Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi lagi
..."Ini bukan perpisahan, tapi sebuah celengan yang harus dipecah suatu saat nanti jika kita bertemu lagi"...
...•...
...•...
Pagi yang cerah, matahari dan lautan menyapa dengan keindahannya, namun tertutup awan mendung. Dingin pagi yang menemani. Rintikan hujan di pagi hari yang menyejukkan. Zea menatap air hujan yang menetes di kaca jendela dengan meletakkan kepalanya di meja.
Suasana yang ia rindukan datang kembali. Indahnya laut yang tertutup awan mendung, serta udara dingin dengan hujannya. Hari ini ia akan bermain bersama-sama lagi bersama teman-temannya. Dan saat sore datang, Zea akan kembali ke kota dengan Arden yang sedang tertidur pulas di atas kasur.
Di sisi lain, Kezia juga masih terlelap dengan rambutnya yang selalu berantakan saat tidur. Mau bagaimana lagi? Bukankah itu hal wajar?
Pagi ini suhu di daerah pesisir pantai menurun yang menyebabkan suhu dingin sangat terasa. Apalagi hujan gerimis di luar yang membuat suhu semakin menurun. Kezia menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut dan mengeratkan pelukannya ke guling kesayangan.
Zea memakai sweaternya dan turun ke bawah dengan membawa buku untuk ia baca. Senin yang akan datang besok adalah hari di mana ia akan ada penilaian harian biologi. Sungguh sangat membosankan untuk Zea. Biologi itu menyenangkan, tapi entahlah. Seakan-akan sulit untuk dipahami. Ia berharap dapat memahami materi biologi di pagi hari ini dengan teh yang baru ia buat.
Baru saja ia duduk di bangku pinggir kolam, ponselnya tiba-tiba berdering menandakan ada panggilan masuk. Terlihat jelas nama Sheila tertera di sana. Zea langsung mengembangkan senyumannya dan mengangkat panggilan suara tersebut.
"Gua ke sana sekarang, ya?"
Tentunya Zea langsung membulatkan matanya. Pagi-pagi dingin seperti ini mau keluyuran. Mau heran tapi Sheila. Terdengar jelas suara helaan nafas Zea dari ponsel Sheila.
"Kenapa? Nggak boleh, ya?" Tanya Sheila lagi.
"Ha? Enggak, kok. Tapi emang lo nggak kedinginan? Nanti kalau lo sakit gimana?"
"Ututu-ututu-ututu. Ternyata kakak Zea menghela nafas karena khawatir.."
Tiba-tiba Arden ada di ambang pintu dengan mengucek matanya dan juga mengelus-elus tangannya yang kedinginan.
"Tenang aja... Gua otw sekarang."
Setelah itu, panggilan langsung dimatikan sepihak dari Sheila. Zea meletakkan ponselnya dan menatap Arden yang berjalan ke arahnya. "Tumben? Biasanya kamu bangun siang kalau libur."
Arden duduk di sebelah Zea dengan menguap. "Salah, ya?"
Zea menggelengkan dengan tersenyum ke arah bocah di sebelahnya. "Enggak, justru bagus kalau kamu bangun pagi. Abis ini juga kak Sheila ke sini sama yang lainnya."
Mata Arden seolah-olah kembali fresh dengan senyuman yang mengembang. Pagi yang dingin dengan kehangatan orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sangatlah menyenangkan.
"Beneran?" Zea mengangguk.
Arden langsung melompat dari duduknya dan kembali masuk ke dalam. Entah apa yang akan dilakukan bocah itu, tapi Zea yakin kalau Arden akan memulai ritual mandinya. Tidak biasanya Arden mau mandi di pagi-pagi yang sangat dingin. Mungkin karena teman-temannya yang akan kemari membuatnya bersemangat dan langsung membersihkan dirinya.
...••••...
Suara ramai gelak tawa serta suara musik yang Darren setel terus memenuhi ruang tamu. Adara, Ara dan Kezia yang sedang bermain sesuatu di tablet milik sang tuan rumah, Garrel dan Arzan yang sedang melawak membuat candaan agar menghidupkan suasana.
"Lo tau nggak?" Sheila mendekat dirinya ke lingkaran Kezia, Adara, dan Ara yang sedang bermain dengan ditengahnya tablet.
