NovelToon NovelToon
Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Kriminal dan Bidadari / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Playboy
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ricca Rosmalinda26

Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.

Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.

Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Diam

Bu Retno memandangi wajah anak semata wayangnya lama, matanya tajam penuh naluri seorang ibu.

“Arga… kalian gak apa-apa, kan?”

Pertanyaan itu lembut, tapi dalam.

Arga menggeleng pelan, mencoba tersenyum. “Gak apa-apa, Ma. Cuma salah paham kecil. Nanti aku jelasin ke dia.”

Bu Retno masih menatapnya, lalu menghela napas panjang. "Alya itu perempuan baik. Kalau dia sampai diam, artinya dia terluka.”

Arga menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresi datar.

“Iya, Ma. Aku tahu.”

Bu Retno menepuk lengan Arga lembut. “Sekarang kalian makan dulu di kantin. Mama lihat wajah kalian udah lelah banget. Dari kantor langsung ke sini.”

“Iya, Ma,” jawab Arga.

Kantin rumah sakit, pukul sepuluh malam.

Aroma kopi instan bercampur bau antiseptik dari lorong. Hanya beberapa meja yang terisi.

Bima mendorong dua buah roti ke meja di pojok ruangan.

“Udah, makan dulu. Lo belum makan malam ini,” katanya, memecah keheningan.

Arga hanya mengangguk, menatap roti itu tanpa selera.

Bima memperhatikannya sejenak sebelum membuka mulut lagi.

“Lo sadar gak, Ga… dari tadi lo kayak orang yang lagi nyalahin diri sendiri.”

Arga menatapnya singkat, lalu menunduk lagi. “Mungkin karena gue emang salah. Tapi itu gak seperti yang kalian lihat. Clara cuma hampir jatuh.”

“Gue tahu kejadian itu kelihatannya buruk banget, sorry gue sempet emosi lihat lo begitu.” ucap Bima hati-hati.

Arga tersenyum kecut. “Reflek yang datang di saat Alya liat langsung. Dan parahnya, dia datang buat nyampein kabar Papa.”

Bima terdiam. Ia tahu kalimat itu menohok.

“Gue udah bilang, hidup tuh suka bercanda di waktu yang gak tepat,” gumamnya akhirnya.

Arga mengusap wajahnya kasar. “Gue nyakitin dia tanpa niat, ya Bi? Alya itu… orang yang paling gak pantas dapet rasa sakit kayak gitu. Dia bahkan masih sempat mikirin Papa gue, sementara gue—”

Kalimatnya menggantung. Dada Arga sesak.

Bima bersandar, menatapnya dalam. “Baru kali ini gue lihat lo begini, bahkan waktu putus sama mantan lo, boro-boro cerita, lo cuma ngelampiasin semuanya ke alkohol dan kerjaan. Lo tahu gak kenapa dia bisa setenang itu tadi? Karena dia udah belajar buat gak nyalahin siapa pun. Tapi kalo lo gak jelasin, dia bakal percaya sama apa yang matanya liat, bukan apa yang hatinya tahu.”

Arga mendengus pelan. “Gue udah coba kirim pesan.”

“Dan?”

“Belum dibaca.”

Bima menghela napas panjang, lalu menatap Arga dengan ekspresi setengah kesal, setengah kasihan.

“Lo nih ya, jago ngatur proyek miliaran, tapi kalah sama satu perempuan yang cuma pengen penjelasan jujur. Ngomong di pesan, udah kayak anak SD berantem tau gak?”

Arga menatap Bima datar. “Lo ngomong kayak gampang aja.”

“Karena emang gampang, kalo lo mau nurunin ego sedikit, kalo lo mau ketemu dia, lo ngomong langsung ke dia.”

Nada Bima serius, berbeda dari biasanya. “Ga, sekarang lo punya Alya, wanita itu luar biasa istimewa menurut gue. Dan perempuan kayak dia cuma bisa bertahan kalo dia ngerasa dihargai.”

