Seorang mahasiswa cupu yang hidupnya terkurung oleh penyakit langka, menghembuskan napas terakhirnya di ranjang rumah sakit. Tanpa dia duga, kematian hanyalah awal dari petualangan yang tak terbayangkan. Dia terbangun kembali di sebuah dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk-makhluk aneh, namun dalam wujud seorang anak laki-laki berusia lima tahun bernama Ahlana. Ironisnya, dia terlahir sebagai budak.
Di tengah keputusasaan itu, sebuah Sistem misterius muncul dalam benaknya. Sistem ini bukan hanya memberinya kesempatan untuk bertahan hidup, melainkan juga kekuatan luar biasa: kemampuan untuk meng-copy ras makhluk lain beserta semua kekuatan dan kemampuan unik mereka. Namun, ada satu syarat yang mengubah segalanya: setiap kali Ahlana mengaktifkan kemampuan copy ras, kepribadiannya akan berubah drastis, menyesuaikan dengan sifat alami ras yang dia tiru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Sanaill, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Pelarian dengan Sentuhan Anggun
Aku menatap Tuan Grom yang berjuang di dalam lumpur dengan perasaan campur aduk. Sebagian dari diriku, Ahlana yang asli, merasa puas melihat sang penyiksa tersiksa. Namun sebagian lainnya, sang Peri Hutan, hanya bisa merasakan jijik yang mendalam melihat kekotoran dan ketidakharmonisan. Rasanya ingin sekali memanggil para Dryad untuk membersihkan area ini, atau setidaknya memandikan Grom dengan air mata peri yang suci—tapi itu mungkin hanya akan membuat kulitnya melepuh.
“Kau... kau... akan kubunuh!” teriak Grom, suaranya teredam lumpur, sementara tangannya mencoba meraih cambuknya yang kini tergeletak tak jauh darinya.
“Dasar tidak tahu diri,” gumamku, suaraku masih bernada lembut namun dingin seperti embun pagi. “Setelah semua kekacauan yang kau ciptakan, kau masih ingin membuat lebih banyak lagi?” Aku mengangkat tanganku, dan sulur-sulur tanaman lain mulai tumbuh dari tanah, menjauhkan cambuk itu dari jangkauannya. Grom meraung frustrasi.
Di belakangku, para budak yang sedari tadi menyaksikan, kini mulai berbisik-bisik. Ketakutan yang semula mendominasi wajah mereka kini bercampur dengan tatapan takjub dan harapan. Mereka melihat seorang bocah yang disiksa, berubah menjadi makhluk anggun dan kuat yang mampu menjatuhkan penyiksa mereka. Beberapa bahkan mulai berbisik, “Peri... dia adalah Peri...”
Aku menyadari bahwa ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk kabur, dan mungkin, membawa sebagian dari mereka. Tapi aku tidak bisa membawa semuanya. Tubuh Peri ini tidak dirancang untuk memimpin revolusi. Ia dirancang untuk melarikan diri dengan elegan.
“Dengar,” kataku, suaraku mengalun menembus bisikan-bisikan. “Siapa pun yang ingin bebas, ikuti aku. Aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian semua, tapi aku bisa menunjukkan jalan keluar dari rawa busuk ini.”
Beberapa budak ragu-ragu. Bertahun-tahun perbudakan telah mengikis keberanian mereka. Namun, satu per satu, wajah-wajah yang lelah itu mulai menunjukkan tekad. Seorang anak perempuan kecil dengan mata besar yang ketakutan, lalu seorang remaja laki-laki yang lebih tua, dan kemudian beberapa lagi. Hanya sekitar dua puluh orang dari ratusan budak yang ada, tapi itu cukup.
“Cepat,” desisku, “sebelum makhluk kotor itu memanggil bala bantuan.”
Dengan gerakan yang tak kuduga sebelumnya, aku melompat. Tubuhku yang kini ringan dan lentur melayang di atas lumpur, mendarat dengan anggun di bebatuan kering. Kaki-kakiku terasa aneh tapi menakjubkan, seperti bisa menari di atas angin. Anak-anak yang mengikutiku berusaha meniru, tapi mereka terjatuh dan berlumuran lumpur.
“Tidak seperti itu, dasar bodoh,” gumamku secara otomatis, sebuah cibiran samar terukir di bibir Peri-ku. Oh, astaga. Kepribadian Peri ini memang agak sombong dan perfeksionis. “Sini!”
Aku menjulurkan tanganku, dan tanpa kusadari, sulur-sulur hijau muncul dari tanah di depanku, membentuk jembatan darurat yang kokoh di atas lumpur. Mereka menatapku dengan mata terbelalak, tak percaya.
