Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niko yang mengungkapkan perasaannya.
Pagi harinya Abraham mengantarkan Aira ke tempat Aira bekerja.
Abraham menemui Lidya pimpinan Aira yang sudah berada di ruang kerjanya.
"Ada apa ini?" tanya Lidya sangat takut jika kedatangan Abraham menarik sahamnya.
Abraham tersenyum tipis saat melihat ekspresi terkejut dari Lidya.
Ia tahu betul bagaimana Lidya berpikir. Wajahnya menunjukkan ketegasan, namun di baliknya ada kesan yang tidak bisa disembunyikan yaitu kekhawatiran.
“Apa maksud Anda, Pak Abraham?” Lidya mencoba mempertahankan kesopanan meski ketegangan jelas tampak di suaranya.
“Apakah Anda... akan mengambil alih saham perusahaan ini?”
Abraham mengangguk pelan, namun ada ketenangan di dalam suaranya.
“Tidak, saya tidak tertarik mengurusi perusahaan ini. Saya hanya ingin memastikan, Aira bekerja dengan tenang. Titip istri saya, jangan sampai ada yang mengganggunya.”
Lidya merasa seperti ada beban besar yang terangkat dari pundaknya.
Ia berusaha untuk tetap tenang, meskipun dalam hati ia merasa lega dan bingung dengan sikap Abraham yang tidak biasa ini.
“Baik, Pak Abraham,” jawabnya akhirnya, meskipun masih dengan nada hati-hati.
“Tentu saja, kami akan menjaga Aira dengan baik.”
Abraham memberi anggukan kecil, lalu menoleh ke arah Aira.
“Aku akan menunggumu di mobil,” katanya dengan suara lembut, sebelum melangkah keluar.
Aira yang sedang berdiri di sampingnya hanya bisa tersenyum kecil, meskipun masih merasa sedikit canggung dengan keadaan ini.
“Aku baik-baik saja, Mas. Jangan khawatir.”
Abraham mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi. Dia tahu betul apa yang terbaik untuk Aira, dan tidak akan membiarkan siapapun mengganggunya, apalagi setelah semua yang telah mereka lalui bersama.
Aira melangkah ke dalam kantor dengan hati yang sedikit lebih ringan, sementara Abraham menunggu di luar dengan sabar.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab sekarang, Aira adalah prioritas utamanya.
Lidya melihat Aira dengan ekspresi penuh pertanyaan.
"Kapan kamu menikah dengan Pak Abraham? Waktu liburan kemarin?" tanyanya dengan sedikit rasa tak percaya.
Aira hanya menganggukkan kepalanya, senyum lembut menghiasi wajahnya.
Meskipun perasaan campur aduk melanda, ia merasa lega akhirnya bisa berbagi kabar ini dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya.
Setelah itu, Aira memesan makanan dan membagikannya kepada semua orang yang ada di kantor.
Ia masih ingin berhubungan baik dengan rekan-rekannya meskipun kini statusnya telah berubah.
Sesekali ia melirik ke arah mereka, berharap suasana tetap nyaman seperti dulu.
Niko yang biasanya penuh canda, kali ini hanya bisa tersenyum kaku.
"Ada acara apa?" tanyanya, mencoba untuk membuka pembicaraan meski dalam hati ia merasa kecewa.
"Aira menikah dengan Pak Abraham," jawab Lidya, dengan nada penuh keheranan.
Niko terdiam, seolah kata-kata itu membekukan tubuhnya.
Ia belum sempat menyatakan perasaannya, dan kini Aira sudah menjadi istri orang, yang tak lain adalah klien besar tempatnya bekerja.
Perasaan campur aduk antara kecewa dan bingung menyelimuti dirinya. Ia tak tahu harus merasa bahagia atau justru sedih.
Aira yang menangkap perubahan sikap Nico, tak tahu harus berkata apa.
Namun, di dalam hatinya, ia menyadari bahwa hidupnya kini telah berubah.
