Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Kau sudah tidak waras ya! Selama ini keluarga kita dikenal hanya memiliki seorang putri, yaitu Nadin. Apa yang akan tuan Kenzo pikirkan jika kita tiba-tiba mengganti pengantin wanitanya." ucap Indra. Walaupun Indra sangat menyayangi Nadin, tapi pria paruh baya itu juga menyayangi karirnya.
"Tapi Layla juga putri kandungmu pah, walau bagaimanapun Layla tetaplah putri pertama di keluarga ini. Sudah seharusnya Layla yang lebih dulu menikah daripada Nadin karena Layla adalah seorang kakak." Mita tak kehabisan akal, sampai kapanpun Mita tidak akan rela melihat putri kesayangannya menikah dengan laki-laki yang tidak bisa diandalkan seperti putra sulung keluarga Bagaskara.
"Tuan Kenzo hanya mengatakan akan menikahkan putranya dengan putri keluarga kita, tapi tuan Kenzo tidak pernah mengatakan putri yang mana. Jadi tidak akan menjadi masalah bukan jika Layla yang menggantikan Nadin." Mita terus meyakinkan. Mendengar ucapan sang istri, Indra mulai luluh juga, pria paruh baya tersebut mulai menyetujui kata-kata sang istri.
"Yang kau katakan benar juga mah. Layla juga putri kandungku, Nadin masih terlalu kecil untuk menikah, tuan Kenzo pasti akan mengerti setelah kita jelaskan." ucap indra.
"Kalau begitu tunggu apa lagi pah, cepat hubungi Layla dan minta dia segera datang ke sini untuk menikah menggantikan Nadin!" saran dari Mita, wanita dengan rambut sebahu tersebut segera mencari kontak nenek Layla yang tersimpan di ponselnya.
"Kita tidak usah menghubungi Layla lewat telepon, kalau Layla tahu dia akan dijodohkan, anak itu pasti akan membuat masalah lagi, biar papa saja yang menemui Layla di kampung sekaligus menjemput anak itu agar segera kembali ke sini." ucap Indra ketika Mita akan menekan pin hijau.
"Terserah kau saja pah, semua aku percayakan padamu saja. Kau memang selalu bisa diandalkan, aku mencintaimu." Mita mencium pipi sang suami dengan mesra.
"Silvi, sampai kapanpun kau tidak akan pernah lebih unggul dariku. Bahkan kau juga harus merelakan putrimu berkorban untuk putriku." batin Mita dengan salah satu sudut bibirnya yang terangkat ke atas.
***
"Layla!!!"
Layla sampai menutup telinganya kala mendengar suara teriakan sang nenek yang terdengar memekakan telinga.
"Aku di sini nenek." ucap Layla yang saat itu sedang sibuk memanen ubi jalar di kebun milik sang nenek.
"Letakan semua itu! Ada hal penting yang ingin nenek sampaikan." titah wanita tua itu.
"Iya nek." Layla menaruh semua ubi jalar yang baru saja ia panen ke dalam keranjang, kemudian berjalan menghampiri sang nenek.
"Ada apa nek? Kenapa nenek berteriak seperti itu?" Jika sang nenek sudah bersikap seperti ini, artinya ada sesuatu hal penting yang ingin nenek sampaikan.
"Bersiaplah, kesempatan kita untuk membalas dendam atas kematian ibumu telah datang." beritahu wanita yang seluruh rambutnya hampir memutih semua tersebut dengan antusias.
"Benarkah?" tanya Layla dengan wajah datar. Walaupun Layla tidak bisa menerima kematian sang ibu yang meninggal dengan cara tidak wajar, tapi tak pernah terbersit dalam benak gadis itu untuk balas dendam.
"Kenapa ekspresimu seperti itu Layla? Harusnya kamu senang memiliki kesempatan untuk balas dendam pada pembunuh ibumu. Apa kau tidak kasian dengan arwah ibumu yang tidak tenang di alam sana?" nenek terlihat kecewa saat melihat ekspresi di wajah sang cucu.
"Nenek, ibuku sudah lama meninggal, arwah ibuku juga sudah hidup bahagia karena terlepas dari pria toxic seperyi papaku. Jangan cari masalah lagi nenek, untuk apa kita balas dendam? hidup kita sudah bahagia sekarang." balas Layla.
"Dasar anak durhaka! Kalau tahu kau akan bersikap seperti ini harusnya dulu aku tidak usah merawatmu. Aku biarkan saja saat papa dan mama tirimu membuangmu ke panti asuhan." ucap nenek dengan wajah yang ditekuk. Melihat kemarahan sang nenek Layla jadi tidak tega juga. Gadis berusia 23 tahun itu berjalan mendekati sang nenek kemudian memeluknya erat.
