Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah
Dingin.
Lantai batu yang lembap menyedot panas terakhir dari tubuhku.
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, setiap tarikan udara terasa seperti pisau di paru-paruku. Kepalaku berdenyut-denyut, dipenuhi oleh kabut tebal yang mengaburkan ingatanku.
Ada sesuatu yang sangat penting hilang, sebuah lubang menganga di jiwaku, tetapi aku tak bisa mengingat apa.
Jerit besi berderit membelah kesunyian. Cahaya obor menyilaukan mataku yang sudah terbiasa gelap.
"Dia sudah sadar," desis sebuah suara, dingin dan penuh kepuasan. "Bawa dia keluar. Waktunya telah tiba!"
Tanganku ditarik kasar. Kakiku yang lemah terseret di atas lantai basah. Aku melihat mereka: wanita-wanita dengan gaun sutra dan tatapan seperti ular. Istri-istri Marquess Tyran lainnya.
"Lepaskan aku! Apa kesalahanku?" teriakku, suaraku serak dan asing di telingaku sendiri.
Wanita yang paling depan mendekat. Senyumnya tipis dan menusuk. "Kesalahanmu? Kau telah melakukan kejahatan terbesar. Kau membunuh pewaris Marquess Tyran. Kau meracuni darah yang seharusnya meneruskan garis keturunannya!"
Membunuh pewaris? Kata-kata itu menggema di kepalaku yang kosong. Itu mustahil. Tidak masuk akal.
Aku yakin aku tidak melakukannya, bahkan aku mengutuk dan merasa marah... tapi mengapa wajah mereka penuh dengan kebencian yang tulus? Apa aku... benar-benar melakukannya?
"Aku tidak! Aku tidak ingat—" protesku, tetapi tamparan keras di pipi memutuskan kata-kataku.
"Jangan berpura-pura hilang ingatan, wanita gila!" hardiknya. "Semua orang telah melihat buktinya. Dan sekarang, seluruh Kontinen akan melihat balasannya!"
Aku diseret melalui koridor panjang yang dingin. Lalu, tiba-tiba, kami berada di luar gerbang istana. Sinar matahari menyilaukanku, tetapi segera disambut oleh teriakan.
"Pembunuh!"
"Wanita Gila!"
"Tidak bisa dimaafkan!"
Batu pertama menghunjam bahuku. Rasa sakitnya tajam dan mengejutkan. Batu kedua menyentuh pelipisku, dan rasa besi yang hangat mengalir di pipiku. Aku diseret melalui alun-alun kota, diteriaki, diludahi, dan dilempari oleh wajah-wajah yang sama yang dahulu memandangku dengan hormat.
Air mataku mengalir, bercampur dengan darah dan kotoran. Rasa malu, ketakutan, dan kebingungan yang mendalam menyelimutiku. Apa yang telah kulakukan? Apakah aku benar-benar melakukan ini?
Akhirnya, mereka mendorongku naik ke sebuah panggung kayu. Sebuah balok kayu dengan cerukan untuk leher terpampang di depanku. Di sekelilingku, para prajurit berdiri kaku.
Lalu, mataku menangkap seseorang di kerumunan. Sebuah wajah yang seharusnya akrab. Sahabatku, Clarisse. Wajahnya yang cantik tak seperti biasanya, dipenuhi oleh senyum kecut dan… kepuasan.
Dia tidak menangis. Tidak juga berduka. Dia hanya menatapku, lalu dengan santai mengangkat bahunya, seolah berkata, "Apa yang kau lihat? Kau pikir aku peduli?"
Pengkhianatan itu terasa lebih menyakitkan daripada batu-batu yang dilemparkan.
Seorang algojo mendorong bahuku, memaksaku untuk membungkuk. Kepalaku ditekan ke balok kayu yang kasar. Aku melihat butiran-butiran kayu dan noda-noda gelap yang mungkin darah kering. Dunia menyempit menjadi suara napasku sendiri yang tersendat-sendat.
Terdengar langkah kaki yang berat menaiki panggung. Bukan langkah kaki algojo. Langkah ini… aku mengenalnya.
Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku sedikit. Sepatu bot kulit hitam berhenti tepat di sampingku. Aku mengikuti sepatu itu ke atas, ke jubah hitam legam yang disulam dengan benang perak membentuk simbol ular.
Marquess Tyran. Suamiku.
Dia mengambil pedang besar dari tangan algojo. Dia akan melakukannya sendiri.
Aku menatap matanya, mencari sedikit saja keraguan, sedikit saja belas kasihan. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan. Sedalam dan sedingin musim dingin tanpa akhir.
Matanya menyipit, dan suaranya mendesis keluar dari antara gigi yang terkunci. "Tidak ada kata-kata terakhir yang layak untuk pengkhianat sepertimu."
Dan... STAB!
Kegelapan total menyelimutiku saat bilah pedang itu turun.