Arga diam lama.

Bima melanjutkan dengan nada lebih lembut, “Gue tahu lo gak romantis, tapi adang diam lo itu bikin orang mikir lo gak peduli.”

Arga memejamkan mata sebentar, menarik napas berat. Matanya menatap keluar jendela kantin, ke arah langit malam yang mendung.

“Dia pasti kecewa,” gumamnya lirih. “Alya gak pernah marah, Bi. Tapi tatapan diamnya tadi… Kenapa jadi lebih nyakitin dari bentakan apa pun.”

Bima menatapnya dalam. “Saran gue sih, Ga. Lo harus udah nerima pernikahan ini. Alya terlalu istimewa kalau cuma lo pakai buat main-main.”

___

Setelah makan, keduanya kembali ke ruang tunggu.

Bu Retno masih duduk di sana, bersandar dengan mata yang mulai lelah. Arga berjalan mendekat dan menutup selimut kecil di pundak ibunya.

“Dokter bilang besok pagi udah bisa dijenguk,” kata bu Retno lembut.

Arga mengangguk, menatap jam di dinding. “Mama istirahat aja. Aku jagain Papa malam ini.”

"Lo pulang aja, Bim. Thanks." Lanjutnya pada Bima.

Bima mengangguk, "Gue balik dulu, Bro. Besok gue harus ngurus proyek."

Arga hanya mengangguk sebagai jawaban.

Arga menatap kosong ke arah koridor tempat sang ayah dirawat.

Dalam diam, ia tahu Bima benar tentang hubungannya dengan Alya.

Ia cuma gak tahu harus mulai dari mana.

"Perasaan apa ini? Perasaan tertarik atau hanya rasa bersalah karena selama ini dia sudah peduli?" Batin Arga.

___

Sementara malam itu rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.

Jam dinding berdetak pelan, menandai setiap menit yang berjalan lambat.

Alya duduk di tepi ranjang, menatap lampu tidur yang redup.

Rasa kantuk seharusnya sudah datang sejak tadi, tapi bayangan kejadian di kantor terus memutar di kepalanya seperti potongan film yang enggan berhenti.

Wajah suaminya, dingin, terkejut, lalu panik.

Alya memejamkan mata, menekan dadanya yang terasa sesak.

Ia tahu, mungkin Arga tak bersalah. Tapi manusia tetap manusia dan luka tetaplah luka, meski logika sudah mencoba menenangkannya.

Tangannya terulur mengambil tas kecil di meja samping, membuka pesan terakhir yang dikirim Arga.

Arga: Maaf tentang tadi. Aku akan jelaskan semuanya.

Pesan itu belum ia balas.Alya menarik napas panjang, lalu menutup ponsel.

Ia menunduk, berdoa pelan, memohon ketenangan kepada Tuhan agar tidak menghakimi dengan emosi.

“Ya Allah... jagalah hatiku dari prasangka, tapi juga kuatkan aku untuk menahan kecewa,” bisiknya lirih.

Malam makin larut. Hujan turun perlahan, mengetuk jendela dengan suara lembut.

Alya akhirnya rebahan, tapi matanya tak kunjung terpejam. Antara lelah dan sedih.

---

Pagi Hari

Cahaya matahari menyelinap lewat celah tirai.

Alya sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Ia menyiapkan air panas untuk teh, lalu memasak bubur ayam lembut.

Di meja makan, sudah tersusun rapi dua kotak bekal:

satu berisi sarapan untuk Mama Retno, satu untuk suaminya.

Di atasnya, ia menaruh selembar kain kecil berisi pakaian ganti Arga yang sudah ia lipat rapi dan diberi aroma wewangian, seperti kebiasaan lama yang tak pernah ia ubah.

Sebelum berangkat, Alya berhenti sejenak di depan cermin.

Wajahnya terlihat letih, tapi tetap tenang. Ia memilih gamis abu muda dengan kerudung putih polos. Sederhana, tapi bersih dan sopan.

