Putri Daniella menyukai Pangeran Felix dan ingin menikah dengannya. Tapi kehadiran sopir pribadinya Erik Sebastian merubah segalanya. Pemuda desa itu diam-diam mencintai putri Daniella sejak kecil. Seiring waktu, terungkap jika Erik adalah putra mahkota yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunnyku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Berdua di Dermaga Tua
Erik menuntun Daniella, memegang tangannya dengan hati-hati, gadis itu tak protes, hanya mengikuti, hatinya mulai tenang.
Mereka berjalan di dermaga kayu abad ke-17 yang masih kokoh meski tua, suara papan kayu berderit di bawah kaki mereka.
Di ujung dermaga, mereka duduk menjuntaikan kaki, angin laut menyapu wajah, aroma asin bercampur kamomil dari parfum Daniella.
"Lihat ke sana, perhatikan baik-baik," kata Erik, menunjuk ke cakrawala.
Daniella memandang, matanya melebar. Langit di kejauhan diselimuti warna merah muda, merah, dan ungu, matahari perlahan tenggelam, menyisakan garis emas di garis cakrawala.
Pemandangan senja itu damai, romantis, seperti lukisan hidup. Daniella tersenyum sumringah, hatinya luluh, kemarahan pada Fredrik memudar.
"Indah sekali," bisiknya, matanya berbinar, wajahnya memancarkan kebahagiaan.
"Apa Putri mau menunggu sebentar lagi? Masih ada satu lagi yang bisa Putri nikmati, mulai terlihat satu persatu di kejauhan sana, lampu terang, bukan?" kata Erik, suaranya penuh antusias.
"Iya, ada lampu di kejauhan. Kita tunggu sampai malam. Tapi di sini mulai dingin," kata Daniella, menggosok lengannya.
"Sebentar, saya ambilkan jaket Putri di mobil," kata Erik, bangkit cepat, mengambil jaket bulu tebal Daniella, botol air, apel, dan keripik kentang kesukaannya.
Dia kembali, memakaikan jaket itu dengan hati-hati, merapatkan ritsletingnya, lalu meletakkan apel dan keripik di samping Daniella.
"Dulu kami beberapa kali latihan di sini. Berlari sepanjang dermaga, lalu berenang di sana," cerita Erik, suaranya penuh kenangan, matanya menerawang ke laut.
"Aku pernah mendengar tentang dermaga tua ini, tapi belum pernah datang ke sini. Ternyata banyak tempat dan lokasi bagus yang belum pernah aku ketahui dan datangi," sebut Daniella, suaranya lembut, hatinya penuh syukur.
Daniella menggigit apel, menghabiskannya dalam beberapa gigitan, lalu minum air dan ngemil keripik kentang.
"Kamu mau?" tawarnya, menyodorkan kemasan keripik pada Erik, senyumnya hangat.
Erik mengambil sedikit, memakannya sambil tersenyum, lalu minum dari botol lain. Hari mulai gelap, bulan tak bersinar terang karena bukan purnama, dan bintang-bintang hanya berkelip samar.
Tiba-tiba, cahaya keemasan muncul di kejauhan, lampu-lampu kota kecil di teluk pelabuhan baru mulai menyala, memantul di air laut seperti permata yang berkilau.
"Itu cahaya dari lampu kota kecil di teluk di pelabuhan baru, kan?" tanya Daniella, tercengang, matanya berbinar kagum.
"Iya, benar. Dilihat dari sini, cahaya lampu itu begitu indah, bukan?" sebut Erik, hatinya hangat melihat Daniella bahagia.
"Iya, indah sekali, pantulan cahaya ke air itu juga bagus banget. Seperti melihat pulau di teluk Mykonos malam hari. Aku pernah merayakan ulang tahunku yang ke-17 di sana," kata Daniella, suaranya penuh kenangan, hatinya penuh keajaiban malam itu.
"Tuan Putri tahu, ini malam ulang tahun Ibu saya. Kalau dia masih hidup, usianya saat ini 46 tahun. Dia pasti sangat cantik," ungkap Erik, suaranya pelan, matanya sedih tapi penuh cinta.
"Apakah kamu punya fotonya?" tanya Daniella, suaranya penuh empati, hatinya terenyuh.
"Iya, saya punya foto terakhirnya dua minggu sebelum saya lahir. Sebentar, saya ambil dan perlihatkan pada Putri," kata Erik, mengeluarkan dompetnya, mengambil foto kecil yang sudah agak usang tapi terjaga baik.
