"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Aisyah — Di Ambang Kehidupan dan Kelahiran
Langit Batupute menggantung kelabu. Udara terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang enggan dibocorkan. Suara ombak dari Pantai Lasonrai terdengar lebih dalam dari biasanya, seperti sedang berzikir atas takdir yang tengah ditulis di bumi. Di dalam rumah kecil di tepi perbukitan, Aisyah terbaring lemah di atas kasur kapuk yang mulai tipis. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, keringat membasahi pelipisnya seperti embun yang berusaha bertahan di bawah terik ujian.
Tangannya menggenggam tasbih yang sudah mulai pudar warnanya, satu-satunya warisan dari almarhumah ibunya. Setiap butirnya bergetar di sela jemari, seolah turut membaca doa. Di sisi lain, Khaerul duduk dengan mata sembab, mulutnya tak berhenti melafalkan surah Maryam, memohon pertolongan dan keajaiban.
“Aisyah... bertahanlah. Kau kuat. Kau cahaya di tempat ini,” bisik Khaerul dengan suara yang bergetar.
Namun Aisyah hanya tersenyum lemah. Matanya menyapu langit-langit rumah, seolah sedang melihat sesuatu yang tidak kasat mata. “Aku... melihatnya... perempuan tua berjilbab putih. Ia menatapku... dan bilang waktuku belum selesai.”
Pintu rumah tiba-tiba dibuka keras. Bidan desa, Ibu Ramlah, datang dengan membawa peralatan sederhana. “Persalinan sudah dekat. Tapi ini tak biasa. Aisyah seperti melawan dua dunia,” ujarnya tegang.
Bersamaan dengan itu, majelis pengajian yang dipimpin Ustazah Maryam mulai berkumpul di serambi rumah. Mereka membaca Yasin dan Al-Mulk bersama. Doa-doa melambung ke langit, menggema sampai ke Pantai Lasonrai. Santri-santri ikut bersujud, menangis dalam zikir. Dalam diam, seluruh desa bersatu untuk satu nama: Aisyah.
Namun badai tidak berhenti di situ. Seorang santri muda berlari ke rumah. "Ustazah! Ada yang mencoret-coret dinding pondok! Mereka menuliskan fitnah... bahwa Ustazah Aisyah membawa ajaran sesat!"
Khaerul berdiri gemetar. “Ini ulah siapa lagi?!”
Di antara kebingungan, muncul suara tua dari balik kerumunan. Pak Hamzah, salah satu tokoh adat yang diam-diam memihak Aisyah, berkata, “Aku curiga... ini ulah Pak Samad. Dendamnya belum padam.”
Aisyah yang mendengar itu berbisik, “Jangan benci dia. Jika benar ia mengirim segala ini, maka hanya doa dan sabar yang jadi senjata kita. Jangan biarkan anak-anak melihat dendam sebagai warisan.”
Tangis bayi memecah malam beberapa jam kemudian. Maryam Zahra lahir di tengah badai doa dan air mata. Namun Aisyah belum juga sadar penuh. Tubuhnya masih berjuang, seakan belum yakin apakah ia sudah menunaikan takdirnya.
Dan saat fajar mulai menjingga, suara zikir menggema semakin keras dari santri dan para ibu pengajian. Mereka mengelilingi rumah, menyatukan hati, menolak bala dengan doa. Di balik cahaya fajar itu, terlihat siluet perempuan tua berjilbab putih—senyumnya tenang, memudar seperti kabut pagi.
Namun semua belum berhenti,ketegangan semakin memuncak. Malam itu, suara langkah kaki mengendap-endap terdengar dari belakang rumah. Seekor ayam mendadak berkokok keras, diikuti bayangan hitam yang berlari menjauh. Khaerul segera mengejar, namun yang tersisa hanya sehelai kain hitam bertuliskan huruf Arab yang aneh dan bercampur simbol. Simbol itu sama seperti yang pernah ditemukan Aisyah di pintu mushola beberapa minggu lalu.