---

Rumah sakit, pukul tujuh pagi.

Lorong masih sepi, hanya terdengar suara langkah para perawat. Alya berjalan perlahan sambil membawa tas kain besar di tangannya.

Begitu sampai di depan ruang perawatan khusus, ia melihat Bu Retno sedang duduk di kursi tunggu, masih dengan pakaian semalam. Arga berdiri tak jauh darinya, berbicara singkat dengan dokter.

Alya menunduk pelan, lalu menghampiri.

“Assalamu’alaikum, Ma.”

Bu Retno menoleh, dan seketika wajahnya melunak. “Wa’alaikumussalam, Alya... Kamu datang pagi-pagi sekali.”

Alya tersenyum kecil. “Alya bawakan sarapan, Ma. Sekalian baju ganti untuk Arga.”

Ia menatap sejenak ke arah suaminya, yang kini juga menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu singkat, cukup untuk membuat udara di sekitar mereka terasa berubah.

Arga hanya bisa berkata pelan, “Kenapa datang pagi sekali hm? Datang diantar pak Hasan kan?"

Alya mengangguk. “Gak perlu khawatir, mas.”

Ia lalu menaruh tasnya di kursi dan menyodorkan kantong bekal ke Bu Retno. “Ini, Ma. Alya masak bubur ayam sama teh jahe. Biar perut Mama gak kosong.”

Bu Retno tersenyum. “Aduh, Alya... kamu ini, selalu perhatian.” Ia menepuk tangan menantunya pelan. “Kamu udah makan?”

“Sudah, Ma. Di rumah,” jawab Alya lembut.

Setelah itu, Alya beralih ke Arga. Ia mengambil bungkusan kecil dan menyerahkannya tanpa banyak bicara.

“Ini baju gantinya mas. Aku juga bawain sarapan. Makan dulu, ya. Mas belum makan sejak semalam. Maaf semalam aku tidak perhatian dengan makan malamnya mas.”

Arga menatapnya lama, ingin bicara, tapi kata-katanya tertahan. Hanya gumaman pelan yang keluar, “Makasih.”

Alya menatap ayah mertuanya lewat jendela kaca. “Kondisi Papa gimana sekarang, Ma?”

“Sudah agak stabil,” jawab Bu Retno. “Dokter bilang bisa dijenguk sebentar nanti, tapi masih harus banyak istirahat.”

Alya mengangguk kecil. Ada lega yang menembus dadanya.

“Alhamdulillah,” ucapnya lirih. “Kalau begitu, Ma... Mas Arga bisa kerja aja hari ini. Mama juga sebaiknya pulang, ya, istirahat sebentar. Biar Alya yang gantian jaga Papa di sini.”

Bu Retno langsung menggeleng. “Aduh, Nak, kamu udah capek juga. Gak usah, biar Arga aja.”

Alya tersenyum lembut, tatapannya menenangkan. “Alya gak capek kok, Ma. Lagipula saya cuma duduk di sini kok. Mama butuh istirahat supaya gak drop. Alya kan sudah biasa jaga pasien, dulu di pondok sering dapat jadwal piket klinik.”

Bu Retno terdiam sejenak, lalu menatap menantunya dengan senyum tulus. “Kamu benar-benar anak yang sabar, ya. Kalau Papa kamu sadar nanti, pasti senang kamu di sini.”

Alya menunduk pelan. “Alya cuma ingin bantu, Ma.”

Arga yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku bisa tetap di sini, Alya. Kamu gak perlu—”

“Gak apa-apa,” potong Alya dengan nada lembut tapi tegas. “Aku ingin di sini, mas. Biar mas bisa kerja. Ada rapat besar hari ini, kan? Karyawan mas pasti butuh mas disana.”

Arga menatapnya lama. Seperti ingin mengatakan banyak hal yang tertahan.

---

Setelah sarapan, Bu Retno berdiri. “Mama mau ke bawah sebentar, beli air mineral.”

