Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Ayah Mertua
Terkejut dengan kemunculan Revan yang tiba-tiba, Nayla melompat dari sofa dan berusaha keras melepaskan diri dari pelukannya. Ia melotot pada Revan, "Kamu tidak boleh menyentuhku."
"Lho, lho, lho… Nggak usah segitunya juga kali," Revan meringis sambil mengangkat bahu. "Aku cuma bercanda. Kalau benaran kucium tadi, aku yakin tengah malam nanti bisa dicincang-cincang seperti adegan dalam film Psycho."
Nayla mengabaikannya, lalu dengan cepat menekan tombol off remote TV. Saat TV mati, wajahnya mulai memerah karena malu. Sebab Revan sekarang sudah mengetahui rahasia kesukaannya, yaitu menonton drama romantis. Ia menatap Revan dengan marah, "Aku dengar dari Bu Rini, kamu pergi untuk mengambil barang-barang lamamu. Ingat, jangan pernah membawa barang kotor itu ke vilaku."
"Jangan khawatir, itu cuma beberapa helai pakaian," jawab Revan sambil menunjuk ke sebuah tas kecil di kaki Nayla. "Tapi yang lebih membuatku khawatir adalah setelah tinggal di sini, apa yang akan terjadi dengan lapak sate ayamku?"
"Kamu masih berniat berjualan sate!?!?" Nayla menggeram sambil menatap Revan seolah sedang menatap orang yang aneh. Sekeras apa pun ia mencoba memahaminya, namun Revan masih begitu terobsesi dengan berjualan sate ayam.
Mengedipkan mata dengan tenang, Revan menjawab, "Memangnya kenapa? Dalam kontrak pernikahan kita, tidak melarang aku berjualan sate ayam kan?"
Menggertakkan giginya, Nayla membalas, "Aku tidak akan pernah membiarkanmu terus berjualan sate ayam. Mulai besok, kamu harus pergi mencari pekerjaan lain. Sebuah pekerjaan yang lebih terhormat, seperti bekerja di gedung perkantoran."
Revan menggaruk kepalanya sambil terlihat bingung. Sejujurnya dengan gelar dari Universitas Harvard yang ia peroleh, sangat mudah baginya untuk masuk ke sebagian besar perusahaan papan atas. Namun, ia tidak terbiasa duduk diam di balik meja dalam ruang berpendingin. Di matanya, karier semacam ini tidak akan pernah bisa menandingi kegembiraan berjualan sate ayam di pinggir jalan.
"Kamu tidak perlu mencari alasan," potong Nayla dengan suara tegas. “Ini perintah.”
Melihat tatapan Nayla yang tajam seolah berkata, 'Jika tidak mengganti pekerjaan, hidupmu akan tamat.’ sambil mengingat ancaman bunuh diri sebelumnya, Revan merasakan keringat dingin tiba-tiba mengalir di pelipisnya dan segera menyetujui, "Baiklah, baiklah. Aku akan menurut. Besok, aku akan mulai pergi mencari pekerjaan baru."
Mendengar jawaban itu, Nayla mengangguk setuju. Seakan baru teringat sesuatu, ia mengeluarkan tasnya dan mengambil ponsel pintar baru dari dalamnya. Ia menyerahkannya pada Revan sambil berkata, "Ini, ambilah. Gunakan ponsel ini, agar aku tetap bisa menghubungimu jika sewaktu-waktu diperlukan.”
Revan dengan bersemangat menerima ponsel itu, dan berpikir sepertinya ini adalah pernikahan yang menguntungkan. Selain ia berada di sebuah vila mewah, mobil sport, dan kini bahkan diberi ponsel gratis. Meski istrinya terlihat sedikit dingin, tapi ia sangat menarik dan murah hati.
Melihat ekspresi bahagia Revan, Nayla tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya tatapan jijik. Nayla menguap, lalu merentangkan tangan sambil meregangkan tubuh yang kelelahan, "Baiklah, aku mau tidur. Kamu bisa bersiap-siap untuk mencari pekerjaan besok."
Baru saja Nayla menaiki anak tangga untuk menuju lantai atas, bel pintu tiba-tiba berbunyi.
Bu Rini yang sibuk di dapur, bergegas keluar sambil mengelap tangannya yang basah di celemeknya, lalu membuka pintu.
"Tuan, Anda sudah datang."