“Cepat!” perintahku, kali ini dengan nada yang sedikit lebih mendesak. “Kita tidak punya banyak waktu!”
Para budak itu segera melintasi jembatan sulur yang baru kubuat. Beberapa dari mereka, yang terlalu lemah, perlu bantuan. Insting Peri-ku ingin mengeluh tentang kurangnya keanggunan, tapi insting Ahlana-ku yang asli tahu ini adalah tentang kelangsungan hidup.
Kami berlari, atau lebih tepatnya, aku terbang dan mereka berlari tertatih-tatih, menuju hutan lebat di luar perkebunan. Suara teriakan Tuan Grom dan anjing-anjing pelacak mulai terdengar di kejauhan.
“Cepat! Sembunyikan jejak kita!” perintahku pada diriku sendiri. Tanpa kusadari, tanganku kembali terangkat. Daun-daun berguguran dari pepohonan, menyebarkan wangi tanah dan lumut yang kuat. Semak belukar di belakang kami tumbuh rimbun dalam sekejap, menutupi jejak kaki kami. Bahkan beberapa pohon kecil melengkung, membentuk terowongan alami yang menyembunyikan jalur kami. Ini luar biasa! Kekuatan Peri ini sungguh di luar dugaanku.
Namun, di tengah-tengah euforia kebebasan dan kekuatan, sebuah sensasi aneh mulai muncul. Perasaan melankolis, kerinduan pada sesuatu yang hilang, mulai merayapi benakku. Sebuah dorongan untuk menyanyikan lagu tentang hutan yang terluka, atau tentang bintang-bintang yang merana.
“Kenapa... kenapa aku ingin menangis?” bisikku pada diri sendiri, kebingungan.
[Efek Ras ‘Peri Hutan Terluka’ Berkurang. Durasi Tersisa: 5 Menit.]
[Kecenderungan Kepribadian: Melankolis, Sensitif Terhadap Lingkungan, Dorongan Kreatif.]
Oh, jadi ini efek sampingnya. Peri ini ‘terluka’, jadi kepribadiannya melankolis. Dan mungkin juga ingin menyanyi. Aku menghela napas. Petualangan ini benar-benar akan menguji kewarasanku.
Kami berhasil mencapai kedalaman hutan saat Sistem kembali memberikan notifikasi.
[Efek Ras ‘Peri Hutan Terluka’ Berakhir. Cooldown: 2 Jam]
[Atribut Fisik Kembali ke Normal. Kecenderungan Kepribadian Kembali ke Normal.]
Dalam sekejap, tubuhku menyusut kembali menjadi Ahlana yang berukuran normal. Rambut hijauku kembali menjadi hitam legam yang acak-acakan. Rasa melankolis itu sirna, digantikan oleh rasa lelah dan pegal di sekujur tubuh. Sensasi berat di dada menghilang, dan gaun berenda yang entah dari mana asalnya kini terasa kotor dan robek di beberapa bagian. Tunggu, gaun berenda? Kemeja lusuhku telah berubah menjadi gaun tipis berwarna hijau muda dengan aksen dedaunan!
“Sialan!” umpatku, menyadari bahwa aku kini mengenakan gaun. Gaun! Aku seorang laki-laki! “Ini... ini memalukan!”
Para budak yang mengikutiku, kini bebas dan terengah-engah, menatapku dengan bingung. Mereka melihat bocah ajaib yang tiba-tiba berubah menjadi gadis Peri cantik, lalu kembali menjadi bocah lagi, kini mengumpat sambil menunjuk gaunnya sendiri.
“Uhm... Ahlana?” panggil salah satu anak laki-laki yang lebih tua, ragu-ragu. “Kau... baik-baik saja?”
“Tidak! Aku tidak baik-baik saja! Aku memakai gaun!” gerutuku, mencoba melepaskan gaun itu. “Astaga, aku harap tidak ada yang melihatku!”
Komedi pecah di tengah hutan. Para budak yang baru saja selamat dari perbudakan, kini tertawa kecil melihat tingkahku. Ini adalah tawa pertama yang kudengar dari mereka, tawa yang tulus, meski masih diliputi kelegaan. Mungkin ini adalah awal yang tidak terlalu buruk. Yah, selain fakta aku harus mencari cara menyingkirkan gaun sialan ini. Dan mencari tahu siapa Ahlana sebenarnya, di balik semua ras dan kepribadian yang akan kuambil. Petualangan penemuan diri ini baru saja dimulai, dan sepertinya akan sangat merepotkan.
To be continue.......