Dia menyerahkannya pada Daniella.
Daniella memperhatikan foto wanita tersenyum bahagia ke kamera, rambutnya cokelat panjang, matanya hijau cerah.
"Iya, cantik banget. Matanya juga hijau," kata Daniella, tersenyum.
"Kamu gak salah, dia mirip denganku. Aku rasa wajah tampanmu menurun dari dia. Alis, hidung, dan mulutnya mirip kamu," pujinya, hatinya hangat, merasa dekat dengan Erik saat itu.
"Kata Bibi saya, saya ini perpaduan wajah Ayah dan Ibu, tapi wajah Ayah saya lebih dominan. Sayangnya, tak ada satu pun foto Ayah saya yang terdokumentasi. Saya tak punya fotonya," kata Erik, ekspresinya sedih, matanya menerawang ke laut.
"Sabar ya. Aku tahu kamu itu lelaki kuat dan tegar. Aku pikir, wajah Ayahmu mirip denganmu. Ini foto Ibumu aku kembalikan. Kamu selalu membawa fotonya ya di dompetmu?" tanya Daniella, menyerahkan foto itu, suaranya lembut.
"Iya," jawab Erik, menyelipkan foto itu kembali ke dompetnya, hatinya tersentuh oleh kepekaan Daniella.
"Tunggu, itu ada satu lagi foto perempuan. Siapa?" tanya Daniella, matanya menangkap sekilas foto lain di dompet Erik, rasa ingin tahunya bangkit, hatinya berdegup aneh, apakah itu Alecia?
Erik terdiam sejenak, hatinya panik. Foto itu adalah gambar Daniella.
"Oh, itu fo...foto...ah, bukan siapa-siapa kok," kata Erik tergagap, buru-buru hendak memasukkan dompet ke kantong celananya, wajahnya memerah, hatinya panik karena Daniella melihat sekilas foto itu.
"Perlihatkan padaku, aku pengen tahu. Pasti foto pacarmu, kan?" tanya Daniella, alisnya terangkat, suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi ada nada bercanda yang membuat Erik semakin gelisah.
"Bu...bukan, Tuan Putri. Bukan foto pacar saya," sahut Erik, suaranya semakin tergagap, tangannya mencengkeram dompet lebih erat.
"Kenapa kamu tergagap gitu? Apa mungkin foto gadis yang kamu sukai itu, yang pernah kamu ceritakan padaku, gadis yang sudah punya calon suami yang kamu suka dari kecil itu? Kamu malu dan gak mau aku lihat, ya? Ayo, ngaku! Aku mau lihat wajahnya," tekan Daniella, suaranya bersikeras, matanya menyala penuh rasa ingin tahu, hatinya bercampur cemburu dan penasaran.
"Saya tidak bisa memperlihatkan foto ini, maaf, Putri," kata Erik, suaranya rendah, hatinya berdegup kencang, berusaha menjaga rahasia cintanya.
Tapi Daniella, dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung, mencoba merebut dompet itu.
Erik menghalangi, tangannya bergerak cepat, dan mereka saling berebut seperti anak kecil, tawa kecil Daniella bercampur dengan nada kesal.
Tiba-tiba, Daniella kehilangan keseimbangan, tubuhnya miring ke arah laut, hampir jatuh dari tepi dermaga. Erik dengan cepat menahan pinggangnya, menariknya kembali, dan Daniella secara refleks memeluknya kuat-kuat, napasnya tersengal, wajahnya pucat.
"Aku hampir terjatuh karena kamu melarangku melihat foto itu! Kalau aku tadi terjatuh, bagaimana?!" teriak Daniella, suaranya kencang, matanya menyala marah, tapi ada getar ketakutan di nadanya.
"Maaf, Putri, maafkan saya," ucap Erik berulang-ulang, suaranya penuh penyesalan, hatinya panik, tangannya masih memegang pundak Daniella untuk memastikan gadis itu aman.
"Aku gak mau maafin, kecuali kamu menunjukkan dan memperlihatkan foto pacarmu itu!" kata Daniella, merajuk, bibirnya mengerucut, tapi matanya masih berkilat penasaran.
"Tapi, sebelum saya perlihatkan foto ini, saya cuma mau bilang, saya gak bermaksud apa-apa saat mengambil foto itu," jelas Erik, suaranya pelan, hatinya berdebar, tahu bahwa kebenaran akan terungkap.
"Mana? Cepat serahkan padaku!" perintah Daniella, tangannya terulur, suaranya tegas.
**********