Devan Ganendra pergi dari rumah, karena iri dengan saudara kembarnya yang menikah dengan Dara. Karena dia juga menyukai Dara yang cantik.
Ia pergi jauh ke Jogja untuk sekedar menghilangkan penat di rumah budhe Watik.
Namun dalam perjalanan ia kecelakaan dan harus menikahi seorang wanita bernama Ceisya Lafatunnisa atau biasa dipanggil Nisa
Nisa seorang janda tanpa anak. Ia bercerai mati sebelum malam pertama.
Lika-liku kehidupan Devan di uji. Ia harus jadi kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama Nisa.
Bagaimana penyelesaian hubungan keluarga dengan mantan suaminya yang telah meninggal?
Atau bagaimana Devan memperjuangkan Nisa?
Lalu apakah Devan menerima dengan ikhlas kehadiran Dara sebagai iparnya?
ikuti kisah Devan Ganendra
cusss...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amir
Pagi ini Nisa berangkat bekerja. Rumah sakitnya ternyata berbeda dengan rumah sakit tempat ayahnya dirawat.
Ayahnya dirawat di rumah sakit swasta, sementara Nisa bekerja di rumah sakit daerah.
Mbak Jannah pagi ini mengganti jaga mas Hasan, karena mas Hasan masih meneruskan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Begitu juga Devan yang ikut serta mas Hasan menyelesaikan proyeknya.
Meski Amir sudah bisa berangkat, namun bisa membantu pekerjaan lainnya.
Beruntung pemilik rumah setuju, apalagi Devan juga bisa di andalkan jadi tukang. Meski baru seminggu Devan bekerja jadi kuli bangunan.
"Nah ini Amir, yang biasa bantu mas!" ucap mas Hasan memperkenalkan Amir kepada Devan.
"Evan!" ucap Devan kepada Amir.
"Amir mas!" Sahutnya.
"Entar kalian bantu ini, ini dan itu ya!" perintah mas Hasan kepada Amir dan Devan.
Akhirnya Devan dan Amir pun mengikuti petunjuk yang di berikan oleh mas Hasan.
Amir merasa aneh lah, melihat Devan yang perkulitannya tidak cocok jadi kuli bangunan. Malah justru Devan cocoknya jadi orang kantoran, kata si Amir ketika sedang bersenda gurau dengan Devan.
"Lhah orang luar itu bagaimana?, emang ga ada tukang juga?" sahut Devan.
"iya ya!" Sahut Amir.
"Ah!, nek sampeyan cocoknya kantoran mas!, ganteng begitu mana pantes panas-panasan begini. Entar malah encok lho!, haha!" Candanya.
"Sama saja Mir, yang penting halal!" Sahut Devan yang saat ini mencampur semen dan pasir.
Keduanya bekerja sambil bersenda gurau, tapi tidak melupakan kewajibannya. Ketika serius, baik Amir dan Devan juga serius.
Baru sehari bekerja bersama,ternyata Amir dan Devan sangat cocok.
Saat istirahat siang, ketiganya makan siang bersama. Meski badan masih kotor, mereka tetap menikmatinya.
"Sebenarnya kamu lulusan apa Mir?" tanya Devan.
Memang Amir sebenarnya tidak cocok kerja jadi kuli bangunan seperti ini. Apalagi usianya yang masih muda darinya. Usia Amir baru dua puluh tahun. Sementara Devan usia dua puluh empat tahun.
Terbukti ketika beberapa hari drop karena kecapean dan tidak kuat angkat berat seperti Devan. Lha wong Devan terbiasa fitnes, sedang Amir kan engga!.
"SMK otomotif Van!" Sahut Amir sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.
Amir diminta panggil nama saja, dari pada panggil 'mas' malah kelihatan sungkan. Itu menurut Devan.
"Ga kerja di bengkel?" tanya Devan.
"Susah Van!, harus kenal orang dalam sekarang mah!" Sahutnya.
Memang iya sih!, kalau engga kenal orang dalam akan susah untuk masuk kerja. Apalagi jaman sekarang ini, ibarat harus kasih tip dahulu untuk bisa kerja.
"Kalau nanti selesai sini, mau engga benerin motorku?" ucap Devan kepada Amir.
"Lho memang kenapa motornya?" Tanya Amir.
"Minggu lalu kan jatuh, belum aku benerin!, entar bisa engga benerin?"
"Entar cek dulu ya!, khawatir lupa dan beda sama yang biasa aku bongkar!"
"Oke!" Sahut Devan.
Mas Hasan hanya mendengarkan keduanya ngobrol, sebab Devan memang butuh teman lain untuk sekedar mengisi harinya.
Rasanya mas Hasan engga tega kalau adik iparnya itu terus bekerja jadi kuli bangunan seperti ini. Apalagi seperti yang pernah ia tahu dari Nisa maupun Jannah istrinya. Jika Devan orang berada.
Dan benar saja ketika orang tua Devan bisa mengancam suatu rumah sakit tempat ayahnya di rawat. Sehingga semakin yakin jika Devan tidak seperti yang ia lihat.
