Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Kezia-Zea

..."Setidaknya aku tidak merasa kesepian dengan pikiranku yang ramai"...

...•...

...•...

Kezia menatap pangsit yang sudah dingin di mejanya. Ini makanan masakan kantin dan baru pertama kali ia mencobanya. Hanya dua suapan saja, Kezia akui kalau ini enak. Tapi ia merindukan masakan Zayan. Jika tidak, ia merindukan salad yang dibuatkan Ezra. Itu hanya kenangan saja.

"Kenapa nggak dimakan? Nggak suka?" tanya Adara.

Kezia menggeleng. "Enggak, enak kok ini. Tapi gua masih kenyang minum susu tadi."

Sedikit heran dengan ucapan Kezia. Bukankah itu minum susu waktu pagi saat sarapan tadi? Ini sudah menunjukkan waktu jam makan siang. Adara tau yang diinginkan Kezia. Ia melirik Leon untuk kembali saja ke kelas daripada di kantin.

Leon berdiri terlebih dahulu dan berjalan meninggalkan kantin. Adara pun menarik tangan Kezia untuk keluar juga dan mengajaknya ke taman sekolah, lalu duduk di samping pancuran air. Suasananya tidak terlalu ramai karena bell akan berakhir dan mereka semua juga pasti akan kembali ke kelasnya sebelum itu terjadi.

Hembusan angin dan awan mendung yang mewakili perasaan Kezia. Masih tersisa sedikit rasa kesedihan dalam dirinya. Darren menatap coklatnya yang akan ia berikan kepada Kezia. Saat akan melewati taman, ia melihat 2 gadis yang punggungnya mirip dengan Kezia dan Adara.

Darren menghampirinya dan akan mengejutkan mereka, tapi tidak jadi karena Kezia menoleh saat ia akan mengejutkannya. Ia menyodorkan coklat untuk Kezia yang merupakan coklat favoritnya. Kezia menerimanya dan membuka coklat tersebut untuk dimakan. Adara tersenyum melihatnya, ia mengacungkan jempolnya kepada Darren dari belakang Kezia.

"Suka?" tanya Darren menatap Kezia.

Kezia mengangguk. "Makasih."

Darren tersenyum dan duduk di samping Kezia. Baru saja ia duduk, tapi bell tiba-tiba berbunyi. Kezia tertawa kecil dengan mengelap sudut bibirnya. Ia menyodorkan tangannya kepada Darren. "Nggak mau balik?"

Darren menggenggam tangan Kezia dan berdiri. Setelah Darren berdiri, Adara langsung berdiri diantara mereka dan melepaskan genggaman tersebut. "Jangan lama-lama, gua yang bakal gandeng Kezia ke kelas."

Adara menarik tangan Kezia, sementara yang ia tarik melirik Darren dengan tertawa kecil. Walaupun suara tawanya kecil, setidaknya Darren dapat melihat Kezia tersenyum dan tertawa lagi setelah kejadian seminggu yang lalu.

...••••...

Garrel menghela nafasnya dengan menutup wajahnya dengan buku perpustakaan yang ia baca. Sean juga tiba-tiba merasa malas melihat tumpukan bukunya yang sangat banyak untuk ia pelajari. Sudah banyak penilaian-penilaian dan ulangan. Beberapa bulan lagi ia juga ujian.

Di samping Garrel, Sava masih diam dan tenang dengan membaca novelnya. Naufal dan Arzan menghampiri temannya saat melihat mereka. Naufal dan Arzan duduk di hadapan Sean sementara Garrel meletakkan buku yang mereka pinjam.

Perpustakaan ini sangat tenang walaupun banyak pengunjungnya. Sean meletakkan kepalanya di lipatan tangannya dan menatap ke kaca jendela yang menunjukkan taman di luar sana.

"Main ke kota yuk? Sekalian jalan-jalan sama Zea. Gua pengen tau kayak gimana dia di kota sama Arden," ajak Naufal.

"Lo nggak ingat jadwal kita?" balas Sean.

"Sehari doang kok."

"Setengah hari lebih tepatnya."

Sheila datang dengan tiba-tiba dan langsung duduk di samping Sean yang membuatnya terkejut dengan kehadirannya. Sheila mengotak-atik ponselnya sebentar dan menunjukkan sesuatu. "Zea bakal ke sini akhir minggu ini, kita nggak mau main kemana-mana gitu? Rekomendasi tempat, tapi masih di sekitar sini aja biar nggak jauh-jauh."

