kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kambuh
Sepanjang pelajaran di sekolah, Zelena hanya terdiam. Tatapannya kosong, suaranya tak pernah terdengar. Ia tak menggubris tawa teman-temannya, tak juga memperhatikan penjelasan guru. Sampai akhirnya bel pulang berbunyi, ia tetap di tempat duduknya, menanti jemputan. Hatinya kacau—Arman akan pergi malam ini, dan itu membuatnya merasa sepi.
Padahal, ia sangat berharap bisa menghabiskan waktu bersama Arman untuk terakhir kalinya.
Dari kejauhan, Leon datang menghampiri dengan dua es krim di tangan. Ia duduk di samping Zelena, senyumnya sulit ditebak.
"Apakah terasa sangat berat… jika tak ada Arman di sisimu?" tanyanya sambil menyodorkan es krim yang sudah dibuka.
Zelena menerima es krim itu dengan pelan.
"Mas Arman itu seperti sahabat sejati. Dia tahu semua tentang aku. Rasanya... aneh kalau dia gak ada," jawabnya lirih.
Leon tersenyum miring. Matanya tajam menatap wajah Zelena yang polos.
"Arman... atau Kenzo? Kenapa kau terlihat lebih nyaman bersama Arman? Padahal Kenzo itu kakak kandungmu sendiri."
Zelena menatap jam tangan. "Mas Arman berangkat jam berapa?" tanyanya cepat, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman.
"Tuan Ahmad sudah berangkat pagi tadi, tapi Arman masih di rumah. Ia akan berangkat malam nanti," jawab Leon tenang.
Zelena berdiri, ekspresinya menunjukkan tekad.
"Aku mau pamit mau sama mas Arman, aku harus bertemu dengan nya, apapun yang terjadi, aku harus melihat Arman, Ayo pulang." tegas Zelena
Leon bangkit. Ia menatap Zelena dari jarak yang sangat dekat.
"Kau panggil dia 'Mas Arman'… lalu aku? Harusnya kau perlakukan kami sama, kan?" Leon baru sadar kalau sejak tadi, Zelena menyebut Arman sebagian mas, sementara dirinya tidak,
Zelena menunduk, merasa tidak nyaman. Leon baru saja mulai bekerja, tak mungkin ia memanggilnya dengan akrab.
"Mungkin lain kali. Aku mau pulang. Kau antar, atau aku sendiri?"
Leon menunjuk ke arah mobil yang terparkir. "Mobilnya ada di sana." Ia mendahului Zelena, masuk ke dalam mobil dengan sikap dingin.
*
*
*
Kediaman Keluarga Ahmad – Senja Merayap
Begitu tiba di rumah, Zelena segera naik ke kamarnya. Ia mengganti pakaian, mengambil tas
" mana mungkin aku tidak melihat mas Arman pergi, aku akan merindukan nya, "
Zelena melihat Leon yang sedang duduk santai di sofa, "lihatlah apa yang dia lakukan, dia malah sibuk dengan dunia nya sendiri " guma Zelena saat ingin menyelinap keluar
kemudian, dia diam-diam keluar melalui pintu belakang. Ia tahu Leon tak boleh ikut. Ini perpisahan yang ia inginkan berjalan sendiri, dengan damai, ia tidak ingin Leon ikut campur karena akan panjang urusan nya,
Sementara itu, Leon santai di ruang bawah. Ia memantau layar laptop, mencoba melacak posisi seseorang.
"Setelah aku temukan orang itu… aku akan mulai rencanaku. Tapi entah mengapa, Ahmad menyuruhku menikahi anak gadisnya itu. Apa motifnya?" gumamnya sambil duduk bersandar di sofa.
Tidak tau siapa orang yang Leon maksud, tetapi sepertinya dia sangat curiga kepada orang ini, wanita yang berasal dari masa lalu nya,
*
*
*
Bandara Internasional – Menjelang Malam
Suasana bandara ramai. Ini adalah kali pertama Zelena keluar rumah sendirian. Kerumunan orang membuatnya sesak napas. Langit mulai temaram, lampu-lampu bandara menyala perlahan. Sorot lampu di langit-langit membuat kepala Zelena berdenyut.
Ingatannya melayang pada hari ibunya meninggal—hari terakhir ia melihat sang ibu di bandara ini. Luka lama itu kembali menganga.