Walau saat ini Devan terlihat gigih bekerja sebagai keneknya, bahkan tidak merasa risih dengan pekerjaan sebagai kuli saat ini.
Mas Hasan percaya, jika Devan orang yang sederhana, meski dia kaya. Tidak menyombongkan diri dengan kekayaannya.
tapi justru Devan membaur dengan masyarakat kecil seperti dirinya dan Amir.
Sore harinya setelah selesai pekerjaan hari ini, Amir mampir ke rumah mas Hasan. Ia ingin melihat kondisi motor milik Devan yang katanya ada rusak.
"Itu Mir!, coba cek deh!" Ucap Devan saat turun dari kendaraan bersama mas Hasan.
Menurut Devan rasanya motor beda, di banding sebelumnya. Meski jika buat balapan kayak kemarin bisa menang.
"Berasap gini Van!, bukannya harus engga ada asap?"
"Iya!, harusnya engga ada asap!, bocor kali ya olinya?" sahut Devan.
"Bisa jadi?" sahutnya.
"Kamu ada alat engga?"
"Ada, tapi engga lengkap!" sahut Amir.
"Ya udah,entar kalau selesai proyek di cek ya!" Ucap Devan.
"Siap!"
keduanya ngobrol berdua, hingga Nisa pulang seorang diri.
Nisa memang selalu berangkat pagi sebab ia di bagian administrasi bukan perawat yang setiap minggu berganti shift.
"Eh Amir!" Ucap Nisa yang memang sudah kenal Amir.
"Ya mbak!"
"Ngapain?"
"Ini di suruh cek motornya Evan!"
"Ohh!"
Nisa Salim dengan takzim kepada suaminya yang masih duduk di bangku samping rumah bersama Amir.
"Engga di jemput ya?" Tanya Devan kepada istrinya, karena pulang naik ojek.
"Kan mbak Jannah di rumah sakit nunggu bapak!"
"Oh iya!" sahut Devan.
Amir pamit pulang, karena hari sudah mulai maghrib. Sementara Devan pun masuk ke dalam rumah kemudian mandi dan sholat maghrib.
Setelah sholat, Nisa memasak sayur untuk makan malam. Sebab mbak Jannah tidak ada di rumah. Barusan mas Hasan berangkat menggantikannya berjaga.
Bu Juanti sebenarnya ingin ikut menjaga, namun kondisinya yang belum fit membuat mas Hasan tidak tega. Akhirnya mas Hasan sendirian menuju rumah sakit.
"Nis!"
"Hmm..!"
"Kamu kalau engga di antar jemput pakai apa?"
"Sepeda!" sahut Nisa
"Oh ya!, rusak ya?" Ucap Devan.
"Iya, mau benerin males!" Sahutnya.
"Kalau aku ganti boleh?"
"Ganti apa?"
"Motor mau?" Tanya Devan.
"Ck!, banyak duit?" Sahut Nisa.
"Bukan masalah banyak duit Nis!, tapi kan aku termasuk yang ngrusakin sepedamu!" Ucap Devan.
"Ga usah beliin!, pakai yang di ATM mu boleh?" Sahut Nisa.
"Pakai aja!, kan udah aku bilang!, mau kamu habisin juga gapapa!"
"Oh ya!, kemarin aku pakai buat bayar ongkos bapak, lima belas juta!"
Iya, Nisa kan belum ngomong masalah itu!, jadi ini kesempatannya untuk ngobrolin isi ATM milik Devan.
"Pakai aja!, kan udah aku bilang!"
"Iya iya, makasih ya mas!"
Cup....!!!
Nisa mencium pipi Devan, namun Devan menunjuk pipi satunya. Beruntung anak mas Hasan sedang ada di masjid, jadi tidak melihat keduanya berciuman.
"Cieeee....!!"
Tiba-tiba mbak Jannah muncul dari belakang Nisa.
"Isss!, mbak ngagetin aja!" Sahut Nisa dongkol.
Sebab sering sih kepergok berdua gini.
"Makanya di kamar sono!"
"Iya kalau disini entar mbak pingin. Mas Hasan kan lagi dirumah sakit!" Celetuk Nisa kepada Mbak Jannah.
"Alah, wes biasa!" Sahutnya.
"Udah mbrojol dua kok ya mbak!" Goda Nisa ke kakak iparnya.
"Iya!, lha kalian cepet-cepet sono biar Hanifa punya adik. Aku sudah emoh!"
"Kok emoh kenapa mbak?" Devan menyaut percakapan keduanya.
"Sakit ngelahirin itu!, engga kayak bikin ahh...uhh..ahhh...uhhh...!"
"MBAK JANNAH.....!!"
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
ibu tirinya, Nisa???
lanjut thor ceritanya
lanjutkan
jadi semangat bacanya deh
kog bisa2nya kek gitu
kan mayan ada devan yg jadi jaminan
cwek tuh perlu bukti ucapan juga lhooo
pokoknya yg bilang habiskan semua nya 😅😅😅😅