Kesalahan semalam yang terjadi pada Arfira dengan seorang pria yang tidak di kenalnya membuat hidupnya berantakan, dirinya bahkan sampai harus menjebak pria bernama Gus Fauzan, supaya dirinya terbebas dari amarah Abang dan Abi-nya. Namun, takdir tak menghendaki itu, semuanya terbongkar hingga membuat hidup Arfira benar-benar hancur. Sampai dirinya di pertemukan oleh pria yang telah menghancurkan kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Tangan Arjuna gemetar hebat membaca hasil yang baru saja keluar itu. Bibirnya bahkan tak bisa mengucapkan kata-kata apapun. Ia bahkan terdiam memandangi surat yang ada di tanganya.
Ya, setelah persepsi yang di berikan oleh dokter tadi, Arjuna langsung meminta dokter itu melakukan pengecekan pada Arfira. Dan hasilnya, benar, gadis itu benar-benar hamil. Arfira juga sampai saat sekarang ini belum sadarkan diri.
“Saya mau kamu tes DNA bayi yang ada di dalam kandungan gadis itu” titah Arjuna pada dokter bernama Sean yang merupakan sepupunya juga, tapi dari pihak almarhumah ibunya.
Dokter Sean menghela nafasnya kasar. “Nggak mungkin, itu sangat beresiko bagi inu hamilnya dan janinnya, lagian buat apa sih kamu ngotot banget mau tes DNA?” Tanya dokter Sean menatap sepupunya itu menuntut.
Namun, Arjuna hanya diam, dan masih memandangi kertas yang ada di tangannya itu, hatinya masih berperan, apakah benar jika anak yang di dalam kandungan gadis itu adalah anaknya? Sebab yang ia tau jika gadis itu merupakan seorang anak kyai, tidak mungkin gadis itu suka bermain dengan pria lain. Apalagi, ia yang pertama yang mereguk manisnya bunga milik gadis itu.
“Jun!” Panggil dokter Sean, suaraya agak meninggi, membuat Arjuna langsung tersadar.
“Apa?!” pekik Arjuna.
Doter Sean mendengus, “Saya ini dokter loh, apalagi jadwal saya sangat padat, bicara sama kamu aja ini saya sudah menghamburkan uang ratusan juta, karena waktu saya itu semuanya uang..” kata Dokter Sean yang membuat Arjuna memutar bola matanya dengan jengah.
“Ya, terus?”
Dokter Sean berdekhem, “jadi, jangan buang-buang waktu saya, kalau kamu sudah tidak ada hal yang penting lagi, kamu bisa pergi, karena kerjaan saya itu banyak, bukan pengangguran” Ucap dokter Sean.
Arjuna menghela nafasnya kasar. “Saya mau kamu tes DNA,”
Dokter Sean mendesah. “Saya kan sudah
bilang sama kamu, kalau hal itu sangat membahayakan keduanya. Kalau kamu mau tes DNA juga, kamu bisa melakukannya setelah bayi itu lahir” ucap dokter Sean yang kesal dengan sepupunya yang keras kepala itu.
“Saya tidak mau tau! Kamu harus segera tes DNA janin itu”
Dokter Sean meremas rambutnya. “Ya ampun! Kenapa saya harus punya sepupu gila kayak kamu ini!” Nelangsa dokter Sean. “Kamu kenapa sih sibuk banget mau tes DNA tuh janin?” Dokter Sean memicingkan matanya.
Arjuna mendengus. “Bukan urusan kamu! Yang penting sekarang kamu urus apa yang saya mau! Saya tidak peduli dengan resiko yang kamu katakan!” Ucap Arjuna dan melongos pergi meninggalkan dokter Sean yang tampak cengoh.
“Dasar gila!”
*
Tidak berapa lama, setelah dokter Sean melakukan tugasnya, Arfira sudah sadarkan diri. Ia langsung di minta untuk istirahat total oleh pria itu. Bahkan, dokter Sean memberikan vitamin sesuai yang di katakan oleh Arjuna.
Arjuna? Pria itu sudah pergi entah kemana. Hanya ada Birani yang masih setia menunggu temannya itu.