Ketakutan menjalar. Aisyah mulai menggigil meski suhu tubuhnya naik drastis. Ibu Ramlah tampak panik, “Ini bukan sekadar fisik. Seperti ada sesuatu yang mengikat jiwanya... seperti kekuatan yang ingin menahan ruhnya!”
Tiba-tiba Aisyah berteriak, tubuhnya kejang. Semua orang terguncang. Ustazah Maryam segera mengambil air zamzam dan membacakan doa perlindungan. Santri-santri menyambung dengan ayat kursi dan dzikir keras, hingga rumah bergetar seakan bumi ikut menahan derita Aisyah.
Kemudian... dalam kondisi setengah sadar, Aisyah berkata, “Ia... ia masih di sini... Pak Samad... bukan hanya manusia... ia menyimpan sesuatu yang lebih tua dari semua dendam...”
Ucapan itu membekukan ruangan. Tak lama, bayi mungil menangis—Maryam Zahra lahir dalam badai dan keheningan. Tapi Aisyah pingsan. Tubuhnya lemah, ruhnya seperti berada di antara dua pintu: kehidupan dan kematian.
Malam itu, mimpi mendatangi Khaerul. Dalam mimpinya, ia melihat seorang lelaki tua bersorban berdiri di tepi Pantai Lasonrai, memegang kitab tebal yang bercahaya. "Jika kau ingin selamatkan dia, temukan kitab ini... yang hilang dari keluarga Mahfudz. Itu kunci segala rahasia."
Langit Batupute masih kelabu. Guntur menggelegar seperti peringatan dari langit. Di dalam rumah kecil itu, Aisyah masih terbaring lemah. Nafasnya tipis, namun detaknya terus berjuang. Di luar, para santri dan majelis masih bertahan, meski dingin mulai menusuk kulit dan angin laut dari Pantai Lasonrai berhembus kencang.
Khaerul duduk di sisi Aisyah sambil menggenggam tangan istrinya. Sesekali ia mengusap peluh dari wajah Aisyah yang pucat. Air mata menetes dari sudut matanya. Hatinya berperang antara rasa takut kehilangan dan keyakinan bahwa keajaiban Allah selalu datang di ujung kesabaran.
Tiba-tiba, suara letusan kecil terdengar dari belakang rumah. Beberapa santri berlarian ke arah suara itu. Mereka mendapati sebuah botol pecah dan sisa-sisa pembakaran kemenyan di dekat pagar. “Seseorang sedang mencoba mengirim sesuatu yang buruk... ini jelas ilmu hitam!” seru salah satu santri.
Khaerul segera memerintahkan agar ruqyah syar’iyyah dimulai. Ustazah Maryam mengambil al-Qur’an dan mengajak seluruh majelis membaca surah al-Baqarah, ayat-ayat perlindungan, dan doa-doa untuk mengusir gangguan batin dan jin. Aisyah tiba-tiba merintih, tubuhnya menggigil keras. Tangan dan kakinya seolah tertarik oleh sesuatu yang tak kasat mata.
“Ia sedang diseret... tapi bukan oleh kematian... oleh kekuatan yang belum selesai,” ujar Ustazah Maryam, matanya menatap tajam ke arah timur, tempat di mana Pak Samad tinggal.
Malam semakin pekat. Di luar sana, Pak Samad duduk bersila di ruang tengah rumah panggungnya. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi air dan bunga-bunga layu, di atasnya terdapat lembaran kertas bertuliskan huruf-huruf kuno yang hanya dimengerti oleh segelintir orang.
Namun kali ini wajah Pak Samad tak sekekar biasanya. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar. Ia tahu, kekuatan yang ia panggil mulai berbalik arah. Sosok hitam tinggi menjulang berdiri di sudut ruangan, menatapnya tanpa mata, menghisap cahaya di sekeliling.
"Kau langgar perjanjian lama... darah itu suci... tak bisa kau sentuh!" suara itu menggema, bukan dari mulut makhluk itu, tapi dari dinding dan langit-langit.
Pak Samad berteriak, tapi suaranya seperti tak sampai ke dunia nyata. Ia tahu, malam itu bukan hanya Aisyah yang di ambang kematian—tapi dirinya juga.