Zelena mulai merasa pusing. Nafasnya berat. Tangannya bergetar hebat.
Tiba-tiba seorang pria di dekatnya berteriak.
"Ya Tuhan! Di mana tiketku?!"
Teriakan itu membuat Zelena panik. Matanya berkabut. Ia memeluk tubuhnya, menangis.
"Tidak! Jangan dekati aku! Jangan sentuh aku!" teriaknya keras.
Petugas bandara menghampiri, khawatir dengan kegaduhan yang ditimbulkan.
"Mbak, mari duduk sebentar. Kita bicara, ya?" kata seorang karyawati mencoba menenangkan.
Tapi tubuh Zelena membeku. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir deras.
"Jangan! Aku tidak mau! JANGAN DEKAT-DEKAT!" dorongnya panik hingga karyawati itu hampir jatuh.
Seorang petugas mengenal wajahnya.
"Tunggu, dia putri dari Tuan Ahmad. Jangan bawa ke rumah sakit. Hubungi keluarganya. Ambil ponselnya, cepat!"
Karyawati itu menekan tombol nomor satu—panggilan darurat. Nama Leon tertera di sana.
*
*
*
Bandara – 30 Menit Kemudian
Leon menerima panggilan itu dan langsung panik. Ia mengenakan jas, berlari keluar rumah. Jalanan macet. Ia tinggalkan mobil dan berlari menuju bandara. Napasnya berat, wajahnya pucat.
Sesampainya di lokasi, orang-orang berkerumun. Zelena duduk meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar, wajahnya tertutup telapak tangan.
"JANGAN SENTUH AKU! PERGI!" isaknya.
Leon melepas jasnya dan perlahan menutupi wajah Zelena. Pandangan Zelena menjadi gelap—dan akhirnya tenang.
"Maaf… biar saya yang bawa dia pulang," ucap Leon tegas, sambil memegang bahu Zelena, menggenggam nya erat di dalam pelukan nya
"Anda siapa?" tanya karyawati bandara curiga. "Kami tidak bisa serahkan dia begitu saja."
"Saya ajudan Tuan Ahmad." ucap Leon, karena tidak tau harus menjawab apa dan bagaimana
"Tapi buktinya mana? Kartu kerja Anda?" karyawati itu tampak tidak percaya, karena dia adalah putri dari seorang pengusaha terkaya, mana mungkin mereka berikan kepada orang asing, yang baru saja tiba
Leon menarik napas panjang, lalu mendekat dan berbisik.
"Saya calon suaminya." ini iya ucapkan karena semua orang yang melihat nya, menatap curiga, seolah seorang pria ingin membawa gadis polos lari bersama nya
Petugas itu terdiam, tak bisa menjawab.
Leon menggendong Zelena di pelukannya, membawanya keluar bandara dengan langkah tegas. Semua mata tertuju pada mereka—lelaki tangguh dengan wanita rapuh di pelukannya.
*
*
*
Dalam Mobil – Menuju Rumah
Mobil yang ditunggu tiba. Leon meletakkan Zelena perlahan ke dalam. Ia membuka jas yang tadi menutupi wajahnya.
"Kau terluka? Kenapa pergi sendirian?"
Zelena hanya diam. Tangannya masih gemetar. Leon menggenggamnya lembut.
"Tenanglah… kau aman sekarang."
Namun tiba-tiba, Zelena berbicara.
" Mas Arman? Dimana mas Arman?"
Tatapannya kosong. Leon menoleh cepat, terkejut, sejak tadi Zelena hanya memanggil nama Arman, apa hubungan mereka, membuat Leon curiga karena seperti nya mereka sangat dekat,
"Kita bicara di rumah saja, Nona. Kau harus minum obat," ucap supir sambil menyalakan mesin, menatap Leon seolah menyuruh nya untuk meletakan Zelena, dan dia tidak perlu ikut bersama mereka, karena sudah ada supir nya sekarang,
Leon menatap Zelena lekat-lekat. Sesuatu telah berubah. Dan itu,hanya awal dari badai panjang yang menanti, ia semakin curiga karena semua orang yang ada di rumah Ahmad bergerak mencurigakan,
Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,
salam hangat author,
Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26