Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27
Livia menyerahkan hijab dan buku-buku ke kasir, lalu melirik Ganendra yang berdiri di sampingnya sambil merapikan lengan kemejanya.
“Eh, Ndra…” ucap Livia manja, “Kalau hijab ini buat Ibumu, kira-kira yang cocok buat kamu aku kasih apa, ya?”
Ganendra menatapnya bingung. “Apa maksudnya?”
Livia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya direndahkan tapi cukup untuk membuat kasir yang masih muda itu ikut mendengarkan. “Kamu udah punya buku doa, udah bisa ngaji, tapi belum ada yang doain kamu tiap malam.”
Ganendra tersipu, “Heh… maksudnya?”
Livia tersenyum menggoda, lalu mendekatkan wajahnya sedikit. “Maksudnya kalau kamu jadi suamiku, aku bakal doain kamu tiap malam sampai surga cemburu.”
Ganendra langsung nyengir salah tingkah. Wajahnya memerah, tangan yang sedari tadi santai di kantong celana langsung sibuk menggaruk tengkuknya.
Kasir perempuan yang dari tadi memindai harga pun tak bisa menahan senyum lebarnya. “Duh, Kak romantis banget sih. Aku aja yang jomblo langsung pengen ngadoin cowok juga deh.”
Livia tertawa pelan, melirik kasir sambil berkata santai, “Coba aja, Mbak. Tapi cari yang kayak dia ya manis, nurut, dan sayang ibu.”
Ganendra makin salah tingkah, matanya melirik ke jendela toko, pura-pura cari angin padahal hatinya sudah berdebar tak karuan.
Livia tersenyum penuh bangga sambil melirik Ganendra yang masih kikuk di sampingnya. Tangannya menepuk ringan lengan cowok itu lalu berseru manja ke kasir,
“Calon suamiku ini loh, ganteng banget kan? Mirip Oppa Korea Selatan dan masih muda, baru dua puluh dua tahun.”
Ganendra langsung garuk kepala yang nggak gatal, wajahnya memerah nyaris sejajar tomat.
Kasir yang masih muda itu terkekeh, matanya membulat gemas, lalu membalas dengan suara centil,
“Wah, Kak dapet brondong level Oppa, itu sih jackpot dunia akhirat!”
Dia menatap Ganendra dari atas ke bawah lalu berbisik ke Livia sambil pura-pura menutupi mulutnya, “Kalo saya jadi Kakak, saya juga bakal rebutin, apalagi bonusnya patuh sama Ibu.”
Livia ngakak pelan, menepuk meja kasir, “Makanya jangan kebanyakan milih, Mbak. Brondong tuh nggak selalu nakal, kadang justru lebih bisa bikin adem. Apalagi yang satu ini kayak es teh manis di bulan puasa.”
Ganendra makin salah tingkah, mencoba bersikap biasa aja tapi mulutnya tak bisa menyembunyikan senyum.
“Udah, udah jangan digodain terus. Nanti beneran klepek-klepek, susah nyetirnya pulang,” celetuk Ganendra, lirih tapi terdengar jelas.
Kasir ikut tertawa, “Ya ampun, Kak. Langgeng ya, kalian. Udah cocok banget kayak drama Korea yang happy ending.”
Ganendra yang dari tadi malu-malu akhirnya ikut angkat bicara. Ia mencondongkan tubuh ke arah Livia, lalu berbisik tapi sengaja cukup keras agar kasir mendengar juga.
“Calon istri saya ini bukan cuma cantik, tapi juga bos besar yang tega banget nyuri hati supirnya sendiri.”
Livia langsung pura-pura terkejut. “Ih, siapa yang nyuri? Kamu sendiri yang jatuh ke pelukan aku.”
Ganendra tersenyum lebar, matanya tak lepas dari wajah Livia.
“Ya gimana nggak jatuh, tiap hari lihat senyuman Kak Livia dari kaca spion. Lama-lama bukan cuma nyetir mobil, tapi nyetir hati juga.”
Kasir yang mendengarnya sampai tepuk tangan kecil sambil menahan tawa. “Ih... kalian tuh kayak sinetron jam tujuh malam, tapi beneran bikin iri!”
Ganendra melirik kasir sambil tersenyum bangga, “Makasih ya, Mbak. Doain kami cepet halal biar aku bisa tiap hari nganterin dia, bukan cuma ke kantor, tapi juga ke surga-Nya.”
Livia langsung melempar tatapan manja. “Aduh bisa aja si brondong romantis ini. Nanti aku beliin kopi tiap pagi deh, biar tambah semangat nyetir ke surga.”
Mereka pun tertawa bersama, meninggalkan suasana toko yang kini penuh senyum, termasuk dari pelanggan lain yang ikut mendengar gombalan manis mereka.
Tak berselang lama, mobil hitam yang dikemudikan Ganendra berhenti di depan sebuah rumah sederhana di ujung kota Jakarta. Jalanannya sempit, rumah-rumahnya rapat, namun suasananya hangat khas perkampungan.
Livia melirik ke arah rumah mungil bercat biru pudar itu. Ada selembar sajadah yang sedang dijemur di pagar besi berkarat. Aroma kayu bakar samar-samar menyambut saat jendela mobil dibuka.