Sontak mereka bertiga menoleh dan menatap Sheila dengan tatapan penuh tanda tanya. Kezia yang tidak ingin ketinggalan berita pun langsung menggeser tubuhnya mendekati Sheila beserta kedua temannya.
"Mulai." Sheila hanya tersenyum menatap Zea seraya menundukkan kepala.
"Wushhh.... Keren-keren...." Garrel menepuk tangannya saat Darren menyanyi lirik bagian terakhir lagunya.
"Ikan, ikan apa yang berenang?" Tanya Arzan yang memberikan sebuah tebak-tebakan.
Garrel mengerutkan keningnya sejenak sebelum menjawab, "Semua ikan nggak, sih?"
"Salah!"
"Terus?"
"Ikan."
"HA?"
Arzan tertawa kecil dengan menepuk bahu Garrel dengan kencang hingga laki-laki itu memberikan tatapan mata tidak mengenakan. "Ikan, kan, terbang. Bedanya itu cuman di air tempatnya."
"Garing lo."
Sean menghela nafasnya mendengar kedua temannya yang tidak jelas saat memberikan lawakan, alias aneh. Di sisi lain, Zea melamun dengan menatapi teman-temannya yang sedang sibuk dengan yang lain. Rasanya sangat berat jika nanti ia akan pergi kembali. Tapi harus bagaimana lagi?
Berat, tapi harus tetap dilakukan, itulah kehidupan. Sebuah keringanan pun tidak akan datang jika tidak dilakukan pula. Zea meraih ponselnya dan mengotak-atiknya.
Darren dan Leon sedang bermain dengan gitar dan saling mengajari satu sama lain tentang musik. Suara-suara orang yang sedang bernarasi, bercanda, alunan musik beserta orang yang bernyanyi memenuhi pendengarannya. Sementara itu di kota, Zea jarang sekali merasakan suasana seperti ini. Hanya suara kericuhan, kendaraan, bell yang tentunya suatu hal yang biasa baginya.
Suasana dan keadaan seperti inilah yang Zea inginkan. Tidak jauh darinya, Kezia dan Adara juga menginginkan terus suasana dan keadaan ini. Bukan hanya suara diri sendiri yang sedang membuat sebuah narasi di imajinasi.
"Kak! Nggak siap-siap beresin barang?" Tentunya, pertanyaan Arden membuat seisi ruangan terdiam menatap Zea.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, dan Arden sudah memiliki firasat untuk segera menyiapkan barang-barangnya agar tidak terlalu tergopoh-gopoh nantinya.
Teman-temannya langsung menghampiri Zea dan menatapnya dalam-dalam. Zea yang merasa aneh jika seperti ini hanya bisa tersenyum tipis dengan menatap teman-temannya bergantian. "Kenapa?" Tanyanya.
"Kita belum ngapa-ngapain..." Wajah Sheila tampak sedih dengan matanya yang sedikit berair.
Naufal yang sangat suka memotret teman-temannya langsung menyiapkan kameranya dan memotret momen seperti ini. Momen saat-saat teman-temannya berkumpul.
"Lo beneran balik nanti sore?" Tanya Naufal.
Zea mengangguk dengan melirik Arden yang sedang bermain dengan Arsa. "Iya, besok juga sekolah. Masa gua harus di sini?"
"Kak Zea, kita emang baru dekat. Tapi rasanya udah kayak sama saudara sendiri," kata Adara menatapnya.
Sebuah senyuman terbit dari bibir Zea yang awalnya datar. "Boleh, anggap aja saudara kamu. Bersaudara dengan Kezia dan yang lainnya juga."
Kezia menyentuh bahu Sheila dengan tersenyum ke arahnya. "Kan, masih ada kita di sini. Lagian juga bisa kumpul terus kayak gini, kok."
Ara langsung memeluk Kezia dan Adara dari belakang dengan mengelus kepala keduanya. "Kita keluarga."
Kezia dan Adara langsung tersenyum mendengar kalimat Ara. Setelah Ara melepaskan keduanya, ia menatap Sean dengan tatapan aneh.
"Boleh tanya nggak?" Izin Ara menatap Sean.
"Apa?"
Manik mata Ara berganti menatap Zea dan Sheila berganti sebelum melontarkan sebuah pertanyaan. "ES itu apa?"