"Kemana ya...?" Garrel mengetuk-ngetuk dagunya seolah-olah berpikir.

"Kita ajak main-main di pantai aja kayak biasanya. Tapi kita ajak dia ke wisata pantai, jadi bukan sekedar ke gazebo aja," jelas Naufal.

Sheila menimbang-nimbang ucapan Naufal yang ada benarnya. "Nggak ada yang lain?"

"Mall? Tempat main anak-anak, buat Arden," balas Sean.

Sheila mengangguk-anggukan kepalanya. "Boleh juga tuh, sama Arsa diajak juga biar Arden ada temen kecilnya."

Sean mengangguk. Ia menatap wajah Sheila yang tersenyum. Dengan tiba-tiba, cahaya matahari masuk dari jendela dan mengenai wajah Sheila. Yang awalnya mendung, tiba-tiba awan mendung menyingkir dan membiarkan matahari memancarkan cahaya sinarnya.

"Cantik," katanya.

Garrel, Naufal, dan Arzan membuang muka. Setidaknya Sean melihat sekitarnya jika ingin manis-manisan dengan Sheila. Sava melirik Sean dengan menahan senyumnya. Seorang mantan ketos yang dulunya terlihat seram sekarang lebih ramah dan suka menggoda Sheila yang berstatus pacarnya. Padahal, Sheila dulu sering telat bersama Sava, tapi setelah menjadi anggota OSIS. Sheila berusaha untuk tidak telat lagi dan mengatur waktu tidurnya agar lebih awal bangunnya, tapi dengan waktu tidur yang cukup.

Garrel melirik Sava yang tiba-tiba senyum-senyum sendiri dengan buku novel yang menutupi wajahnya. "Ngapain senyum-senyum sendiri? Ada apa?"

Sava langsung gelagapan dan berusaha untuk tetap tenang. "Enggak, enggak ada apa-apa. Cuman ceritanya aja bikin baper."

"Ohh."

"Masa? Anka juga ganteng kok," balas Sheila tiba-tiba.

Sean langsung menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya dengan menahan senyumannya. Pujian yang selalu keluar dari Sheila membuatnya salting dan jantung tidak aman saat itu juga.

Sheila terkekeh. "Udah-udah, nggak malu dilihatin yang lain?"

"Kenapa? Mereka juga udah tau kita."

"Ya, tapi jangan terus terang-terangan juga kali.."

"Bener tuh, lo nggak kasihan sama kita yang jomblo?" timpal Garrel.

"Enggak juga," balas Sean.

"Kalau bukan saudara gua mungkin udah gua tabok mukanya," gumam Garrel.

"Gua denger," balas Sean.

...••••...

Zea menaiki bus untuk pulang ke rumah setelah bell pulang sekolah berakhir. Ia hari ini hanya berkenalan saja tanpa ingin mendekati teman sekelasnya agar memiliki teman baru. Teman-teman barunya di kelas semuanya bertolak belakang dari teman-temannya di sekolah sebelumnya. Mereka banyak yang berbicara kotor dan mengumpat. Bahkan, Zea hari ini mendapatkan umpatan karena ia berhasil mengerjakan soal di papan terlebih dahulu daripada si pintar yang suka membuat onar di sekolah. Tapi Zea tidak mengetahui hal tersebut.

Menyandarkan kepalanya di kaca bus dengan menatap keluar. Ia ingin pekan ini cepat-cepat berakhir dan bertemu dengan teman-temannya di sana. Tapi ini masih Senin dan masih lama untuk hari Sabtu. Melihat segerombolan siswa yang memakai seragam sama dengannya memasuki bus dengan pakaiannya yang rapi.

Siswa tersebut berjumlah 7 orang. Salah satunya sedang memakan permen dan menatapnya. Siswa tersebut mengenal Zea, tapi Zea tidak.

"Minggir! Gua mau duduk di sini," pintanya.

Karena tidak mau terjadi kegaduhan, Zea mengalah dan langsung berdiri. Saat dia akan duduk, bus berhenti secara tiba-tiba dan membuatnya kembali terduduk di pangkuan laki-laki yang menyuruhnya minggir.

Zea langsung membulatkan matanya dan berdiri. Ia terus-terusan menundukkan kepalanya untuk meminta maaf. Sementara laki-laki tersebut menatap Zea dengan tatapan datar.

"Maaf-maaf, gua nggak sengaja," kata Zea.

