“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
“Tidak!! Tolong!! Aku nggak mau jatuh!” Pekik Citra ketika tersadar kalau tubuhnya tinggal beberapa jengkal lagi wajahnya akan bersentuhan dengan permukaan lantai yang begitu mengkilap.
Jantung Citra sudah berpacu dengan waktu saking takutnya terjatuh ke atas lantai marmer. Karena terlalu banyak pikiran hingga kakinya tersandung oleh sesuatu.
Dan tepat di detik itu juga tubuhnya hampir mencium lantai, tapi tanpa terduga satu tangan besar tiba-tiba meraih lengannya dengan sekuat-kuatnya, sehingga menghentikan jatuhnya dalam satu hentakan.
Grep.
Karena tarikannya begitu kuat sehingga tubuh Citra menghantam tubuh sang penolong. Ia spontan melingkarkan tangannya ke pinggang penolongnya tanpa berfikir panjang.
Tapi seketika Citra terkejut, matanya terbuka pelan karena syok. Detik itu pula ruangan menjadi senyap dan sunyi.
Beberapa orang menutup mulut karena kaget melihat adegan itu yang begitu cepat terjadi di depan mata mereka.
Jannah dan Melati mendadak tegang, wajah mereka berubah pucat pasi ketakutan, khawatir dan cemas.
“Sialen!! Kenapa juga ada yang datang menolongnya, tapi bukannya itu…” ucapan lirih Jannah terhenti ketika menyadari siapa yang dewa penolong wanita yang dibencinya.
Kedua bola matanya Melati melotot saking tak percaya melihat siapa orang yang telah berbaik hati menolong Citra.
Melati menggeram kesal karena rencananya yang dipikirkannya akan berhasil sempurna ternyata gagal total mempermalukan Citra.
Melati mengepalkan kepalan tangannya,” brengsek! Kenapa meski ada orang yang membantunya! Seharusnya biarin saja wanita udik, kampungan dan norak itu terjatuh agar dia tahu rasa jangan terlalu percaya diri dan menganggap dirinya lah yang paling cantik.”
Karena suara berat dan dingin dari atas tubuhnya Citra terdengar jelas suara yang paling ditakutkannya untuk ia dengar malam itu.
“Kok suaranya mirip dengan CEO arogan dan songong itu yah!? Tapi kayaknya bukan deh aku pasti hanya salah dengar. Pasti banyak suara yang mirip dengan suaranya si bos galak,” batinnya Citra yang masih memeluk sang penolong.
Tubuhnya yang melengket seperti seekor tokek betina belum menyadari siapa yang menolongnya karena wajahnya masih betah bertahan dalam posisi seperti semula.
Tapi tiba-tiba suara seseorang yang cukup nyaring dari arah belakang keduanya sehingga mau tidak mau Citra menolehkan kepalanya ke arah belakang.
“Lepasin tangan kotormu dari tubuh calon suamiku!” Teriaknya seorang wanita yang sama sekali tidak dikenali oleh Citra.
Citra yang mendengar teriakan dari perempuan yang memakai baju seksi sontak melepaskan pelukannya dan hampir saja tubuhnya terjatuh karena dia menarik tangannya sekuat tenaga dari orang tersebut.
“Ahhh!” Jerit Citra kembali.
Tubuh Citra kembali terjengkang kalau saja seseorang tidak sigap menangkapnya. Lengan kokoh Pak Amri, kepala bodyguard yang dijuluki kulkas dua pintu, menopang punggungnya sebelum ia jatuh ke lantai marmer.
“Hati-hati, Mbak Citra,” ucap Pak Amri datar tapi sopan.
Fokus Citra saat itu cukup jernih hingga ia langsung menyadari siapa yang membantunya. Cepat-cepat ia melepas pegangan tangannya, pipinya memanas karena malu.
“Maafkan saya, Pak Amri… saya nggak sengaja. Terima kasih banyak sudah bantu saya.” Suaranya terdengar gugup.
Belum sempat Amri menjawab, suara ketus seseorang menusuk telinga.
“Kenapa cuma berterima kasih sama satu orang? Padahal bukan cuma dia yang bantu!”
Citra refleks menoleh ke kanan. Seketika napasnya tercekat. Tepat di depannya berdiri lelaki yang paling tidak ingin ia temui.
“Kamu!?” seru Citra tanpa sadar, telunjuknya terangkat menunjuk wajah pria itu.
Ardhanza menghela napas kasar, rahangnya mengeras. “Seperti ini balasan yang aku dapat setelah membantumu?”
Citra langsung panik, menyadari kesalahannya. “Ka–ka—maafkan aku, Tuan Mu–da… eh–sa–saya nggak sengaja…”
Belum sempat Ardhanza menanggapi, sebuah tangan mencengkeram pergelangan Citra kuat-kuat. Perempuan itu mendorong Citra hingga ia hampir jatuh untuk kedua kalinya.