Para member ES justru tersenyum mendengar pertanyaan Ara. Bukannya menjawab, malah mereka menatap Ara dengan tersenyum yang malah membuat sang pemberi pertanyaan aneh. "Kenapa? Ada yang aneh?"
"Dari mana lo tau?" Kini Kezia yang angkat suara.
"Waktu gua lihat album yang bang Naufal bawa tadi malam."
Sontak para manusia di ruangan ini menatap Naufal. Sementara yang mereka tatapan hanya cengengesan dengan memegangi kameranya.
...••••...
"Gua balik, ya?" Zea menatap Sheila dengan tersenyum.
Sheila langsung memeluk Zea dengan menganggukkan kepalanya. "Hati-hati, dan selalu ingat pesan gua. Dan jangan lupa selalu kabarin gua."
"Hati-hati, ya? Nanti kalau ke sini lagi kita main lagi," kata Arsa memeluk Arden.
Sebuah lesung pipi langsung tercetak di wajah Sean kala melihat dua bocah di sampingnya sedang berpelukan. "So sweet banget, Cil! Nggak biasanya kayak gitu."
"Diem, bang! Lagi ada momen mengharukan ini," balas Arsa.
Garrel dan Naufal terkekeh mendengarnya. Abangnya yang terkadang sok cool, pendiam, tiba-tiba juga bisa manja jika di depan Sheila. Tidak jauh dengan Arsa yang juga memiliki sifat kepribadian ganda.
"Arden!" Panggil Zea.
"Jangan lupa kabarin kita kalau udah sampai," kata Naufal yang diangguki Zea.
"Nggak ada yang tanya soal gua, kan?" Tanya Garrel.
"Awalnya gua kaget waktu denger nama lo disebut sama anak-anak Alatra, tapi sekarang gua paham maksud lo," jawab Zea menatap laki-laki itu.
Garrel langsung kepedean dengan menyugar rambutnya. "Apa gua masih terkenal di sana?"
Sontak kedua temannya, Naufal dan Arzan melirik Garrel sinis. "Idih!"
"Nggak juga, sih. Nama lo juga lama-lama memudar dari ingatan mereka. Secara, kan, lo ngilang tanpa ada kabar dan nggak diketahui," kata Zea.
"Bagus, deh. Udah! Sekarang lo masuk sana, jangan sampai ketinggalan kereta," suruh Garrel.
"Oke." Zea menggenggam tangan Arden untuk berjalan ke dalam dan menoleh ke teman-temannya dengan melambai-lambaikan tangannya.
"Kak Zea enak, ya? Bisa bolak-balik dari kota ke sini," kata Darren menatap punggung Zea yang kian menjauh.
"Nggak juga, capek itu," balas Leon.
...••••...
"Besok kamu mulai berangkat sendirian pakai sepeda, Ar?" Tanya Zea menatap Arden dengan menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kereta.
Arden langsung menganggukkan kepalanya dengan tersenyum sumringah. "Ehm! Aku nggak sabar mau pakai sepedanya."
"Kamu kepikiran mau pakai sepeda sendirian ke sekolah dari siapa?"
"Bang Kalan. Soalnya keren kalau pakai sepeda sendiri, daripada antar jemput padahal sekolahnya deket."
Zea tersenyum tipis mendengarnya. Sikap Ezra lama-kelamaan akan turun kepada Arden, tapi tidak dengan sifatnya.
"Kenapa, Kak?"
Sontak Zea langsung tersadar dari lamunannya. Ia menggelengkan kepala menatap Arden dan menghela nafasnya menatap keluar jendela yang langitnya kian menggelap di atas sana.
"Cuman kangen aja," lirih Zea menutup matanya.
...••••...
...Cerita yang kau buat mungkin akan selalu ada dipikirannya. Kenangan yang kau cetak juga sangat berbekas di hatinya....
...Kehangatan serta kebahagiaan yang kau berikan akan selalu tersimpan di sana. Walaupun ragamu tidak ada, tapi kenangan yang kau berikan abadi di sana....
...Sebuah kerinduan untuk orang yang telah tiada itu bukan hal biasa. Karena bukan sembarang orang yang akan merasakan. Tapi orang-orang yang kuat saja yang bisa menerimanya....
...Narasi itu akan selalu ada di sini, walaupun kau telah pergi....
...••••...
...TBC....