Laki-laki tersebut hanya acuh dan membiarkan Zea. Ia justru menyuruh salah satu temannya untuk mengisi bangku di sampingnya yang kosong. Zea pun langsung melangkahkan kakinya beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan mereka. Ia tidak mau terjadi masalah.

Setelah beberapa menit, bus berhenti di sebuah halte yang Zea tuju. Zea turun dan berjalan menyusuri jalanan ke arah rumahnya. Laki-laki tersebut meliriknya dari jendela bus sampai Zea benar-benar tidak terlihat oleh pandangan matanya.

"Itu adiknya Nathan, bukan?" tanya laki-laki tersebut.

"Iya, emang kenapa?" jawab temannya yang duduk di sebelahnya.

"Gua sedikit kasihan lihat wajahnya, apalagi setelah denger cerita dari Lino."

"Kehidupannya sadis banget sih menurut gua."

"Banget."

Zea sedikit melamun dan menendang-nendang angin. Ia memasuki gang dan melihat Arden sedang bermain di taman umum. Iya, bermain, walaupun Arden tidak bersuara. Arden hanya menggerakkan truk mainannya dengan rasa jenuh. Sementara teman-temannya yang lain berlarian dengan gelak tawanya.

Arden mendongak saat melihat ada bayangan yang mendekatinya. Ia tersenyum menatap Zea dan langsung berdiri. "Kok lama? Katanya jam empat udah pulang, ini udah lewat hampir setengah jam."

"Maaf, tadi kakak mampir ke perpustakaan bentar sebelum pulang buat cari buku."

Arden menarik kerah tangan Zea. "Pengen es kelapa," katanya.

"Mau kakak beliin?" Arden menggeleng.

"Maunya es kelapa di tempat kak Zia beli."

"Enggak bisa, Ar. Tapi akhir pekan ini bisa, soalnya kakak mau ke pantai ketemu sama yang lainnya di sana."

Arden mengembangkan senyumannya. "Beneran?" Zea mengangguk.

Arden mengambil mainan truknya dan menggandeng tangan kakaknya. Zea tersenyum tipis dan berjalan bersama Arden menuju rumah. Saat memasuki rumah, Arfan menyambutnya dengan memakai celemek.

"Kenapa pakai celemek, Pa?" tanya Zea.

"Lagi belajar masak buat kalian berdua," jawab Arfan.

Arden memiringkan kepalanya. "Emang papa bisa masak?"

Arfan terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak, mangkanya belajar."

"Mau Arden bantuin?" tawar Arden.

"Boleh."

Arden melepaskan genggamannya dan berjalan ke arah dapur bersama Arfan. Setelah itu, Zea melepaskan sepatunya dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, kamar Nathan lebih tepatnya.

Sebenarnya Zea memiliki kamar sendiri, tapi ia ingin mengisi kamar abangnya. Bahkan aroma parfum Nathan masih ada saat Zea memasukinya. Aromanya sangat hangat. Ia meletakkan tasnya di kursi meja belajar dan melempar tubuhnya ke kasur grey.

Di sisi ruangan terdapat rak buku yang berisi buku-buku pelajaran dengan banyaknya piala, piagam dan kalung penghargaan yang Nathan raih selama ini. Mulai dari perlombaan OSN, dan perlombaan cerdas cermat. Tapi yang paling banyak adalah penghargaan dari usahanya di dalam air, yaitu berenang. Banyak perlombaan berenang yang ternyata dimenangkan oleh Nathan.

Sering menjadi perwakilan sekolahnya saat terdapat perlombaan tersebut. Nathan juga sering berusaha terus-menerus walaupun terkadang bahunya kesakitan, tapi ia tetap gigih dan terus melakukannya. Nathan tidak menyukai hafalan, tapi ia akan berusaha untuk memahaminya dan memenangkan perlombaan lainnya. Zea melihat sebuah foto Nathan yang sedang berpelukan pundak dengan seorang laki-laki yang mirip dengan seseorang yang menyuruhnya minggir saat di bus.

Zea mengambil foto tersebut dan menyipitkan matanya. Ternyata benar, itu adalah laki-laki tadi yang menyuruhnya minggir dengan segerombolan teman-temannya. Nathan terlihat sangat dekat dengannya saat di dalam foto tersebut. Bahkan mereka tertawa bersama. Terdapat Lino juga di sana yang memegangi kamera untuk mengajak lainnya berfoto.

Tidak ingin terhanyut akan pikiran dengan foto tersebut, Zea langsung menuju kamar mandinya, tidak lupa juga untuk mengambil handuknya.

...••••...

...TBC....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!