Dan dalam kegelapan yang abadi itu, sebelum kesadaranku benar-benar pudar, sebuah bisikan halus, selembut embun, menyentuh jiwaku yang hancur. "....Kami tidak apa-apa. Jadi, bahagialah...."
***
"Hah! ...hah... ha?"
Napas tersangkut di tenggorokanku saat aku membuka mata.
"Apa ini... di mana aku?"
Kelambu sutra berwarna krem, dihiasi sulaman bunga-bunga emas, mengelilingi tempatku terbaring.
Sinar matahari pagi menyaring masuk melalui jendela kaca tinggi, menerpa debu-debu yang menari di udara. Wangi lavender dan Chamomile memenuhi udara, begitu familier dan menusuk kenangan.
Aku bukan di penjara. Aku bukan di alam baka.
Aku… di kamarku.
Kamar yang telah hancur bersama runtuhnya keluarga Hartwin bertahun-tahun yang lalu.
Dengan gemetar, aku mendorong tubuhku untuk duduk. Selimut sutra yang halus terlepas dari tubuhku. Aku menatap tanganku. Mulus, tanpa bekas luka atau memar akibat siksaan. Kuraba wajahku. Halus, tanpa robekan atau bengkak.
Jantungku berdebar begitu kencang, seolah ingin meledak dari dadaku. Ini mustahil. Ini mimpi. Atau… ini adalah akhirat?
Aku melompat dari tempat tidur, kakiku sedikit goyah saat menyentuh karpet permadani yang tebal, lalu bergegas menuju cermin besar di sudut kamar.
Seorang gadis muda menatapku dari balik kaca.
Wajah itu milikku, tapi… bukan. Lebih muda. Lebih polos. Pipinya masih memiliki semburat kemerahan, matanya yang lebar dipenuhi kecemasan, tapi belum ada bayang-bayang keputusasaan yang menghantuiku.
Ini adalah wajahku delapan tahun yang lalu... Atau tujuh tahun yang lalu? Tidak. Detailnya tidak penting. Daripada itu...
"Apa ini nyata? Tidak mungkin…" bisikku, suara serak dan asing.
Pintu kamarku diketuk sopan sebelum terbuka. Seorang pelayan muda masuk membawa nampan berisi air hangat dan handuk bersih.
"Selamat pagi, Nona Elira," sapanya dengan ceria. "Oh, Anda sudah bangun. Apa tidur Anda tidak nyenyak? Anda terlihat pucat."
Aku hanya bisa menatapnya, mulutku sedikit terbuka. Lila. Pelayan setia yang tumbuh besar bersamaku... yang dijual untuk membayar hutang keluarga.
"Li-Lila?" suaraku bergetar saat menyebut namanya.
"Iya, Nona. Ada yang bisa saya bantu? Sarapan sudah siap di bawah. Tuan Count dan Tuan Muda Cedric sudah menunggu," ujar Lila ramah, sama sekali tidak curiga.
Count. Cedric. Ayah. Kakakku. Nama-nama itu menghantamku seperti cambuk. Mereka… masih hidup.
Realitas itu menamparku. Aku tidak mati. Ini bukan mimpi.
Aku telah kembali.
Kembali ke masa sebelum semuanya hancur.
Tanpa sadar, air mata panas mengalir di pipiku. Tubuhku terguncang oleh isakan yang dalam, bukan dari kesedihan, tapi dari kelegaan yang begitu besar hingga terasa menyiksa. Seperti seorang yang hampir tenggelam akhirnya bisa menarik napas lagi.
"Nona! Anda tidak apa-apa?" seru Lila panik. "Haruskah saya panggilkan tabib?"
"Tidak!" sahutku terlalu cepat, suaraku parau. Kuseka air mata dengan kasar, menarik napas dalam-dalam. "Aku… hanya mimpi buruk. Mimpi yang sangat-sangat buruk."
Itu adalah pernyataan paling remeh yang pernah kuucapkan.
Aku berjalan ke jendela, menatap taman di bawah yang hijau dan terawat. Kediaman County Hartwin masih berdiri megah. Keluargaku utuh.
Keluarga...
Lalu, ingatan itu menyambar. Dinginnya bilah pedang di leherku. Mata kosong Marquess Tyran. Senyum puas Clarisse. Teriakan "Pembunuh!"
Dan bisikan terakhir itu. "...bahagialah..."
Siapa? Kenapa?
Aku mencoba mengingat, tapi kepalaku hanya berdenyut sakit.
Tidak masalah. Itu bisa kupikirkan nanti.
Sekarang, hanya satu hal yang penting.
Mereka semua akan membayarnya. Para pengkhianat. Para ular. Dan pria yang mengeksekusiku dengan tangannya sendiri.
Aku tidak akan menjadi korban lagi. Kali ini, aku adalah pemburunya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments