Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 Julian Mencoba Mediasi
#
Larasati tidak tidur semalaman.
Dia berbaring di sofa ruang tamu—tidak sanggup naik ke kamar yang masih berbau cologne Gavin, tidak sanggup tidur di ranjang di mana dia berbaring semalaman dengan pria yang ternyata sudah lama tidak mencintainya lagi. Tubuhnya ada di sini, tapi pikirannya melayang ke mana-mana—ke pertengkaran tadi sore, ke wajah Gavin yang hancur saat bukti-bukti ditaburkan di depannya, ke delapan tahun pernikahan yang sekarang terasa seperti lelucon kejam.
Jam menunjuk pukul enam pagi saat pintu depan terbuka.
Larasati tersentak bangun dari setengah tidur yang gelisah, jantung berdebar—refleks takut yang tidak rasional karena dia sudah tidak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya, siapa yang aman.
Tapi yang masuk bukan Gavin.
Julian Althaf—adik Gavin yang tiga tahun lebih muda, lawyer handal dengan firma sendiri, pria yang selalu Larasati anggap sebagai adik sendiri—berdiri di pintu dengan wajah yang lelah dan khawatir. Dia masih pakai kemeja kerja dari semalam, rambut berantakan, mata yang menunjukkan dia juga tidak tidur.
"Kak Lara," katanya pelan, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. "Maaf aku datang pagi-pagi. Gavin telepon aku semalam. Dia... dia cerita tentang... tentang semuanya."
Larasati duduk perlahan, menarik selimut tipis yang dia pakai untuk menutupi dirinya lebih rapat. Tidak karena dingin, tapi karena tiba-tiba merasa vulnerable—exposed di depan Julian yang menatapnya dengan tatapan yang terlalu penuh kasihan.
"Dia cerita versi dia atau versi yang sebenarnya?" tanya Larasati, suaranya serak karena terlalu banyak berteriak kemarin.
Julian duduk di kursi di seberangnya, tidak terlalu dekat untuk invasif tapi cukup dekat untuk bicara dengan nyaman. "Dia cerita... sebagian. Dia bilang kalian bertengkar. Dia bilang kakak tahu tentang... tentang Kiran. Dan dia bilang kakak juga... kakak juga dengan Reza."
Tentu saja. Gavin akan frame narrative seolah mereka berdua sama-sama salah, sama-sama selingkuh, sama-sama menghancurkan pernikahan. Dia tidak akan bilang bahwa dia yang mulai, dia yang bohong selama bertahun-tahun, dia yang planning untuk menghancurkan Larasati secara sistematis.
"Apa lagi yang dia bilang?" tanya Larasati, lelah dengan permainan ini tapi perlu tahu seberapa jauh Gavin akan memelintir kebenaran.
Julian ragu, menatap tangannya yang terkatup di pangkuan. "Dia bilang dia salah. Dia bilang dia menyesal. Dan dia bilang... dia bilang dia tidak mau kehilangan keluarganya."
Larasati tertawa—suara yang pahit, yang membuat Julian tersentak. "Dia tidak mau kehilangan keluarganya? Lucu. Dia sudah kehilangan kami sejak lama, Jul. Dia cuma baru sadar sekarang karena ketahuan."
"Kak Lara—"
"Dia cerita berapa lama perselingkuhan itu terjadi?" potong Larasati, menatap Julian dengan mata yang lelah tapi masih tajam. "Dia cerita tentang semua liburan romantis yang dia bilang perjalanan bisnis? Tentang apartemen di SCBD yang dia sewa untuk tempat mereka? Tentang rencana dia untuk melabel aku tidak stabil secara mental supaya dia bisa ambil Abi?"
Wajah Julian berubah—dari khawatir menjadi shock. "Apa? Tidak, dia tidak... dia tidak bilang tentang itu."