Ia bukan lagi Aira yang dulu, yang bebas menjalani hidup tanpa banyak beban.
Kini ia adalah istri Abraham, dan kehidupan baru pun dimulai.
Nico berlari keluar dari kantor dengan langkah terburu-buru.
Hatinya terasa sesak, seakan ada beban yang begitu berat yang harus ia tanggung sendirian.
Aira yang melihat itu, merasa khawatir dan memutuskan untuk mengejarnya.
“Niko, tunggu!” teriak Aira, berlari mengejarnya dengan cepat.
Ia mencoba meraih tangan Niko, menghentikannya untuk berbicara.
Wajah Niko tampak bingung dan cemas, sementara Aira mendekat dengan perasaan yang campur aduk.
Niko berhenti, menatap Aira dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti.
“Kenapa kamu pergi?” tanya Aira, agak kelelahan karena berlari, namun matanya penuh dengan kekhawatiran.
Aira hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, tapi kalimat yang keluar dari bibir Niko membuat jantungnya berhenti sejenak.
“Aira... aku mencintaimu.” Kata-kata itu keluar begitu tiba-tiba, seolah sudah lama tersimpan di dalam hati Niko.
“Aku mencintaimu lebih dari sekedar teman atau saudara. Tapi aku tahu aku terlambat... Kamu sudah memilih Abraham.”
Aira terdiam, matanya terbelalak mendengar pengakuan itu.
Dalam sekejap, seluruh dunia seperti berhenti berputar.
Perasaan yang tak pernah ia duga muncul begitu saja. Namun, ia tahu perasaannya sudah berbeda.
“Niko,” Aira mulai, berusaha menenangkan dirinya.
“Maaf, selama ini aku menganggap kamu sebagai kakakku... sebagai sahabat, teman dekat. Aku selalu menganggap kamu seperti keluarga. Tapi perasaanku berbeda... aku sudah menikah dengan Abraham.”
Air mata mulai menggenang di mata Niko. Meskipun ia tahu ini berat, namun pengakuan itu sepertinya sudah lama tertahan di dalam hatinya. Ia tidak bisa menyangkalnya lebih lama lagi.
Aira menatap Niko dengan tatapan penuh penyesalan.
Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi mereka berdua, tapi dalam hati, Aira hanya bisa berharap agar mereka tetap bisa menjaga hubungan baik.
“Aku ingin kamu tahu, Niko... kamu adalah teman yang sangat berarti bagiku. Dan aku ingin kita tetap baik-baik saja,” kata Aira dengan lembut, berusaha memberi kenyamanan pada Niko.
Namun, ia tahu, mungkin akan ada waktu yang lama bagi Niko untuk bisa menerima kenyataan ini.
Setelah beberapa saat terdiam, Niko akhirnya mengangguk pelan.
"Aku mengerti, Aira," ucapnya dengan suara parau.
"Aku hanya ingin kamu bahagia, meski aku tidak bisa menjadi orang yang membuatmu bahagia."
Aira menggenggam tangan Nico dengan lembut.
"Kamu akan selalu menjadi sahabatku, Niko. Itu tidak akan berubah."
Dengan kata-kata itu, keduanya berdiri dalam diam, merasakan kedalaman perasaan masing-masing.
Aira tahu bahwa meski ini adalah langkah yang sulit, mereka harus menerima kenyataan dan melanjutkan hidup mereka ke arah yang berbeda.
Niko terdiam sejenak saat Aira memeluknya. Tubuhnya kaku, namun perlahan ia meresapi kehangatan pelukan itu, seolah ingin menyimpan momen itu dalam ingatannya.
Hatinya bergejolak, tetapi ada rasa lega yang datang seiring pelukan itu.
Aira adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, dan meski ia mencintainya, ia tahu bahwa persahabatan mereka adalah hal yang tak bisa tergantikan.
“Kita tetap menjadi sahabat,” ucap Aira dengan suara lembut, memeluknya erat.
Niko merasa ada beban yang sedikit terangkat setelah mendengar kata-kata itu.