Mendengar Bu Rini mengatakan ’Tuan’, wajah Nayla tiba-tiba menjadi pucat. Dengan anggun, ia berbalik untuk melihat pria paruh baya yang masuk ke dalam vila.
Pria itu mengenakan kemeja biru tua, berpenampilan rapi dan memancarkan wibawa yang sulit dijelaskan. Kerutan halus menghiasi sudut matanya, dan helai rambut putih yang tak terhitung jumlahnya, merupakan cerminan untuk mengetahui usianya. Meski tidak diperkenalkan, siapa pun bisa langsung menebak dialah ayah Nayla, Pak Hardi Santoso.
Begitu memasuki vila, ekspresi Pak Hardi menjadi sangat buruk. Memberi tatapan tajam ke arah Nayla, ia dengan cepat menyapu pandangannya ke sekeliling dan melirik Revan.
"Ayah." Nayla memanggil dengan lemah. Kedatangannya tidak menimbulkan banyak kejutan, hampir seperti orang asing yang tanpa perasaan.
"Ayah?" Pak Hardi tertawa dingin: "Di matamu, apakah masih menganggapku sebagai ayah? Tanpa memberi tahu siapa pun, kamu tiba-tiba menikah dengan pria asing yang kasar ini. Seperti itu, apa kamu masih menganggapku sebagai seorang ayah?"
Raungan Pak Hardi menyebabkan seluruh ruangan bergetar dan bergema.
Bu Rini yang berada di tempat dan waktu yang salah, merasa ketakutan setengah mati. Ia sama sekali tidak menyangka, Nona mudanya akan menikah tanpa sepengetahuan ayahnya.
Mata Nayla mulai memerah, saat air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Namun, ia coba untuk membantah dengan berkata, "Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, pernikahan ini adalah keputusanku. Lalu kenapa kalau dia orang yang kasar? Aku lebih suka menikah dengan pria ini daripada Rama."
"Kau, begini kah caramu berbicara kepada ayahmu?" Pak Hardi menyeringai: "Bagus, sia-sia saja aku membesarkanmu. Jangan pernah berpikir karena nenekmu menyerahkan perusahaan, aku tidak bisa mendidikmu dengan apa yang harus dilakukan! Jangan lupa, aku masih punya tiga puluh persen saham di perusahaan itu. Aku adalah pemegang saham terbanyak, dan yang lebih penting lagi, aku adalah ayah kandungmu!"
"Ayah?" Nayla menggigit bibirnya dan terisak: "Sejak kecil, hanya Ibu dan Nenek yang ada di sisiku. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahmu saat itu. Lagipula, aku sama sekali tidak menyukai Rama. Ayah tidak perlu membuang waktu untuk memikirkan hal ini."
"Kamu tidak menyukainya? Lalu kenapa? Tidak ada salahnya bertunangan dengan calon CEO PT. Sentosa Tekindo. Dan kau ingin mengatakan, bahwa kau benar-benar menyukai orang kasar ini?" Pak Hardi berkata sambil menunjuk ke arah Revan yang masih berdiri diam.
Sejak Pak Hardi masuk hingga percakapan antara ayah dan anak itu, Revan sebagian besar memahami apa yang terjadi. Sepertinya karena paksaan ayah yang temperamental ini, Nayla memilih untuk menikah dengannya. Tapi tentu saja, serangkaian kejadian tidak menguntungkan yang menyebabkan hubungan intim mereka yang juga menjadi alasan besar menyebabkan pernikahan ini.
Dipanggil "orang kasar" lebih dari sekali, bahkan seseorang dengan hati sekeras tanah liat pun akan terusik. Revan yang belum mengambil peran sebagai menantu laki-laki pria itu, melihat jari Pak Hardi dan berkata, "Tuan, aku sarankan untuk menurunkan jarimu. Itu bisa membahayakan."
Pak Hardi menyeringai sinis, " Kurang ajar! Kau bahkan berani membantahku? Aku tahu siapa dirimu! Aku sudah memerintahkan orang untuk menyelidikinya dengan jelas, kamu hanyalah penjual sate ayam di pasar. Meskipun aku tidak tahu apa yang kamu lakukan pada Naylaku sehingga dia mau menikahimu, tapi di mataku kamu hanyalah sampah!”
Tiba-tiba, ia terhenti.
