Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kediaman Keluarga Qin
Karavan bergerak perlahan menembus jalanan berbatu yang memanjang jauh ke dalam wilayah utara milik keluarga Qin. Sepanjang jalan, hamparan hutan pinus dan ladang herbal yang teratur menyambut rombongan dengan semilir angin dingin khas dataran tinggi. Tak lama kemudian, mata mereka menangkap bayangan sebuah gerbang batu yang berdiri kokoh, meski tidak semegah tembok kota Nine Treasures Pavilion. Di atas gerbang itu, berkibar sebuah bendera berlambang tulisan kuno. 'Qin' tanda tak terbantahkan bahwa mereka telah sampai di jantung wilayah keluarga.
Begitu karavan mendekat, dua penjaga bersenjata tombak panjang segera mengenali lambang pada kereta utama. Mereka bertukar pandang, lalu membuka gerbang tanpa ragu. Hari ini, mereka telah diberi tahu, adalah hari kembalinya sang nona dari perjalanan panjangnya rombongan Qin Aihan. Kehangatan samar tercermin dalam sorot mata para penjaga, seolah menyambut bukan hanya tamu, melainkan darah mereka sendiri.
Di balik gerbang itu terbentang kompleks besar yang tertata dengan harmonis. Bangunan-bangunan beratap melengkung khas arsitektur Tiongkok berdiri rapi di kiri dan kanan, dengan lantai dua yang menjulang namun tidak menimbulkan kesan angkuh. Ukurannya pas tidak megah mencolok, tapi cukup untuk menyiratkan kekuatan dan tradisi lama yang berakar dalam.
Qin Aihan, dari dalam keretanya, menjelaskan dengan tenang namun penuh kebanggaan. Di balik dinding ini, keluarga Qin tak hanya hidup mereka membangun sebuah sistem. Lima ribu jiwa tinggal di sini, sebagian besar adalah rekrutan dari luar. Mereka bukan sekadar pelayan. Ada yang menjadi penjaga kediaman, ada pula yang menjadi pengawal pribadi keluarga inti. Beberapa bekerja di kebun herbal, menanam tumbuhan langka untuk membuat pill penyembuh. Yang lain menjelajah dunia luar, mencari bahan-bahan berharga demi kelangsungan warisan keluarga.
Karavan terus bergerak menembus halaman luas yang ditumbuhi pohon plum dan kolam-kolam batu. Tak jauh dari pusat, tampak sebuah bangunan yang menonjol. Dua lantai, dengan atap hijau zamrud dan dinding kayu merah tua yang dijaga dengan penuh hormat. Di sinilah tempat kediaman kepala keluarga Qin jantung dari seluruh kediaman, tempat keputusan besar dibuat dan sejarah terus ditulis ulang dalam diam.
Begitu roda terakhir dari karavan berhenti berderit, pintu kayu bergeser perlahan dan Qin Aihan melangkah turun, diikuti oleh Feng. Debu tipis beterbangan seiring jejak langkah mereka menyentuh tanah halaman yang telah lama menanti kedatangan sang nona.
Dari sisi lain kompleks, sebuah karavan lainnya bergerak menjauh, menepi menuju bangunan samping yang tak jauh dari pusat kediaman. Di sanalah Bibi Mei berada matanya tajam seperti biasa, namun kali ini tak ada perintah, hanya kesibukan terkoordinasi. Ia bergerak menuju sisi barat, tempat bangunan pengobatan berdiri tenang di bawah naungan pohon plum tua. Para penjaga yang terluka, sebagian masih berbalut perban, berjalan terseok dengan diam ke arah bangunan itu, menanggung luka demi kehormatan keluarga Qin.
Qin Aihan melirik sekilas ke arah mereka, lalu menoleh pada Feng Jian yang berjalan di sampingnya. Suaranya lembut, namun cukup jelas untuk melampaui hembusan angin senja. “Ayahku… orangnya tak seperti kepala keluarga lain. Ia lebih sering tertawa daripada memarahi. Ibu pun demikian, dan adikku… kadang terlalu santai.” Bibirnya membentuk senyum samar, seperti mengenang rumah yang lama tak disinggahinya.
Feng Jian menanggapi tanpa tergesa. Tatapannya lurus ke depan, namun nada suaranya membawa keteguhan. “Aku tidak akan membiarkanmu sendirian di sini, Aihan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, kamu bisa mengandalkanku.”
Anggukan ringan menjawabnya. Tak ada lagi kata-kata, hanya angin yang mulai menggugurkan kelopak-kelopak kecil dari pohon di sudut halaman.
Tak lama, roda karavan mulai berderit lagi, satu per satu meninggalkan halaman utama, menyisakan debu dan keheningan. Qin Aihan dan Feng Jian berdiri sejenak memandangi punggung-punggung kereta itu, lalu berbalik bersamaan.
Bangunan utama keluarga Qin menjulang di hadapan mereka, tenang dan anggun seperti raja tua yang tengah beristirahat. Mereka melangkah bersisian menuju pintu utama, melewati halaman batu yang bersih dan lampion-lampion merah yang mulai dinyalakan satu per satu. Tanpa kata, mereka memasuki kediaman itu.
Begitu melangkah masuk ke dalam aula utama, aroma dupa lembut dan kayu cendana menyambut Qin Aihan. Ruangan itu luas namun hangat, dengan pilar-pilar merah tua dan lampu gantung dari kertas minyak yang memancarkan cahaya keemasan. Di sanalah mereka tiga sosok yang selama ini hanya hadir dalam kenangan sepanjang perjalanan.