“Ini rumahnya?” tanya Livia pelan sambil memeluk tas berisi buku doa, kue, dan hijab yang ia pilih sendiri tadi siang.
Ganendra mengangguk, senyumnya mengembang penuh makna. “Iya rumah Mama. Nggak besar, tapi penuh doa.”
Livia mengangguk pelan. “Dan cinta, ya.”
Mereka pun turun dari mobil. Langkah Livia sempat ragu sejenak di depan pagar, namun tangan Ganendra cepat menggenggam tangannya. Hangat. Menguatkan.
“Mama udah pernah ketemu kamu, tapi waktu itu kamu masih tegang, masih merasa bersalah,” ucap Ganendra sambil membuka pagar. “Sekarang datangnya sebagai tamu yang istimewa.”
Pintu rumah terbuka sebelum mereka sempat mengetuk.
“Assalamu’alaikum...” ucap Ganendra.
“Wa’alaikumsalam... Astaga, Nak Ganendra! Eh, Livia ya?” Bu Siti Nurhaliza muncul di balik pintu dengan daster sederhana dan senyum tulus yang langsung menular.
Livia tersenyum dan sedikit membungkuk sopan sambil menyerahkan bungkusan. “Ini ada sedikit oleh-oleh, Bu maaf merepotkan.”
“Astaga, nggak usah repot-repot, Nak Ayo masuk... masuk dulu.” Bu Siti tampak terharu. Pandangannya tertuju pada hijab lembut warna pastel yang disodorkan Livia.
“Saya tadi lihat hijab ini dan langsung teringat Ibu warnanya tenang demoga suka.”
Bu Siti memeluk Livia erat. “Terima kasih, Nak... kamu makin cantik, makin halus hatimu.”
Ganendra menyender sebentar di kusen pintu, memperhatikan dua perempuan yang ia cintai dalam hidupnya satu yang melahirkannya, satu yang kini mengisi hidupnya.
“Akhirnya ya, Ma...” gumam Ganendra pelan.
Bu Siti menoleh dan menepuk bahunya lembut. “Akhirnya kamu bawa pulang perempuan yang kamu jaga sejak dulu dengan hati.”
Livia tak bisa berkata-kata. Matanya mulai berkaca. Rumah sederhana itu terasa lebih luas dari kantor RD Grup tempat ia biasa berdiri gagah. Di sini, ia merasa pulang.
Setelah beberapa teguk teh hangat dan obrolan ringan tentang kampung halaman Bu Siti di Makassar, suasana di ruang tamu itu berubah sedikit hening.
Livia menatap cangkirnya sejenak, lalu menoleh pada Bu Siti yang duduk di hadapannya. Mata wanita tua itu masih jernih dan penuh kehangatan, walau garis-garis lelah tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Livia menggenggam tangan Ganendra di sampingnya. Tatapannya penuh keyakinan.
“Bu…” ucap Livia pelan namun tegas. “Saya dan Ganendra insya Allah akan menikah dalam waktu dekat.”
Suasana langsung senyap. Hanya terdengar suara angin dari kipas angin tua di langit-langit dan detik jam dinding yang berdetak perlahan.
Bu Siti menatap mereka berdua, lama. Mata tuanya bergetar, tapi bukan karena terkejut melainkan karena haru yang datang diam-diam.
“Alhamdulillah...” lirihnya akhirnya, penuh doa. “Saya memang sudah bisa melihat caramu memandang anakku waktu pertama datang ke sini, Nak. Hati seorang ibu itu bisa merasa. Tapi saya nggak nyangka akan secepat ini.”
Livia tersenyum kecil, menunduk. “Saya juga nggak menyangka, Bu. Tapi entah kenapa ketenangan saya justru datang sejak kenal Ganendra. Bukan dari bisnis, bukan dari dunia atas. Tapi dari yang sederhana, yang tulus, yang saya temukan di matanya.”
Ganendra melirik Livia dengan senyum jenaka. “Bu, ini calon istri CEO terkuat sedunia tapi hatinya lembut luar biasa.”
Bu Siti terkekeh, lalu mengelus kepala Ganendra penuh kasih. “Nak Gana... jagai dia baik-baik, ya. Saya titip perempuan ini. Mungkin dia datang dari dunia yang jauh berbeda dari kita, tapi hatinya sudah satu rumah dengan kita.”
Livia mengangguk pelan, lalu menghampiri Bu Siti dan duduk di sampingnya. Ia memeluk ibu calon suaminya erat.
“Saya datang bukan bawa kekayaan, Bu. Tapi bawa niat baik. Bawa cinta. Dan kalau Ibu izinkan saya ingin belajar jadi anak, jadi istri, dan jadi menantu yang Ibu bisa banggakan.”
Bu Siti menahan haru, menepuk-nepuk punggung Livia.
“Kamu bukan menantu, Nak. Mulai hari ini, kamu anak saya juga.”
Ganendra menyeka mata sambil pura-pura batuk. “Wah, CEO RD Grup bisa bikin Mama nangis juga, ya? Hebat.”
Livia tertawa kecil di sela air mata. Suasana ruang tamu itu penuh dengan kehangatan yang tak bisa dibeli oleh jabatan, uang, atau popularitas hanya bisa lahir dari hati yang sungguh-sungguhh.