“Aaaah!” jerit Pak Hardi tertahan. ”Hei! Apa yang kau lakukan?!"
Dalam sekejap, Pak Hardi yang tadinya bertindak sombong, tiba-tiba menarik jarinya dengan kesakitan. Memegang jarinya, terlihat butiran keringat mengalir di dahinya.
“Revan… Kamu…” suara Nayla bergetar. Ia melihat dengan jelas apa yang terjadi. Dalam sekejap, tangan Revan melesat dan mencubit jari Pak Hardi yang terjulur, lalu menariknya kembali seolah-olah tidak pernah bergerak. Gerakannya begitu cepat, nyaris tidak terlihat.
Revan menunjukkan ekspresi tenang, dan menoleh ke arah Nayla sambil menyeringai, "Tidak ada yang serius, aku hanya tidak suka jika seseorang menunjuk-nunjuk sambil memakiku. Apalagi jika aku sudah memperingatkan, tapi mereka tidak mengindahkan. Jarinya patah, mungkin akan sembuh dalam sepuluh hari hingga sebulan ke depan."
Jika ini adalah Revan yang dulu, kepala pria itu mungkin sudah pecah sejak tadi.
Pak Hardi menahan rasa sakit dan meraung marah, "Tunggu saja kau, bajingan! Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah! Akan kucari orang yang bisa menghadapimu!”
"Ayah cukup, berhentilah bicara. Apa yang terjadi dengan tanganmu." Meskipun Nayla membenci ayahnya, tapi darah lebih kental daripada air. Saat ini, melihat ekspresi kesakitan ayahnya, hati Nayla melunak. Ia segera berjongkok, berusaha untuk membantunya.
”Jangan sentuh aku, dasar perempuan jalang!” Pak Hardi berteriak diiringi dengan mendorong Nayla, hingga menjatuhkannya ke lantai.
"Ayah! Kamu…" Wajah Nayla menjadi pucat, tidak percaya ayahnya menyebutnya sebagai jalang. Mata Nayla perlahan meredup, saat kesadarannya hampir menghilang.
Di sudut ruangan, Bu Rini sudah berlinang air mata. Ia sebagai pelayan tidak berani berbicara untuk mencampuri urusan keluarga. Namun saat melihat Nayla menangis di lantai, ia dengan cepat mendekat untuk menghiburnya.
Pak Hardi tertatih-tatih kembali berdiri sambil melotot ke arah Revan. "Anak muda, ingat bagaimana kamu menyakitiku. Aku Hardi, akan memastikanmu tidak akan tahu bagaimana kematian itu akan datang!”
Memperhatikan Nayla yang tergeletak di lantai, Revan tanpa sadar merasakan hatinya merasa sakit. Bagaimana pun, secara hukum dia tetap istri sahnya Revan. Perlahan, kemarahan mulai bangkit dari dalam dirinya.
Wajah Revan tampak tenang, tetapi tatapan matanya membeku. Sudut bibirnya terangkat sedikit, menyiratkan rasa jijik yang dalam.
"Aku hanya akan mengatakannya sekali.” ucapnya dengan nada datar. ”Aku tidak pernah mencari masalah. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan istriku, dan aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Tapi aku punya satu prinsip, yaitu paling benci diancam."
Tanpa menunggu reaksi Pak Hardi, sebuah telapak tangan secepat kilat mendarat di pipi kirinya.
"PLAAAK!!!"
Seluruh ruang tamu menjadi sangat hening, saat suara tamparan nyaring itu mulai bergema. Saat itu, Pak Hardi yang baru saja berdiri langsung pingsan dengan satu pukulan.
"Nak Revan, soal ini…" Bu Rini tergagap karena tidak menyadari kekuatan luar biasa Revan. "Bagaimana kita harus menangani ini? Lihatlah keributan ini."
Sementara Nayla sudah ambruk dalam pelukan Bu Rini karena syok, tanpa sedikit pun merasa khawatir dengan apa yang terlihat.
Revan berkata dengan nada acuh tak acuh: "Bu Rini, urus saja Nayla. Biar kebo bodoh ini, aku yang tangani."
Setelah mengatakan kata-kata itu, Revan mengangkat Pak Hardi dari lantai dan menyeretnya keluar rumah. Setelah berjalan sebentar, Revan tiba di tempat pembuangan sampah, dengan ringan melemparkan Pak Hardi ke dalamnya.