Ayahnya berdiri paling depan. Sosoknya tak terlalu besar, tapi tegap dengan cara yang membuat orang tak bisa meremehkannya. Rambutnya mulai dipenuhi uban, dan di dagunya tumbuh jenggot tipis yang tak terlalu lebat, menambah kesan keayahan yang hangat. Namun, siapa pun yang memiliki mata tajam akan segera sadar di balik senyum lembut dan postur tenangnya, tersimpan kekuatan besar. Aura kultivasi yang mengalir dari tubuhnya, meski tak ditunjukkan secara sengaja, menggema tenang dalam ruangan. Alam Penyatuan Tubuh Tahap Menengah. Tak ada keraguan.
Di sisi kanan, ibunya berdiri dengan senyum yang sedikit bergetar. Wajahnya cantik, meski usia telah meninggalkan jejaknya dalam bentuk garis-garis halus di sekitar mata dan bibir. Ia mengenakan jubah berwarna ungu muda dengan bordir bunga plum, pakaian yang cukup indah namun tidak mencolok. Ada keanggunan tenang dalam caranya berdiri, seperti seseorang yang telah lama menjaga rumah ini dalam keheningan dan cinta.
Lalu dari belakang, berlari kecil dengan langkah ringan, muncullah seorang gadis kecil. Umurnya sekitar sepuluh tahun, tubuh mungilnya berbalut pakaian sederhana tapi bersih. Wajahnya cerah mata bulat, hidung kecil, dan senyum yang memancar seperti matahari pagi. Ada bayangan Qin Aihan di raut wajah gadis itu, terutama dari bentuk matanya yang memantulkan cahaya yang sama cahaya keluarga.
"Aihan." suara sang ayah terdengar rendah, namun penuh kehangatan, seperti suara kayu terbakar perlahan di musim dingin. "Kamu pulang."
Qin Aihan hanya mengangguk pelan, dadanya terasa berat oleh rasa rindu yang tak pernah benar-benar padam. Di sisi lain, sang adik sudah memeluk pinggangnya, tertawa kecil sambil menengadah, “Kakak, kenapa lama sekali baru pulang?”
Ia membelai rambut adiknya dengan lembut. Rumah ini… meski dunia di luar begitu luas dan keras, tempat ini tetaplah poros yang tak pernah bergeser.
Suasana hangat memenuhi ruangan utama kediaman keluarga Qin. Setelah beberapa teguk teh dan sedikit percakapan ringan, Qin Aihan akhirnya membuka suara. Suaranya tenang, tapi ada sedikit kelelahan yang tak bisa disembunyikan di balik senyum tipisnya.
“Pil-pil yang kubawa ke pelelangan… sebenarnya kualitasnya belum seberapa." katanya pelan, pandangannya menatap cangkir teh yang ada di hadapannya. “Aku sempat kesulitan menjualnya. Banyak dari mereka yang mengincar kualitas tinggi dari sekte-sekte besar. Tapi aku mencoba... aku membuat tawaran langsung kepada kepala pelelangan.”
Ia berhenti sejenak, menatap ayah dan ibunya bergantian. “Akhirnya, aku berhasil menyepakati pembagian empat banding enam. Enam untuk pihak pelelangan, empat untuk kita. Di tempat sebesar pusat perdagangan Nine Treasures Pavilion, itu sudah termasuk tawaran tinggi.”
Hening sejenak.
Qin Wenyi, sang ibu, menatap putrinya dengan mata lembut yang mulai berkaca-kaca. Senyum bangga merekah perlahan, dan tangannya yang halus terulur, menggenggam tangan Aihan di atas meja. “Kau telah melakukan lebih dari cukup, Aihan… Ibu tahu, kau bekerja keras di luar sana. Kami bangga padamu.”
Qin Jianwei, yang duduk dengan tenang di sisi lain meja, mengangguk perlahan. Tatapannya penuh rasa puas dan bangga yang tak terucap. “Putriku sudah bisa berdiri sendiri. Membuat keputusan, menegosiasikan pembagian, menjalankan bisnis dengan kepala dingin…” Ia menghela napas ringan, senyum tipis terukir di wajahnya yang bijaksana. “Dengan bakat dan tekad seperti itu, bukan hal aneh kalau kau akhirnya menarik pria tampan dan berbakat seperti… pria di belakangmu itu.”
Feng Jian, yang berdiri di belakang Aihan sepanjang percakapan, tetap dalam diam, tapi sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk hormat. Ia tidak menunjukkan reaksi lebih, tetap seperti batu karang yang menjaga tepian.
Lalu, dari sisi kanan ruangan, suara jernih dan polos menyela suasana yang khidmat.
“Kak… pria tampan itu…” Qin Yuhan, adik kecilnya, menatap Feng Jian dengan mata bulat penuh rasa penasaran. “Itu pacarmu ya?”
Qin Aihan tersentak kecil. Pipinya memerah tanpa bisa dicegah, sementara ibunya tertawa pelan dan menutup mulut dengan tangan, menahan tawa lebih keras. Ayahnya hanya menghela napas antara geli dan pasrah.
Feng Jian sendiri hanya mengangkat alis sedikit, lalu menunduk dalam diam, seolah pertanyaan bocah sepuluh tahun itu terlalu dalam untuk dijawab di saat seperti ini.
“A-Yuhan…” Qin Aihan mengelus kepala adiknya dengan malu-malu.
Tapi gadis kecil itu hanya tersenyum cerah, merasa sudah menemukan rahasia besar, dan seluruh ruangan dipenuhi tawa lembut yang menggema pelan seperti nada bahagia dari rumah yang akhirnya kembali lengkap.
...----------------...
Yang ingin melihat Visual Karakternya:
~ Follow Instagram: eido_481