Sebelum keluar, ia menepuk pundak Alya lembut. “Kalian jagain Papa dulu, ya. Mama sebentar aja.”

Begitu pintu tertutup, hanya mereka berdua yang tersisa.

Suasana sepi, hanya suara mesin monitor yang mengisi ruang.

Alya duduk di kursi ruang tunggu, menatap ayah mertuanya dengan pandangan teduh.

Tanpa menoleh, ia berkata pelan, “Mas, rapatnya jam berapa hari ini? Alya dengar Mama bilang ada rapat besar pagi ini?”

Arga mendekat, duduk di kursi sebelahnya. “Aku tunda, Alya.”

Alya menoleh pelan. “Ditunda?”

“Iya.” Arga menatapnya serius. “Aku udah minta Bima ubah jadwalnya. Aku mau di sini dulu, sama kamu.”

Alya diam, menunduk. Ia tidak tahu harus merasa apa, tersentuh atau justru semakin bingung.

Arga menarik napas, lalu berkata dengan nada tenang tapi dalam, “Tentang kemarin… aku tahu kamu lihat sesuatu yang mungkin salah paham. Aku harus jelaskan.”

Alya masih diam, tangannya meremas ujung jilbabnya pelan.

“Clara ke ruanganku lalu entah apa yang terjadi dengan sepatunya. Aku cuma bantu bersihin lukanya, terus dia hampir jatuh lagi waktu bangun. Aku reflek nangkap dia, dan di saat itu… kamu datang.”

Ia menatap Alya lama, tulus. “Itu aja. Gak ada yang lebih dari itu, Alya.”

Alya memejamkan mata, seolah menahan air yang hampir pecah dari dalam dirinya.

Ia tidak langsung menjawab, hanya menarik napas perlahan.

“Mas gak perlu minta maaf,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Alya percaya Mas Arga gak akan berbuat yang tidak pantas. Tapi…”

Ia menoleh, tatapannya lembut tapi tajam. “Kadang yang menyakitkan bukan karena Mas salah. Tapi karena aku tidak langsung dijelaskan.”

Arga menunduk, kata-kata itu seperti tamparan halus yang menembus dinding egonya.

“Aku cuma manusia biasa, Mas. Belajar dari pondok bukan berarti gak bisa sedih.”

Alya tersenyum tipis, menatap ke arah Pak Damar. “Aku tahu Mas sibuk, tapi kalau diam terus, nanti luka kecil bisa tumbuh jadi curiga.”

Arga menatapnya lama. Lalu ia berkata dengan nada berat, “Aku gak akan diam lagi, Alya.”

“Tidak perlu janji, Mas,” balas Alya lembut. “Cukup buktikan dengan kehadiran."

Arga terdiam. Ada kelegaan yang merambat di dadanya.

Beberapa saat kemudian, Bu Retno kembali dengan kantong plastik di tangan. “Ini minum untuk kalian." ucapnya sambil memberikan kantong plastiknya.

Alya langsung berdiri dan menyambutnya. “Terimakasih, Ma. Sekarang Mama istirahat saja di rumah. Alya yang gantian jaga Papa. Mas Arga juga biar bisa bersih-bersih dulu.”

Bu Retno menatap keduanya bergantian, lalu tersenyum kecil, "Mama akan tetap disini, nemenin kamu." Ucap bu Retno pada Alya.

"Dan kamu, Ga. kamu bisa berangkat kerja." Lanjut bu Retno.

1
Rosvita Sari Sari
alya mah ngomong ceramah ngomong ceramah, malah bikin emosi
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Ma Em
Dengan kesabaran Alya dan keteguhan hatinya akhirnya Arga sadar dgn segala tingkah perlakuannya yg selalu kasar pada Alya seorang istri yg sangat baik berhati malaikat
Ma Em
Semoga Alya bisa meluluhkan hati Arga yg keras menjadi lembut dan rumah tangganya sakinah mawadah warohmah serta dipenuhi dgn kebahagiaan 🤲🤲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!