlahan, wajahnya pucat tapi suaranya jernih. “Maaf, Pak. Saya tidak butuh suami saya untuk mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab saya. Kalau saya harus mengerjakan sendiri, saya akan melakukannya.”
Hening. Bahkan tawa pun mereda. Dosen menatapnya beberapa detik, lalu melanjutkan pelajaran tanpa komentar. Tapi dalam hati Amara, bara kecil mulai menyala: ia tidak akan membiarkan siapa pun menginjak harga dirinya.
Sore itu, di perpustakaan, Amara menyalin referensi sendirian. Tangannya lelah, matanya berat, tapi ia memaksa diri. Setiap tulisan di kertas itu menjadi pengingat bahwa ia masih bisa berdiri sendiri.
Tiba-tiba, Davin datang membawa setumpuk buku. “Aku dengar kau sendirian. Aku bantu.”
Amara menatapnya ragu. “Aku bisa sendiri.”
“Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya punya teman.” Ia duduk di seberang meja, mulai membuka buku. “Kau tidak perlu buktikan pada semua orang dengan menyiksa diri. Kadang, menerima bantuan juga tanda kekuatan.”
Amara terdiam. Kata-kata itu menohok, tapi ia tidak bisa menyangkal kebenarannya. Hanya saja, menerima bantuan dari Davin membuat hatinya berdebar dengan cara yang rumit.
Malamnya, di rumah Atmadja, Amara kembali menghadapi dinginnya Selvia. Gadis itu sengaja menaruh majalah di meja makan dengan sampul yang menampilkan foto pernikahan Bagas dan Amara. Judulnya: Pernikahan Penuh Misteri, Cinta atau Harta?
“Lihat,” kata Selvia sambil menyeringai. “Bahkan media pun tahu kau hanya numpang hidup.”
Amara menatap majalah itu, lalu menatap Selvia dengan tenang. “Kau boleh percaya apa pun yang kau mau. Tapi aku tidak akan pergi dari rumah ini.”
Selvia mendengus. “Kita lihat berapa lama kau bisa bertahan.”
Bagas masuk tepat saat ketegangan itu memuncak. Ia melirik majalah di meja, lalu mengambilnya dan membuang ke tempat sampah. “Tidak ada gunanya membaca sampah.”
Selvia terdiam, lalu berdiri dan pergi dengan wajah kesal.
Amara tetap duduk, hatinya berdebar. Untuk pertama kali, Bagas membela dirinya di depan Selvia.
Malam itu, Amara duduk di balkon. Ia menatap bintang-bintang, tubuhnya masih gemetar oleh semua yang terjadi hari itu—ejekan di kampus, tatapan sinis, dan pertengkaran dengan Selvia.
Bagas datang, berdiri di sampingnya. “Kau sudah melewati hari yang berat.”
Amara menoleh singkat. “Aku benci jadi bahan gosip. Tapi aku tidak akan lari. Aku akan bertahan, Bagas. Tidak peduli berapa banyak orang yang ingin melihatku jatuh.”
Bagas menatapnya dengan mata gelap yang sulit ditebak. “Itu yang harus kau lakukan. Jangan pernah beri mereka kemenangan.”
Untuk sesaat, Amara melihat kilatan penghargaan di mata Bagas. Dan malam itu, ia merasa sedikit lebih kuat.