NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Hari-Hari Setelah Pernikahan"

Pagi berikutnya, hotel tetap tenang. Sunyi yang jarang ditemukan di tengah kota besar, sunyi yang biasanya hanya bisa dibeli dengan harga tinggi. Alya masih terjaga ketika sinar pertama menembus tirai. Ia menatap langit yang mulai memerah, menyadari bahwa waktu bergerak meski ia merasa semuanya terhenti.

Cincin itu tetap ada di jarinya. Berat, asing, penuh makna yang bukan miliknya. Tangannya memutar-mutar cincin itu pelan, tidak terburu-buru, seolah mencoba mengingat setiap detail yang ia alami kemarin. Tapi semakin ia menatapnya, semakin terasa aneh—seolah benda itu bukan hanya logam, tapi juga beban sebuah status yang tidak pernah ia pilih.

Zavian masih tertidur di sofa, postur tubuhnya kaku tapi tidak tegang. Ia tidak mengganggu Alya, tetapi kehadirannya terasa berat. Berat karena ia ada, tapi tidak benar-benar hadir untuknya, dan Alya tahu ia harus berpura-pura bahwa semua ini normal.

---

Setelah sarapan di kamar hotel, suasana menjadi canggung. Alya duduk di sisi meja, menatap makanan yang disajikan tanpa hasrat. Ia jarang makan banyak, apalagi saat pikirannya kacau. Zavian duduk di seberangnya, tetap diam, menatap gelas kopi hitam yang ia aduk perlahan.

Percakapan tidak muncul. Tidak ada “selamat pagi” yang hangat, tidak ada tanya kabar, hanya dua orang asing yang terjebak dalam sebuah situasi yang ironis: mereka telah resmi menjadi pasangan, tapi jarak di antara mereka lebih lebar daripada kota yang mereka tinggalkan.

Zavian memandang Alya sekilas, mencoba memahami bagaimana gadis itu bisa tetap terlihat begitu polos—tanpa pengalaman, tanpa kekuatan menghadapi dunia yang kini menuntutnya. Ia merasa aneh. Sejak awal, Alya bukanlah tipe yang akan memilih untuk terjun ke dalam dunia orang dewasa secepat ini. Dan Zavian, yang sudah terbiasa mengatur, mengendalikan, dan menuntut segalanya sesuai kehendaknya, kini terjebak oleh ketidakpastian yang sama.

---

Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas yang aneh dan kaku. Mereka tetap berada di kota yang sama, namun menjalani hidup masing-masing seolah tidak ada hubungan resmi. Zavian kembali ke kantor dan organisasi bawahannya, mengurus urusan bisnis dan urusan yang lebih gelap, sementara Alya lebih banyak tinggal di rumah—sendiri, membaca, atau sekadar duduk di balkon memandangi dunia dari jarak aman.

Zavian tidak tahu harus mulai dari mana. Ia ingin menegaskan kekuasaannya, ingin membuat Alya memahami bahwa ini adalah realitas baru mereka, tapi setiap kali mencoba, ia menemukan tembok yang tidak bisa ditembus. Alya tetap polos dan lugu, senyumnya tetap tipis dan terkadang kikuk, seakan dunia yang ia masuki adalah teka-teki yang tidak pernah ia minta untuk dipecahkan.

Ia bahkan tidak memahami kenapa Alya kabur beberapa jam setelah prosesi pernikahan selesai.

Bukan kabur dalam artian meninggalkan dirinya sepenuhnya. Tapi ia menghilang dari rutinitas normal yang Zavian rancang—tidak muncul di pesta keluarga, tidak menanggapi telepon, tidak menatapnya seperti yang diharapkan Zavian. Alya menjadi bayangan di rumah, kadang muncul, kadang hilang, seperti permainan yang Zavian tidak tahu aturan mainnya.

---

Zavian mulai menggerakkan anak buahnya. Ilham, Bayu, dan Bima—tiga orang yang sudah dipercaya sejak awal—diberi tugas halus: mencari tahu keberadaan Alya, mengawasinya dari jarak aman, memastikan gadis itu tidak berada dalam bahaya, namun tetap memberinya ruang.

“Dia harus tetap aman,” kata Zavian di ruang kerjanya, nada suaranya datar. “Tapi jangan biarkan dia merasa seperti dipenjara. Kalau dia pergi tanpa jejak, kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi.”

Ilham mengangguk. Bayu dan Bima juga mengerti. Mereka tahu, perintah Zavian jarang setengah-setengah. Namun yang membuat mereka sedikit bingung adalah… Zavian sendiri tampak tidak benar-benar marah. Ia hanya menatap jarak, seolah menunggu sesuatu yang ia sendiri tidak pahami.

---

Alya merasa hidupnya seperti diambil alih tanpa persetujuan. Ia tetap memakai cincin itu—tidak karena bangga, tidak karena ingin menegaskan status baru—melainkan karena tidak tahu harus meletakkannya di mana, dan karena ia merasa setiap gerakan yang salah akan memicu pertanyaan atau masalah.

Ia berjalan-jalan di taman dekat rumah, mencoba melupakan kenyataan bahwa dunia melihatnya sebagai istri Zavian. Anak-anak lain di taman bermain dengan riang, sementara Alya menatap dari bangku, merasa berbeda, merasa jauh lebih muda daripada seharusnya. Setiap kali ponselnya berdering, hatinya berdebar—apakah itu Zavian? Atau seseorang dari lingkaran kepercayaannya yang akan menanyakan sesuatu?