“NGGAK SENGAJA apanya, hah!?” bentaknya. “Jelas-jelas tadi kamu sengaja jatuh supaya dapat perhatian dari para lelaki di sini!”
Citra meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. Untungnya Amri masih berdiri tak jauh dan kembali menangkapnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.
“Ma–makasih, Pak,” gumam Citra pelan.
Seluruh ruangan dapur umum mendadak senyap. Semua orang menatap adegan itu tanpa berani berbisik sekalipun. Ardhanza hanya menatap dingin — matanya mengikuti tiap gerak dua perempuan di depannya.
“Aku HERAN,” perempuan itu kembali bersuara tajam. “Belum 24 jam kamu bekerja sebagai baby sitter baby Jaylani dan Jianira, tapi sensasi kamu di sini udah kayak artis!”
Dialah Inara tunangan Ardhanza. Dan seakan ingin mengukuhkan statusnya, ia tanpa ragu memeluk tubuh pria itu, lalu mengecup bibirnya tepat di hadapan puluhan mata yang menyaksikan.
Para pekerja otomatis mengalihkan pandangannya, saling berpura-pura sibuk karena tidak ingin mendapat masalah. Citra justru memilih menatap ke arah lain.
“Astaghfirullahaladzim…” desisnya lirih.
“Apa nggak ada tempat lain selain depan orang banyak…” sungutnya.
Di sudut lain dapur, tiga perempuan hanya saling lirik dengan senyum kemenangan.
Jannah membatin sambil berpura-pura mengiris bawang, “Hahah! Akhirnya perempuan jelek dan udik itu dapat lawan sepadan. Biar tahu rasa dia sudah songong padahal cuma babu!”
Amelia tersenyum licik sembari melanjutkan santap malamnya, “Untung tadi aku langsung chat Nona Inara. Kalau nggak, janda gatel itu makin besar kepala merasa paling penting padahal kehadirannya cuman karena dibutuhkan kalau nggak mana mungkin dia dilirik oleh nyonya besar Hilda. Semoga cepat dipecat biar aku yang gantikan dia jadi pengasuh utama.”
Melati menghela napasnya penuh kebencian, “Perempuan ini kayak ulat bulu nempel ke semua lelaki yang ada. Aku bersumpah bakal balas karena dia caper di depan Abang Amri. Abang Amri hanya milikku seorang.”
Sementara itu Manda, sahabat Citra yang kebetulan lewat, menahan napas dan menutup mulutnya karena kaget.
“Ya Allah… semoga Citra nggak dipecat gara-gara salah paham ini, kasihan sekali kalau sampai dia harus pulang kampung padahal baru hitungan jam kami berdua bekerja di rumah ini,” gumamnya cemas.
Inara menatap Citra dengan kemenangan penuh. Ia mengusap sudut bibir Ardhanza yang masih basah oleh ciumannya lalu menatap Citra setajam belati.
“Semoga kamu paham posisi kamu di rumah calon suamiku,” sindirnya.
Inara melingkarkan tangannya ke lengan kekar pria yang hanya terlihat mematung saja.
“Jangan karena Tante Hilda percaya sama kamu, kamu jadi lupa diri. Satu hal yang paling penting kamu ingat jangan pernah kamu jadi penggoda calon suami orang. Kamu janda kan yah, pasti tahu lah rasanya dicampakkan suami gara-gara pelakor.”
Ruangan kembali hening karena tak ada yang berani bersuara meski suara dentingan sendok dan garpu bersentuhan dengan piring makan.
Citra terdiam beberapa detik, menunduk. Semua orang mengira ia akan menangis atau marah.
Tapi Citra perlahan mengangkat kepalanya. Wajahnya tenang, sorot matanya lembut tapi ada kekuatan di dalam setiap kata yang terucap dari bibirnya.
“Saya terima peringatan Mbak Inara,” ucapnya sopan. “Tapi izinkan saya meluruskan satu hal.”
Semua menolehkan kepalanya ke arah Citra dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Saya datang ke rumah ini bukan untuk mencari perhatian lelaki mana pun. Saya hanya bekerja. Saya punya harga diri dan saya nggak perlu menjatuhkan diri hanya untuk dilirik oleh laki-laki.” ucapnya.
Ia tersenyum tipis, tanpa ada nada menantang dari ucapannya.
“Dan soal janda…” ia menghela napas pelan. “Status saya memang janda. Tapi itu bukan aib. Orang yang memandang status saya rendah mungkin lupa bahwa Allah bisa membalik keadaan kapan saja.”
Para pekerja terdiam, tidak berani berkedip sedikitpun.