"Ok, ok, baiklah. Aku akan balas dendam atas kematian ibuku, sekarang katakan apa yang harus aku lakukan?" bujuk Layla agar sang nenek berhenti merajuk.
"Dengarkan nenek baik-baik, sebentar lagi papamu akan datang ke desa ini dan memintamu menikah untuk menggantikan adik tirimu. Kamu setuju saja dengan apa yang papamu katakan ya." ucap nenek. Nenek mendapat semua info tersebut dari mata-mata yang bekerja di rumah Indra sebagai pelayan.
"Menikah? Tapi aku belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat ini, apalagi dengan orang yang tidak aku kenal." tepis Layla.
"Tidak ada pilihan lain Layla, hanya dengan menerima perjodohan ini kamu bisa kembali ke dalam keluarga ayahmu dan balas dendam atas kematian ibumu." nenek terus meyakinkan.
"Tapi aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak aku cintai nenek." kukuh Layla.
Nenek dan Layla terus berdebat, hingga tidak menyadari kedatangan Indra yang menatap mereka berdua dengan heran.
"Ibu, Layla, apa yang terjadi? Kenapa kalian betengkar?" tanya indra dengan dahi yang mengkerut.
"Bukan urusanmu!" pekik Nenek dan Layla serempak, disertai sorot matanya yang tajam. Indra hanya bisa menelan salivanya dengan susah ketika telunjuk mantan ibu mertua serta telunjuk Layla mengarah tepat ke arah wajahnya.
"Dasar orang kampung tidak punya sopan santun! Apa seperti ini cara kalian menyambut tamu yang datang dari jauh?" Mita tak terima dengan sikap kasar nenek dan Layla. Ucapan Mita membuat nenek dan Mita sadar dengan siapa yang datang.
"Papa. Kenapa papa tidak mengabari kalau mau datang, ayo silahkan duduk." Layla mempersilahkan sang ayah untuk duduk di kursi kayu yang terletak di teras rumah. Mita yang juga datang bersama Indra ikut duduk di sebelah sang suami meskipun ia tidak dipersilahkan untuk duduk.
"Keras sekali. Perabotan di kampung memang tidak bisa dibandingkan dengan perabotan yang ada di kota. Tempat duduknya saja keras seperti batu." cicit Mita yang yang sudah terbiasa duduk di atas sofa yang nyaman.
"Kalau begitu tidak usah duduk! Berdiri saja!" nenek menarik kursi yang diduduki Mita, membuat bokong wanita paruh baya tersebut mendarat di atas lantai.
Layla tidak bisa menahan tawanya kala melihat pemandangan tersebut.
"Apa yang kau tertawakan Layla?" Murka Mita. "apa seperti itu caramu bersikap pada orang tua? Sepertinya sikap kurang ajarmu itu menurun dari ibumu!" cicit Mita yang selalu menghina mantan istri kedua sang suami setiap kali ada kesempatan.
Dahulu Indra dan Mita tak kunjung dikaruniai keturunan meski telah lama menikah, dengan terpaksa Mita harus merelakan Indra untuk menikah dengan Silvi demi mendapat keturunan. Tak lama setelah Silvi melahirkan Layla, Mita mengandung Nadin. Sejak Nadin lahir, Indra jadi tidak perduli lagi pada Silvi dan juga Layla. Saat Layla berusia 3 tahun Silvi meninggal dengan cara yang tidak wajar. Nenek yang tidak tega melihat Layla akan Indra buang ke panti asuhan, memilih untuk merawat dan membesarkan Layla hingga sekarang.
"Jangan bawa-bawa ibuku!" pekik Layla dengan netra menyalak tajam. Layla tidak bisa mengendalikan diri jika ada orang yang berani menjelek-jelekan sang ibu.
"Kau! Berani sekali berkata kasar padaku!" balas Mita tak kalah lantang. Mita dan Layla saling menatap dengan tatapan penuh permusuhan.
"Layla jaga sikapmu! Walau bagaimanapun mama Mita adalah mamamu." Indra melerai anak dan istrinya sebelum terjadi baku hantam.
"Papamu benar Layla, sana buatkan minum untuk papa dan juga istrinya." titah nenek yang langsung dipatuhi oleh Layla.
Tak lama kemudian Layla sudah kembali dengan dua cangkir teh di tangannya. Kemudian meletakan cangkir teh tersebut di depan Indra dan Mita.
"Terima kasih nak." Indra mengambil gelas teh tersebut kemudian meminum isinya. Semua terlihat biasa saja sampai Mita ikut meminum teh yang disajikan Layla.
Byur!
Mita menyemburkan teh yang ia minum karena rasanya terasa aneh.
"Kau mencampurkan garam dalam minumanku ya?" pekik Mita dengan rahangnya yang mengeras.
Bersambung.