Kembali ke rumah Aisyah, tiba-tiba bayi kecil yang baru lahir—Maryam Zahra—menangis lebih keras, lalu terdiam seketika, memandangi ibunya. Tatapan bayi itu seperti menembus lapisan dimensi yang tak tersentuh. Di saat bersamaan, Aisyah menarik napas panjang. Suara zikir dan doa terus bergema, dan seketika tubuh Aisyah berhenti menggigil.
Ia membuka mata perlahan. Di hadapannya, berdiri seorang perempuan tua berjubah putih, yang tersenyum dan berkata, “Anak ini bukan sekadar amanah. Ia adalah penjaga keturunan yang dirahasiakan... darah Mahfudz yang suci.”
Lalu bayangan itu menghilang. Aisyah sadar, tapi tubuhnya masih lemah. Ia menatap Khaerul dan berbisik, “Semua belum selesai. Aku melihat... kitab itu... ada di gua dekat Pantai Lasonrai. Di balik batu besar... ada cahaya.”
Khaerul mengangguk. Malam itu, ia memutuskan, setelah fajar menyingsing, ia akan mencari kitab yang dimaksud dalam mimpinya. Kitab yang mungkin bisa memutus rantai sihir dan membuka semua rahasia keluarga Mahfudz.
Malam panjang masih belum berakhir. Tapi harapan mulai menyalakan pelita kecil di kegelapan.
Fajar menyingsing perlahan, menyingkap kabut yang menggantung di langit Pantai Lasonrai. Suara debur ombak menggema seperti zikir alam yang mengiringi langkah Khaerul menuju gua yang disebutkan Aisyah. Dengan membawa lampu minyak dan mushaf tua milik ibunya, ia menyusuri jalan setapak di tepi tebing.
Setelah berjalan hampir satu jam, Khaerul tiba di mulut gua yang tersembunyi di balik semak berduri dan batu karang. Batu besar seperti yang digambarkan Aisyah berdiri kokoh di sisi kanan mulut gua. Ketika ia menyentuh batu itu, sebuah ukiran tampak samar: "Li man yasta'inu billah"—untuk siapa yang meminta pertolongan kepada Allah.
Dengan lafaz basmalah, Khaerul mendorong batu itu perlahan. Ternyata batu itu adalah pintu rahasia yang menutupi ruang kecil di dalam gua. Cahaya samar memancar dari dalam, seolah ada cahaya lilin yang tak pernah padam.
Di tengah ruangan, di atas sebuah altar batu, tergeletak sebuah kitab bersampul kulit berwarna hitam keemasan. Di sampulnya terukir huruf Arab: "Al-Kasyfu ‘an Sirri Mahfudz” (Pengungkapan Rahasia Mahfudz).
Tangan Khaerul bergetar saat menyentuh kitab itu. Saat ia membuka lembar pertamanya, udara di dalam gua bergetar. Lembaran pertama mengisahkan silsilah Mahfudz bin Ibrahim secara lengkap, termasuk anak-anaknya yang tidak pernah disebutkan di dokumen warisan manapun.
Namun halaman berikutnya membuat darah Khaerul membeku. Di sana tertulis ritual yang dijaga turun-temurun oleh satu cabang keluarga—sebuah perjanjian yang menyangkut kehormatan dan bala. Jika dilanggar, maka generasi berikutnya akan mengalami penderitaan batin dan gangguan spiritual.
Nama Nuraini dan Halimah tertulis dengan tinta merah. Sebuah garis merah menghubungkan mereka dengan simbol matahari dan bulan, lalu catatan kecil di bawahnya berbunyi:
“Yang membuka kitab ini harus menyelesaikan tiga tanda: luka darah, cermin langit, dan roh penjaga.”
Khaerul menatap langit-langit gua yang mulai bergemuruh pelan. Langkahnya tidak boleh mundur. Kitab ini bukan hanya kunci pembebasan Aisyah, tapi juga jalan menuju kebenaran yang dikubur dalam darah dan doa.