“Kalau suatu hari Mbak mengalami hal yang sama,” suara Citra melembut, seperti menasehati bukan menyerang, “saya harap ada orang yang mau memperlakukan Mbak lebih baik daripada apa yang baru saja Mbak lakukan kepada saya.”
Seketika tubuh Inara menegang. Dia tidak menyangka kalau akan ada orang yang berani dan lancang membalas ucapannya.
“Lumayan juga pengasuh satu ini, kayaknya bakal seru kalau perempuan satu ini tinggal di sini,” batinnya Ardhanza.
Ardhanza menatap Citra lama entah terkejut atau malah terkesan dengan karakter Citra yang tak mudah ditindas dan dibully.
“What the hell! Kenapa juga aku memuji perempuan yang mempermalukan aku siang tadi di rumah sakit. Aku akan buat perhitungan dengannya setelah ini,” tekadnya dalam hati Ardhanza.
Citra menunduk sekali lagi sambil menghela nafasnya.
“Terima kasih sudah mengingatkan saya soal batasan. Saya paham tugas saya dan saya akan bekerja dengan benar.”
Tanpa menunggu jawaban, Citra melangkah keluar dapur, meninggalkan ruangan beku dan tiga perempuan yang kini wajahnya memucat karena merasa tersindir tanpa disebut nama.
“Aku tidak akan pernah mudah tumbang hanya karena ucapan dan sikap kalian k padaku! Kapan lagi bisa bekerja dengan gaji yang sangat tinggi. Karena daya tarik uang lebih menggiurkan daripada ucapan julid, hinaan dan cacian dari orang yang dengki.” Cicitnya sambil terus berjalan ke arah kamar baby twins padahal dia belum menyentuh makanannya sehingga dia melewatkan makan malamnya.
Tanpa mereka sadari, ada beberapa pasang mata lain yang menyaksikan seluruh kejadian malam itu dari sudut gelap lorong dekat dapur umum.
Seorang pria muda bersandar santai pada kusen pintu, menyilangkan tangan di dada. Senyumnya miring, matanya tajam menilai.
“Perempuan itu cukup tangguh rupanya,” gumamnya pelan, seolah menikmati kekacauan yang baru terjadi. “Rumah ini bakal makin seru ke depannya.”
Ia berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah santai, seolah sudah menunggu babak drama berikutnya.
Di sisi lain, ada tiga sosok lain yang juga menyaksikan insiden tersebut masing-masing dengan pandangan serius, bukan sekadar gosip.
Ariestya menenggak minuman hangatnya sebelum bersuara, nada tenangnya penuh penilaian.
“Pak Ridho pintar juga memilih baby sitter. Jarang ada orang baru yang nggak langsung goyah dibentak Inara.”
Alice mengangguk setuju tanpa melepaskan pandangannya dari arah Citra yang pergi ke arah luar ruangan.
“Iya… sikapnya keren banget. Dia nggak balas kasar, tapi kata-katanya kena langsung ke ulu hati. Cantik, sopan, tapi kuat. Natural banget nggak dibuat-buat.”
Dirga terkekeh pelan, memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Gue suka gaya dia. Elegan tapi tajam kalau udah diinjak. Orang kayak gitu susah dipatahkan dan justru bikin penasaran.”
Ariestya menghela napas. Alisnya terangkat, seakan baru menemukan teka-teki baru.
“Citra bukan tipe yang bisa diinjak hanya karena statusnya rendah. Kalau dia diperlakukan nggak adil, dia tahu cara membela diri.”
Alice tersenyum simpul ada kekaguman murni di matanya.
“Aku berharap dia betah bekerja di sini. Rumah ini butuh orang kayak dia bukan cuma pekerja, tapi seseorang yang bisa menetralisir kelakuan orang-orang yang egois.”
Dirga mengangguk setuju, kali ini lebih serius. “Dan kalau ada yang mau main kotor sama dia sepertinya bukan Citra yang bakal jatuh.”
“Kayaknya Mbak Inara mendapatkan saingan nih. Secara wajah baby sitternya baby twins J itu cantik banget alami gitu tanpa oplas nggak kayak calon kakak ipar kita,” sahutnya Alice adik sepupu jauh dari mamanya Ariestya yang campuran Jerman Indonesia itu bekerja sebagai sekretaris CEO perusahaan TD Corp.
Dirga terkekeh mendengar ucapan kedua wanita muda yang berdiri tepat samping kanan kirinya kedua perempuan cantik itu.
“Kenapa gue ngerasa Citra akan menjadi batu sandungan hubungannya kak Ardhanza dengan si ular berkepala tiga itu yah,” sahut Dirga kakak sepupunya Ariestya dari pihak papanya yang keturunan Tionghoa itu.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.