"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 MULAI PULIH
Keesokan harinya, rumah Alder terasa tenang, hanya suara AC dan detik jam yang mengisi ruang tamu luas itu. Sore masih menggantung di balik jendela besar ketika Arash pulang. Begitu memasuki rumah, ia melempar tas kerjanya ke sofa lain lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa utama dengan napas berat yang terdengar jelas.
Punggungnya bersandar kuat, kepala tengadah menatap langit-langit putih yang terasa terlalu jauh. Kemeja kerja yang masih melekat di tubuhnya tampak kusut, lengan sedikit tergulung karena ia terlalu lelah untuk merapikannya. Hari ini, ia benar-benar dibuat habis oleh urusan perusahaan—pertemuan panjang, negosiasi, persentase, dan tatapan penuh tuntutan dari para petinggi. Semua itu menekan pundaknya, namun di balik kelelahan itu, ada secercah kepuasan: klien yang papanya berikan akhirnya resmi bekerja sama dengan Helion.
Potensi untuk menggantikan kakaknya sebagai COO kini semakin nyata. Hal itu membuat dadanya hangat, meski sisa stres masih menggantung di kepalanya.
“Tuan Arash, mau saya ambilkan minum?” tanya seorang pelayan dengan suara hati-hati.
Tanpa membuka mata, Arash menjawab, suaranya rendah dan lelah. “Berikan aku cola.”
“Baik, Tuan.”
Pelayan itu pergi ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali membawa kaleng cola yang masih berembun dingin. Ia meletakkannya perlahan di meja agar tidak mengganggu tuannya. “Ini colanya, Tuan.”
Arash membuka matanya. Cahaya ruangan terasa menyilaukan sesaat, namun ia mengabaikannya. Ia bangkit duduk, meraih kaleng itu, dan suara pssst ketika kaleng dibuka membuat pikirannya sedikit rileks. Ia meneguknya panjang, dingin cola mengalir seperti menurunkan panas emosinya.
Belum sempat ia menaruh kaleng itu kembali, suara langkah lembut terdengar dari arah koridor.
“Kau sudah pulang, Nak,” ucap Margaret yang baru keluar dari kamarnya. Rambutnya diikat longgar, wajahnya tampak penuh kesungguhan. Ia berjalan mendekat dan duduk di sofa sebelah Arash.
"Ada sesuatu yang ingin mama sampaikan." Ucap Margaret hati-hati.
Arash menatapnya sekilas. “Apa itu, Ma?”
Margaret menarik napas pelan, lalu berkata tanpa ragu, “Mama mau kau menikah dengan Ava.”
Cola hampir tumpah dari tangan Arash. “Apa?!”
Suaranya melonjak, namun ia segera merendahkannya ketika menyadari ia sedang berbicara pada ibunya. Mata Arash membesar, tak percaya. “Mama jangan bercanda!”
Margaret menggenggam tangan putranya, jemarinya bergetar sedikit, seolah ia sudah memikirkan hal ini sepanjang malam. “Mama serius. Mama tidak mau kehilangan Ava. Dia wanita yang baik… Mama menyukainya dan menyayanginya.”
Arash melepaskan genggaman itu dengan kasar namun masih menahan diri agar tidak terlihat tidak sopan. “Kalau begitu mama saja yang menikah dengannya,” katanya dengan nada sinis, “kenapa malah Arash yang harus menikah?!”
Wajahnya mengeras. Ia berdiri cepat, suaranya lebih rendah namun penuh ketegangan. “Arash tidak mau menikah muda. Dan satu lagi—bukan dengan dia!”
Ia berbalik dan melangkah menuju tangga, langkahnya berat namun cepat.
“Arash! Arash!” seru Margaret, suaranya pecah, namun Arash tidak menoleh. Ia terus menaiki tangga dua-dua, seperti ingin menjauh dari topik itu sejauh mungkin.
Margaret duduk terdiam di sofa. Napasnya naik turun, mencoba menenangkan diri. Suaminya benar… Arash pasti menolak.
Di lantai atas, Arash masuk ke kamarnya dan membanting pintu keras. Dinding bergetar sedikit. Ia memegang rambutnya, frustrasi. “Apa yang mama pikirkan? Kenapa tiba-tiba menyuruhku menikah? Apalagi dengan kekasih kak Martin—seakan di dunia ini hanya dia gadis yang tersisa?”
Kamar itu terasa lebih panas dari biasanya, seolah emosinya memenuhi udara. Arash menjatuhkan dirinya ke tepi ranjang, mencoba mengatur napas, namun jantungnya masih berdebar kesal. Dunia terasa kacau—dan ia tidak siap berubah secepat itu.
Setelah panggilan lantang itu menggema, langkah ringan Esther terdengar menuruni tangga dengan tergesa. Ia menemukan Margaret duduk di sofa ruang tamu—bahunya sedikit terangkat, napasnya belum stabil seolah ia baru saja menahan sesuatu yang besar meletup di dalam dadanya.
“Kenapa mama teriak-teriak? Kenapa kak Arash?” tanya Esther, langsung menjatuhkan diri di sisi ibunya.