Walaupun rasa cintanya takkan pernah sepenuhnya hilang, setidaknya ia tahu bahwa Aira akan selalu ada untuknya sebagai teman.
Ini adalah kenyataan yang harus ia terima, dan meskipun terasa pahit, ia berusaha untuk tetap kuat.
“Terima kasih, Aira,” jawab Niko, suara tenggelam dalam emosi yang campur aduk.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Aira menarik pelukannya sedikit, tapi masih memegang tangan Niko dengan penuh pengertian.
“Aku akan selalu menghargai persahabatan kita, Niko. Kamu adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku.”
Mereka berdiri bersama untuk beberapa saat, menikmati keheningan yang penuh pengertian.
Meskipun perasaan Niko tidak akan pernah sepenuhnya mudah untuk diterima, ada kedamaian yang datang dengan kenyataan bahwa mereka akan tetap saling mendukung, meskipun tidak dalam cara yang diinginkan Nico.
Aira tersenyum lembut. “Kita akan melalui ini bersama, seperti teman sejati.”
Nik mengangguk, meskipun dengan senyuman yang terkesan sedikit dipaksakan.
“Iya, Aira. Aku akan belajar untuk bahagia melihatmu bahagia.”
Saat mereka melepaskan diri satu sama lain, Aira merasa sedikit lega.
Ia tahu ini bukan akhir dari hubungan mereka, hanya perubahan yang harus diterima dengan lapang dada.
Persahabatan yang mereka miliki lebih dari sekadar kata-kata, dan Aira berharap bisa terus menjaga itu, walaupun perjalanan hidup mereka akan berbeda.
Dengan pelukan itu, mereka kembali melangkah maju, berusaha menjalani hidup masing-masing, dengan pemahaman bahwa terkadang cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, namun persahabatan adalah hal yang berharga untuk dijaga.
****
Sore harinya Aira telah sampai di apartemennya dan ia duduk di kursi makan
Abraham melihat istrinya yang melamun dari tadi di ruang makan.
" Ada apa sayang? Apa ada masalah di kantor?" tanya Abraham
Abraham yang mendengar perkataan Aira terdiam sejenak, matanya menatap dalam ke arah istrinya.
Ada sedikit kekhawatiran di wajahnya, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
Dia bisa merasakan ketegangan di udara, mengetahui bahwa Aira sedang bergulat dengan perasaan yang tak terduga.
"Sayang," Abraham berjalan mendekat, mengusap lembut rambut Aira yang terurai, "Kamu baik-baik saja?"
Aira mengangguk perlahan, namun matanya tetap tampak penuh pikiran.
"Aku... Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan, Mas. Niko bilang dia mencintaiku, tapi aku hanya menganggapnya sebagai sahabat."
Abraham duduk di samping Aira, memegang tangannya dengan lembut.
Itu wajar, sayang. Perasaan itu bisa datang kapan saja, dan kadang kita tidak bisa mengendalikannya.
Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana kamu merasa, apa yang kamu inginkan."
Aira menunduk, berpikir sejenak. "Aku takut kalau perasaan itu bisa merusak hubungan kita, Mas. Aku tidak mau ada hal yang mengganggu kebahagiaan kita."
Abraham mengangguk, lalu menatap Aira dengan penuh pengertian. "
Aku mengerti, sayang. Dan aku ingin kamu tahu satu hal, aku tidak akan pernah merasa terancam dengan perasaan apapun yang datang dari orang lain. Yang terpenting adalah perasaanmu terhadap aku. Jika kamu merasa bahagia bersamaku, itu yang aku harapkan."
Aira menatap Abraham dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
"Aku merasa bahagia, Mas. Aku sangat bahagia bersamamu."
Abraham tersenyum, perlahan menarik Aira lebih dekat dan memeluknya dengan lembut.
"Aku akan selalu ada untukmu, sayang. Tidak peduli apa pun yang terjadi di luar sana, kita akan selalu bersama."
