NovelToon NovelToon
Sebatas Pendamping (Derita Yang Tak Berujung)

Sebatas Pendamping (Derita Yang Tak Berujung)

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Pengganti / Obsesi
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Cty S'lalu Ctya

Pahit nya kehidupan yang membelengguku seolah enggan sirna dimana keindahan yang dulu pernah singgah menemani hari-hari ku terhempas sudah kalah mendapati takdir yang begitu kejam merenggut semua yang ku miliki satu persatu sirna, kebahagiaan bersama keluarga lenyap, tapi aku harus bertahan demi seseorang yang sangat berarti untuk ku, meski jalan yang ku lalui lebih sulit lagi ketika menjadi seorang istri seorang yang begitu membenci diri ini. Tak ada kasih sayang bahkan hari-hari terisi dengan luka dan lara yang seolah tak berujung. Ya, sadar diri ini hanya lah sebatas pendamping yang tak pernah di anggap. Tapi aku harus ikhlas menjalani semua ini. Meski aku tak tahu sampai kapan aku berharap..
Adakah kebahagiaan lagi untuk ku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cty S'lalu Ctya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Takdir

Tiga hari sudah, aku berada di villa. Bu Dana bilang pak Prayoga akan kembali. Haruskah aku bersiap menyambutnya ketika pulang? layaknya dulu yang ku lakukan pada ayah Emir ketika pulang kerja.

"CK, jangan mengada Alana, dia tidak akan mengharap kan semua itu" guman ku menampik sendiri.

"Ibu.." tiba-tiba Emir datang memeluk tubuh ku dari belakang. Ya, saat ini aku berdiri di balkon menatap hamparan lautan luas.

"Sayang.. kamu naik sendiri?" tanya ku pada Emir. Emir menggeleng lalu melihat ke belakang dimana ada Bu Dana yang mengantar nya.

"Sama saya mbak" timpal Bu Dana seolah mengerti kekhawatiran ku.

"Terima kasih banyak Bu"ucap ku tulus pada Bu Dana. Bu Dana mengangguk, dia pun bilang jika pak Prayoga sudah datang.

"Mas yoga sudah pulang mbak"

"Iya Bu, Emil kesini mau panggil ibu" timpal Emir.

'Ya tuhan, apakah dia sengaja menyuruh Emir memanggilku ke atas' batin ku menebak, jika benar kenapa harus Emir yang dia suruh dia kan bisa menyuruh Bu Dana saja. Apakah tak sedikitpun dia mengkhawatirkan keadaan Emir, setidak nya dia boleh membenciku tapi jangan pada Emir yang tak mengerti apa pun.

"Ibu.. ibu.." panggilan Emir meleburkan gejolak prasangka ku.

"Ya sayang" balas ku lembut.

"Ayo tulun Bu!" ajak Emir, aku pun mengangguk seraya mengangkat tubuh Emir dalam gendongan ku.

"Biar ibu gendong, Emir sudah naik ke atas sendiri, pasti lelah" kata ku seraya menggendong Emir.

Begitu sampai bawah ternyata dia terlihat bersandar di sofa dengan matanya terpejam.

'Kenapa juga dia tidak langsung masuk ke kamar jika mau istirahat' guman ku berkeluh.

"Emir, katanya mau ikut pakde Yayan ke peternakan? itu sudah di tunggu!" ujar bu Dana menghampiri kami.

"Oh, iya Bude. Ibu apa boleh Emil ikut pakde?" izin Emir memohon pada ku. Aku mengangguk.

"Yech.." girang Emir.

"Tapi Emir gak boleh nakal" lanjut ku. Emir mengangguk.

"Emil akan jadi anak pintal ibu.." balas cadel Emir, aku mengulas senyum seraya menurunkan dari gendongan ku.

"Ayo, biar bude anterin ke pakde" sambut Bu Dana menggandeng lengan Emir. Mereka melangkah keluar bersama.

"Buatkan aku kopi" seruan nya tiba-tiba membuatku tersentak. Aku pun menengok ke belakang ternyata dia sudah duduk seraya menatap ku. Aku memilih mengangguk lalu berderap melangkah menuju dapur.

"Ini kopi nya!" ujar ku hendak menaruh ke atas meja.

"Bawah ke kamar!" titah nya berlalu, seolah tanpa dosa. Jujur saja, sedari tadi aku menahan kesal tapi sepertinya dia memang sangat menyebalkan.

"Sabar Alana!" guman ku seraya mengikuti langkahnya ke kamar dengan membawa secangkir kopi.

Klek..

Pintu kamar dia buka, segera dia melangkah masuk ke dalam, ku ikuti langkah nya. Dia melenggang menuju lemari pakaian, aku berinisiatif untuk meletakkan cangkir di meja yang ada di kamar.

