Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Gak beres. Sumpah ini gak beres.
Mataku terbuka lebar saat bibir Tenzin melum at bibirku. Matanya tiba-tiba terpejam, seolah menikmati semua itu tanpa memperdulikan raut terkejutku.
“Ten–”
Napasku tertahan, jari-jariku mencengkeram tepi wastafel saat tangan kirinya memeluk erat pinggangku. Otakku tiba-tiba kosong—benar-benar kosong. Apalagi saat Tenzin menekan belakang kepalaku menggunakan tangan kirinya, membuat bibir kami saling menekan.
“Tenzin, stop.” Kudorong dadanya cepat, sampai bibir kami terpisah.
“Kenapa?” Tenzin menatapku dengan mata sayu, napasnya pun memburu.
“Kamu waras berani cium aku?”
Tenzin kembali meraih pinggangku. “Aku melakukan ini dengan sadar.” Lanjut menyingkapkan rambut yang menjulur di dada ke belakang pundakku. ”Kamu tidak suka?”
Bibirku terlipat. Bohong besar jika kujawab enggak suka. Aku memang kaget dengan aksinya yang tiba-tiba. Tapi dalam hati, aku suka dicium pria yang aku suka—Apalagi dia suamiku sendiri.
“Kamu.” Tenzin menyentuh bibirku menggunakan telunjuknya. “Mulai hari ini, hatimu milikku seutuhnya, meski pun ragamu harus dibagi tiga.”
“Kok bisa?” Alisku menukik.
“Apa yang membuatmu bingung, my sweet wife?”
“Kok bisa sih, kamu merelakan wanita yang kamu suka untuk dibagi tiga dengan pria lain? Apalagi pria-pria itu kakak dan adikmu sendiri. Memangnya kamu gak cemburu?”
“Cemburu.”
“Kalau cemburu jangan relakan aku untuk sodaramu juga dong.”
“Lalu aku harus apa?” Dia mengangkat daguku. “Menyuruh mereka menceraikanmu? Membawa kamu pergi jauh? Apa itu maumu?”
Aku membisu.
“Aku tidak bisa membawamu.” Tenzin mengusap pipiku lembut. “Aku juga tidak bisa menyuruh saudaraku untuk menceraikanmu.”
"Kenapa?”
“Aku sudah terikat di tradisi ini. Kakak dan adikku juga berhak atas kamu.”
“Tapi aku gak suka mereka, Tenzin.” Mataku mendadak panas. “Aku sukanya kamu.”
"Kamu sudah menganggapku suamimu?”
Aku mengangguk jujur.
“Terima kasih.” Tenzin meraih ke dua tanganku ke arah lehernya, sampai tanganku mengikat di lehernya itu. “Anggap saja mereka itu aku.”
Bibirku mengerucut. “Mana bisa gitu.”
“Bisa.” Tenzin tersenyum. “Meskipun aku harus menahan cemburu.”
“Tapi–” Kalimatku terhenti saat Tenzin kembali mencium bibirku.
“Lakukan tugasmu untuk melayani Sonam, agar aku cepat mendapatkan giliran,” ujarnya setelah menarik bibirnya.
“Kamu gak mau curi start?”
Dia memiringkan wajah dengan alis menukik. “Maksudmu?”
“Kalau kamu mau, aku siap kok melayani kamu duluan.”
Tenzin terdiam.
“Aku masih perawan. Apa kamu rela kesucianku diambil Sonam?” Kutatap maniknya lebih dalam, sangat penasaran dengan jawabannya.
Tenzin malah membisu.
“Kenapa gak jawab?” tanyaku.
“Sangat sulit bagiku untuk mencurangi peraturan.”
“Jadi kamu rela kalau kesucianku diambil Sonam?”
“Jangan berikan pertanyaan yang sulit.” Tenzin menurunkan tanganku dari lehernya, lantas menggenggam tangan kananku. “Ayo kita keluar.”
Tenzin menarik tanganku untuk keluar dari kamar mandi. Aku agak deg-degan karena takut kepergok Norbu dan Sonam, atau takut tiba-tiba suami pertama dan suami bungsuku itu bangun dari tidurnya. Namun saat kami berhasil keluar dari kamar mandi, ternyata keadaan sangat aman dan terkendali—Sonam dan Tenzin sama-sama sudah tidur nyenyak. Raut mereka seperti kelelahan.
“Tidur,” titah Tenzin.
Aku melangkah perlahan, lalu naik ke atas ranjang. Aku pun duduk sebentar untuk memperhatikan wajah Sonam dan Norbu, mau bagaimana mereka juga suamiku.
Dalam hati, aku sangat ingin bersikap adil pada mereka. Tapi seberusaha mungkin aku mencoba, tetap saja hanya Tenzin yang aku suka.
“Apa yang kamu pikirkan?” Tenzin duduk di bibir ranjang.
“Gak ada,” sahutku berdusta, lantas menarik selimut untuk berbaring di sisi Sonam.
Kok bisa sih dia rela banget ngeliat wanita yang dia suka tidur sama laki-laki lain? Mana laki-laki itu sodaranya sendiri pula.
Ingin mengetes, tanganku tiba-tiba memeluk Sonam yang masih terlelap. “Suamiku yang ini, yang akan mengambil kesucianku.”
Tenzin tiba-tiba menarik tanganku, membuatku terlepas dari memeluk Sonam. “Jangan menguji keihklasanku.”
“Loh, memangnya kenapa? Kenyataannya memang Sonam kan yang bakal ambil kesucianku?”
Tenzin tiba-tiba berbaring di sampingku, lalu manarikku ke dalam dekapannya. “Jangan lakukan apa pun untuk menguji kesabaranku.”