Aira membalas pelukan Abraham dengan erat.
"Terima kasih, Mas. Aku takut kalau aku salah langkah, tapi aku tahu kamu selalu ada untukku."
Abraham membelai punggung Aira dengan lembut. "Tidak ada yang salah, sayang. Kita akan bersama-sama menghadapi apapun yang datang. Ini perjalanan kita berdua, dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Aira mengangguk, merasa lebih tenang dengan kata-kata suaminya.
Meskipun ada perasaan rumit yang datang dari Niko, ia tahu bahwa kebahagiaan dan masa depannya ada di sini, bersama Abraham.
Dengan perlahan, ia melepaskan ketegangan di dalam dirinya dan menikmati kedamaian yang datang dari pelukan suaminya.
"Terima kasih, Mas," bisiknya, "Aku merasa lebih baik sekarang."
Abraham tersenyum dan mencium kening Aira dengan penuh kasih sayang.
"Selalu, sayang. Selalu."
Abraham menatap Aira dengan serius, wajahnya terlihat penuh perhatian.
"Sayang," katanya dengan lembut, "Aku sudah memikirkan sesuatu yang penting. Aku ingin kamu berhenti dari pekerjaanmu."
Aira menatap suaminya dengan terkejut, sedikit bingung.
"Hah? Kenapa, Mas? Aku suka pekerjaanku. Lagipula, aku merasa nyaman di sana."
Abraham menggenggam tangan Aira dengan lembut, memberikan senyuman yang penuh keyakinan.
"Aku tahu kamu suka pekerjaanmu, dan aku juga bangga dengan apa yang telah kamu capai. Tapi aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Aku ingin kamu punya waktu yang lebih banyak untuk diri sendiri, tanpa harus merasa tertekan atau stres karena pekerjaan."
Aira masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Tapi aku merasa bisa menyeimbangkan semuanya, Mas. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu."
Abraham mengelus punggung Aira dengan lembut.
"Sayang, kamu bukan beban bagiku. Aku justru ingin kamu bahagia dan merasa lebih ringan. Jika pekerjaanmu di sana membuatmu merasa stres atau terbebani, aku akan mendukungmu untuk berhenti."
Aira masih merasa ragu, tetapi bisa melihat bahwa Abraham benar-benar peduli dengan kebahagiaannya.
"Aku mengerti maksud Mas. Tapi jika aku berhenti, aku akan merasa kehilangan arah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Abraham tersenyum dan mengangkat wajah Aira, menatapnya dengan penuh kasih sayang.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita membuka perusahaan sendiri? Aku akan membantumu membangun sesuatu yang bisa kamu kelola. Suatu tempat di mana kamu bisa menyalurkan passion-mu, tanpa harus terikat dengan tekanan yang datang dari pekerjaan lama. Apa kamu mau mencoba?"
Aira merasa sedikit terkejut dengan tawaran Abraham, tetapi juga merasa terharu.
"Mas... kamu benar-benar mau melakukan itu untukku?"
Abraham mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Tentu, sayang. Aku ingin kamu merasa bebas untuk mengejar apa yang kamu inginkan, tanpa harus merasa khawatir atau tertekan. Ini akan menjadi usaha kita bersama, dan aku akan selalu ada untuk mendukungmu."
Aira merasa hati dan pikirannya mulai tenang. Ia tahu bahwa keputusan ini akan memberikan peluang baru dalam hidupnya, dan ia tidak perlu khawatir lagi tentang stres yang datang dari pekerjaannya sebelumnya.
"Aku sangat berterima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpa dukunganmu."
Abraham mencium kening Aira dengan lembut.
"Kamu tidak perlu berterima kasih, sayang. Ini semua untuk kebahagiaan kita berdua. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Dengan keputusan itu, Aira merasa lebih ringan dan siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, bersama Abraham.
Mereka berdua akan membangun perusahaan bersama, dan ini menjadi langkah awal yang baru dalam perjalanan mereka sebagai pasangan suami istri.