"Siapa yang menyuruh di taruh disitu" ujarnya, membuatku seketika mendongak menatap nya berang.

"Lalu di taruh dimana?" tanya ku menahan kesal.

"Balkon" balas nya dengan enteng mengarah ke balkon kamar. Segera ku bawah ke balkon. Entah kenapa hari ini aku begitu kesal padanya. Aku memilih duduk di kursi serta menunggunya. Tak lama dia datang sudah berganti dengan baju santai membalut tubuhnya. Dia mengernyit seraya menatap ku datar. Ku lihat dia mulai meminum kopi dan duduk di kursi yang ada di samping ku.

"Aku mau bicara" ujarku memberanikan diri. Dia melirik ku, lalu menaruh cangkir kopinya ke meja.

"Bukan nya sudah bicara" balas nya datar kembali menatap ke depan.

"Jangan libatkan Emir, dia tak bersalah" lanjut ku menatap nya yang ada di sampingku, dia beralih menatap ku dengan dahi mengkerut.

"Kamu boleh melakukan apa pun terhadap ku, aku ikhlas kak, kau boleh benci pada kami, tapi setidaknya jangan kau siksa juga anak ku. Dia tak bersalah kak" ujar ku mengharap pada nya.

"Apa maksudmu?" tanya nya lagi seolah dia tak mengerti, ataukah semua itu hanya ektingnya layaknya di drama.

"Kenapa kamu tega menyuruh Emir memanggilku ke atas? bukankah kamu tahu Emir itu baru selesai operasi dalam tahap penyembuhan, kamu tega menyuruhnya naik dengan sendiri" berang ku.

"Aku tak menyuruhnya" jawab nya seraya menatap ku tajam, tatapan mata kami beradu, sialnya aku tak melihat kebohongan dalam tatapan itu. Apakah aku salah menduga? batinku bertanya-tanya.

"Lalu kalau bukan kamu suruh kenapa Emir naik ke atas hanya untuk memanggilku" ujar ku membela.

"CK! Alana, ternyata kau cukup bodoh" cibir nya.

"Bahkan memahami anak mu sendiri pun kau tak bisa" lanjutnya berlalu meninggalkan ku yang ada di luar sendiri dengan perasaan yang tak menentu dengan kedua tangan ku terkepal.

'Apa maksud nya, memahami Emir, aku tak bisa' cicit ku. Kenapa semua seolah menjadi aku yang salah.

Lima belas menit berlalu, aku memilih kembali masuk ke dalam kamar, ternyata dia tidak ada di dalam kamar, kemana dia? aku juga tak mengerti kadang aku membencinya kadang pula aku merasa resa memikirkan nya. Selalu selesai berdebat dia tak nampak apa dia menghindar untuk menahan kesal atau dia menepi menahan perih. Salah jika aku berfikir seperti itu, disinilah aku yang berjuang menahan semua perasaan ku. Perasaan karena kecewa begitu mendera, terluka yang menganga, sedih berujung perih dan sakit yang tak mampu menjerit. Semua ini harus ku jalani dengan lapang hati, berserah kepada Tuhan agar selalu menguatkan hati untuk bersabar dan ikhlas karena semua ini adalah sebuah takdir yang harus ku jalani.

Tok.. Tok.. Tok..

Ketukan kamar menggema mengusik hening yang tercipta dalam kamar, ku langkah kan kaki ini untuk membuka nya.

"Ada apa Bu Dana?" tanya ku pada Bu Dana yang ada di depan pintu.

"Ini barang-barang mas Yoga mbak, katanya suruh meletakkan di kamar" jawab Bu Dana yang membawa koper juga beberapa paper bag di tangan nya. Aku pun segera melebarkan pintu dan membantu Bu Dana membawakan paper bag di tangan nya.

"Silahkan Bu, sini biar aku bantu" ujar ku seraya mengambil alih paper bag.

"Di taruh dimana mbak" tanya Bu Dana.

"Disitu aja Bu" jawab ku mengarah dekat ranjang. Bu Dana menaruh koper di dekat ranjang sedangkan paper bag yang ku bawah ku taruh di atas meja depan sofa.

"Terima kasih Bu" ucap ku pada Bu Dana sebelum pergi.

"Sama-sama mbak, saya permisi dulu" balas Bu Dana aku pun mengangguk.

"Oh ya mbak, oleh-oleh Emir sudah saya taruh di kamar Emir, kata mas Yoga itu semua untuk mbak Alana" kata Bu Dana sebelum keluar kamar. Aku menatap beberapa paper bag itu dengan bimbang.

"Benarkah semua ini untuk ku?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!