Margaret menoleh perlahan. Tatapannya tidak lagi sekadar tatapan seorang ibu—ada sesuatu yang berat, terukur, dan penuh perhitungan di balik bola matanya. “Esther,” ucapnya pelan namun tegas, “bagaimana pendapatmu jika kakakmu menikah dengan Ava?”
Esther sempat mengerjap, memastikan ia mendengar dengan benar. “Maksud mama… kak Arash dan kak Ava?”
Margaret mengangguk, sekali, mantap.
Wajah Esther langsung berubah—sorotnya berbinar, senyum kecil muncul tanpa bisa ditahan. “Aku setuju! Karena kalau begitu, aku tidak akan terpisah dari kak Ava.” Suaranya melenting, penuh antusiasme… namun hanya sampai di situ. Sorot matanya meredup perlahan, seperti lampu yang dialiri listrik tak stabil. “Tapi…”
Margaret mencondongkan tubuh sedikit. “Apa?”
Esther menggigit bibirnya. Keraguan jelas memeluk suaranya. “Esther nggak yakin dengan kak Arash, Ma. Dia emosian… susah diatur. Esther takut kak Ava nggak akan bahagia kalau menikah dengannya.”
Hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan namun terasa menusuk.
Margaret menarik napas panjang, mengendapkan sesuatu yang hampir tampak seperti rasa bersalah—atau mungkin tekad. “Itu urusan nanti,” katanya akhirnya. Suaranya lembut, tapi ada gesekan dingin yang samar. “Yang penting mama tidak mau kehilangan Ava.” Jemarinya meremas ujung selimut sofa. “Dan ini… satu-satunya cara.”
Esther memalingkan kepala, menatap ibunya dengan campuran bingung dan penasaran. “Lalu… bagaimana mama akan membujuk kak Arash?”
Margaret menghembuskan napas, bibirnya melengkung sedikit, seperti seseorang yang sudah menyiapkan rencana jauh sebelum percakapan ini terjadi.
“Bukan mama.” Ia menggeleng perlahan. “Papa yang akan membujuk kakakmu.”
Nada itu… tenang, tapi sarat sesuatu yang tidak bisa ditolak.
...----------------...
Makan malam kali ini terasa berbeda—lebih hangat, lebih hidup, meskipun keheningan masih menggantung tipis seperti kabut yang belum sepenuhnya menguap. Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya lembut, menerangi wajah-wajah yang selama beberapa hari terakhir ditandai kecemasan. Aroma sup hangat memenuhi ruangan, butir-butir uapnya naik perlahan seolah ikut menjaga keheningan agar tidak pecah.
Ava duduk di tempat biasanya, namun ada sesuatu yang berubah dari caranya menggenggam sendok. Jika sebelumnya ia hanya menyentuhkan ujungnya pada makanan dan tidak pernah benar-benar makan, malam ini ia mulai menyantap hidangan di hadapannya—pelan, hati-hati, dan memang hanya beberapa suapan, tapi tetap saja… itu cukup untuk membuat ruangan terasa bernapas lebih lega.
Kedatangan Esther rupanya membawa efek yang signifikan. Bella menyadari itu sejak kemarin sore. Ada yang kembali menyala di mata Ava—bukan terang yang besar, tapi sebuah kilau samar yang sempat padam berhari-hari.
Senyuman itu… yang sempat hilang. Kini muncul lagi, kecil namun nyata. Seakan kesedihan yang membelitnya perlahan terurai ketika Esther meninggalkan rumah ini.
“Ava.” Suara ayahnya memanggil lembut, memecah keheningan.
Ava menoleh cepat, refleks. “Iya, Yah?”
Luis yang duduk di hadapannya langsung mengendurkan bahu, seolah baru menyadari betapa tegangnya ia menunggu respons itu. Ada hembusan napas lega yang ia tahan.
“Tadi ayah bertemu dengan Agam,” ucapnya perlahan, memperhatikan reaksi putrinya. “Dia menitipkan salam untukmu. Dia juga menanyakan… bagaimana kabarmu.”
Ava meletakkan sendoknya sebentar. Sorot matanya tidak lagi sekosong beberapa hari lalu. “Ava sudah lebih baik,” katanya, suaranya mantap meski masih berbalut kelelahan. “Dan besok Ava akan bekerja lagi.”
Ucapan itu membuat Bella hampir tersedak air minumnya. “Kau serius?” katanya spontan, matanya melebar tak percaya—bukan meragukan, hanya terkejut. Selama ini ia hanya bisa menemani Ava dalam diam, takut salah bicara, takut menyakiti tanpa sengaja.
Ava mengangguk pelan. “Tentu saja,” balasnya. “Berlarut-larut dalam kesedihan tidak akan mengubah apa pun.”
Keheningan kembali turun, namun kini bukan hening yang berat… melainkan hening yang menghangatkan, membuat dada Luis dan Bella terasa lebih lapang. Keduanya saling bertukar pandang, sama-sama melihat harapan kecil yang akhirnya tumbuh lagi.
Ava perlahan belajar menerima takdir. Dan malam ini—di meja sederhana itu, di antara aroma sup dan cahaya lampu yang lembut—mereka akhirnya melihat Ava mulai pulih.
.
.
.
.
.
.
.
📌terima kasih udah mampir, jangan lupa likee dan komen yaa🤗❤️