Namun pesan-pesan itu jarang datang. Zavian, meski ingin tahu dan ingin mengendalikan, tetap menjaga jarak. Ia membiarkan Alya bernapas sendiri. Dan Alya, meski bingung dan takut, perlahan menyadari bahwa ia diberi ruang untuk tetap menjadi dirinya—setidaknya sebagian.

---

Di sisi lain kota, Zavian mulai frustrasi. Ia terbiasa memahami situasi, menghitung kemungkinan, dan membuat rencana. Namun Alya—dengan kepolosan dan ketidaktahuan yang membuatnya rentan—justru membingungkan. Gadis itu menjalani hidup sehari-hari dengan logika sendiri, membuat keputusan kecil yang sering tidak masuk akal menurut Zavian.

Ia menyuruh Ilham, Bayu, dan Bima terus memantau, tapi laporan mereka selalu sederhana: Alya baik-baik saja, aman, tidak ada interaksi dengan orang-orang yang berpotensi berbahaya. Tapi Zavian tetap merasa tidak nyaman. Ia tidak bisa mengerti mengapa, meski semua aman, hatinya tetap terasa gelisah.

“Kenapa aku tidak bisa menenangkan diri?” gumamnya sendiri di ruang kerja, menatap kota dari jendela lantai tinggi.

Ia menyadari satu hal: ia tidak hanya khawatir tentang keselamatan Alya. Ia juga marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa membuatnya mengerti, tidak bisa menuntun Alya ke jalur yang ia rancang. Dan di tengah rasa marah itu, ada perasaan yang lebih kompleks—perasaan yang belum bisa ia beri nama.

---

Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Alya tetap polos, tetap canggung menghadapi dunia orang dewasa yang menuntutnya sebagai seorang istri. Ia menulis jurnal, membaca novel, kadang mengobrol ringan dengan tetangga, tapi selalu ada jarak yang jelas. Ia merasa seperti tamu di rumah sendiri, dan Zavian… tetap menjadi sosok asing yang duduk di sisi lain dunia yang sama.

Mereka bertemu setiap hari, tetapi sebagai orang asing. Mereka berbagi ruang, tetapi tidak berbagi pemahaman. Mereka hidup sebagai pasangan di mata dunia, tapi tidak pernah menyentuh inti dari hubungan itu.

Zavian, yang terbiasa memegang kendali, kini hanya bisa menatap Alya dari jarak jauh, mencatat gerakannya, reaksi wajahnya, kebiasaan kecil yang memberi petunjuk tentang dunia batin gadis itu. Ia belajar sesuatu yang jarang ia rasakan: tidak semua bisa dikontrol. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan ketakutan lain selain kehilangan kendali—ketakutan kehilangan Alya secara emosional, bahkan sebelum ia pernah benar-benar memilikinya.

---

Satu malam, ketika hujan ringan turun di luar, Alya menatap jendela, menunggu sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Zavian duduk di kursi dekat perapian, jarak aman tetap terjaga. Hening yang lama mengendap di antara mereka, tidak menekan, tapi tidak juga memberi kenyamanan.

“Pak…” Alya akhirnya memecah hening, suara pelan, hampir ragu. “Kalau… kalau saya mau pergi sebentar, Anda… tidak akan marah?”

Zavian menatapnya. Mata gelapnya menilai, tetapi tidak menghakimi. “Aku tidak akan menghalangimu,” jawabnya singkat. “Tapi pastikan aman. Dan jangan sembunyi terlalu lama.”

Alya mengangguk. Ada kelegaan yang sederhana dalam kata-kata itu, meski hatinya tetap berat. Ia tahu Zavian mengawasi, meski tidak hadir secara langsung. Dan di situ, Alya belajar satu hal lagi: kebebasan bisa diberikan, tapi tetap ada batas yang tidak terlihat.

---

Hari-hari setelah pernikahan mereka berjalan seperti itu. Alya tetap polos, tetap menapaki dunia yang terlalu cepat membawanya, sementara Zavian tetap menjaga jarak, tetap memperhatikan, tetap memerintah tanpa harus terlihat memerintah. Mereka hidup bersama, tetapi hidup sebagai orang asing—dua sosok yang diikat oleh status hukum, tapi belum pernah benar-benar terikat oleh hati atau pemahaman.

Dan di balik semua itu, satu kenyataan tetap menunggu untuk meledak: status resmi itu tidak bisa menghapus rasa kehilangan, rasa bingung, dan rasa canggung yang kini mengisi ruang di antara mereka.

Hari-hari itu hanya latihan awal, tapi setiap detik yang berlalu menyiapkan mereka untuk konsekuensi yang jauh lebih besar dari sekadar cincin dan dokumen pernikahan. Hari-hari itu membentuk jarak, membentuk kebingungan, dan perlahan, membentuk rasa yang akan sulit diabaikan—bagi Alya maupun bagi Zavian.

Dan meskipun mereka belum tahu caranya, keduanya sadar: dunia akan memaksa mereka untuk menghadapi kenyataan itu, suatu hari nanti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!