"Tentu saja tidak," kata Larasati, berdiri sekarang karena duduk diam membuat energi amarahnya tidak tersalurkan. "Karena kalau dia bilang itu semua, bahkan kamu—adiknya sendiri—akan tahu bahwa dia bukan cuma pria yang 'salah'. Dia manipulatif. Dia jahat. Dia—"
Suaranya pecah. Larasati tutup mulutnya dengan tangan, memaksa diri untuk tidak menangis lagi. Sudah terlalu banyak air mata. Sudah terlalu banyak kehancuran.
Julian berdiri, melangkah lebih dekat dengan gerakan hati-hati—seperti mendekati hewan yang terluka. "Kak, aku tidak tahu semuanya separah itu. Gavin cuma bilang dia selingkuh dan kakak tahu, lalu kakak juga... dengan Reza. Dia tidak bilang tentang... tentang planning atau—"
"Karena dia pembohong, Jul," kata Larasati, menatap adik iparnya dengan tatapan yang membuat Julian tidak bisa menatap balik. "Dia sudah bohong padaku selama bertahun-tahun. Kamu pikir dia akan jujur sama kamu dalam satu malam?"
Julian diam, mencerna informasi itu. Larasati bisa melihat konflik di wajahnya—konflik antara loyalty pada kakaknya dan empati pada kakak iparnya yang jelas-jelas jadi korban.
"Kak Lara," kata Julian akhirnya, suaranya hati-hati. "Aku tahu Gavin salah besar. Aku tidak defend dia—aku cuma... aku cuma mau tanya, bisa gak kita bicarain ini baik-baik? Maksudku, dengan lawyer, dengan mediator. Demi Abi juga. Dia tidak pantas untuk jadi korban dari—"
"Abi sudah jadi korban sejak lama," potong Larasati, suaranya keras sekarang. "Setiap kali papanya tidak pulang untuk baca dongeng sebelum tidur. Setiap kali dia nanya 'kapan Papa pulang' dan aku harus bohong bilang 'Papa lagi kerja keras buat kita'. Setiap kali dia nangis karena papanya tidak datang ke acara sekolah. Abi sudah jadi korban, Jul. Dan aku tidak akan biarkan dia jadi korban lebih lama lagi."
Julian mengusap wajahnya dengan kedua tangan—gestur frustasi dan kelelahan. "Aku mengerti, Kak. Tapi... tapi perceraian akan lebih menyakitkan untuk Abi. Custody battle, rumah yang dipecah, Natal dan Idul Fitri yang harus dibagi—"
"Kamu pikir aku tidak tahu itu?" Larasati merasa amarahnya naik lagi—bukan pada Julian, tapi pada situasi, pada ketidakadilan semuanya. "Kamu pikir aku tidak spend berhari-hari mikirin tentang apa yang terbaik untuk Abi? Tapi Jul, apa yang lebih buruk—punya orangtua yang bercerai tapi sehat, atau punya orangtua yang menikah tapi toxic? Aku tidak mau Abi tumbuh dengan model pernikahan di mana satu pihak selingkuh dan pihak lain cuma diam dan terima. Aku tidak mau dia pikir itu normal!"
Kata-kata itu membuat Julian terdiam. Karena Larasati benar—dan mereka berdua tahu itu.
"Aku sudah mencoba, Jul," lanjut Larasati, suaranya lebih lembut sekarang tapi tidak kalah firm. "Selama delapan tahun aku mencoba jadi istri yang sempurna. Aku support karir Gavin. Aku jaga rumah. Aku rawat Abi. Aku bahkan diam saat aku mulai curiga ada yang salah, karena aku tidak mau merusak keluarga kami. Tapi ternyata keluarga kami sudah rusak—rusak oleh kakakmu sendiri. Dan sekarang, saat aku akhirnya fight back, semua orang minta aku untuk 'bicarain baik-baik'? Untuk 'pikirkan Abi'? Di mana semua orang ini saat Gavin menghancurkan keluarganya dengan perselingkuhan?"