“Saya pesankan taksi ya, nona.” Kata dokter Sean.
Arfira menggelengkan kepalanya. “Saya bisa sendiri.”
“Anda jangan banyak bergerak, saya sudah pesankan, mari saya antar ke depan.”
Birani dan Arfira saling pandang, keduanya agak heran dengan sikap dokter itu. Namun, keduanya memilih bungkam, dan mengiyakan saja.
Sampai keduanya sudah berada di dalam mobil taksi yang di pesan oleh dokter Sean,
“Tadi aku lihat sendiri loh, Fir, cowok ganteng itu nolongin kamu, mana kayak khawatir banget lagi sama kamu. Dia sampai jalan mondar-mandir di depan IGD” seru Birani menceritakan kejadian tadi. Bagaimana Arjuna khawatir pada Arfira.
Arfira tak terlalu banyak menanggapi. “Itu menurut kamu aja. Kayaknya dia juga biasa aja deh. Udah ah, aku ngantuk, perut aku juga sakit.”
Birani mencebikkan ujung bibirnya. “Aku seriusan. Eh, kamu sakit apa? Tadi dokter itu bilang apa?” Tanya Birani menuntut, pasalnya dokter itu tak mengatakan apapun di depannya,
Arfira gelagapan. “Eh nggak. Asam lambung aku, kumat. Ya itu. Kok.”
“Ya ampun, pasti kamu sering telat makan,” ucap Birani.
Arfira mengangguk saja, sampai taksi itu berhenti di apartemennya, dan Arfira turun.
“Kamu beneran nggak mau aku temenin?” Tanya Birani.
Arfira menggelengkan kepalanya. “Aku mau istirahat, ada kamu berisik” sahut Arfira sambil terkekeh kecil, membuat Birani mengerling kesal ke arah gadis itu.
“Dasar! Yaudah aku balik, kamu harus hati-hati”
Arfira mengangguk. “Oke.”
*
Langit malam itu gelap pekat, hanya diterangi oleh sinar bulan yang lembut dan bintang-bintang yang berkelipan bagai permata di atas kanvas hitam. Angin malam berhembus pelan, membawa keheningan yang menyelimuti seluruh lingkungan. Daun-daun pohon bergoyang lembut, menciptakan suara desiran yang menenangkan. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar, menambahkan simfoni alam yang melodi. Bau tanah yang basah setelah hujan sore tadi masih terasa, menggugah indra penciuman. Di sebuah taman kecil, lampu taman yang redup menyinari jalan setapak, memberikan pemandangan yang cukup untuk melihat keindahan malam tanpa mengganggu keharmonisan alam.
Arfira berjalan sambil menenteng beberapa paperbag yang isinya sebuah kue dan beberapa mainan yang memang sengaja di beli olehnya untuk keluarganya.
Tadi, setelah pulang dari rumah sakit, Arfira bahkan mendapatkan pesan dari Alana, jika gadis itu di tunggu oleh Abi dan ummi pulang ke pondok pesantren. Katanya ummi sangat rindu, terlebih Ryshaka yang sedari kemarin terus menanyainya.
Arfira langsung menurut, ia juga merasakan hal yang sama. Apalagi pada keponakan lucunya itu. Ia sangat rindu sekali, ingin bermain dengan Ryshaka. Dan tubuhnya juga tidak seperti kemarin, Arfira sudah lebih baik, apalagi ia sudah minum obat serta vitamin yang di berikan oleh dokter tadi.
Namun, saat sampai di ndalem, ia malah mendapati keluarganya yang duduk di ruangan tamu sana dengan wajah yang sulit di artikan, bahkan mereka tak menyambut kedatangannya seperti biasanya.
Arfira mengerutkan keningnya, namun ia tetap mengucapkan salam, dan menghampiri mereka semuanya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Arfira langsung berjalan mendekat ke
arah ummi Sekar, namun saat ada di hadapan wanita itu, ummi Sekar malah memalingkan wajahnya, dan sama sekali tidak mau menatap ke arahnya.
"Ummi" panggil Arfira pelan.
Ummi Sekar mengangkat sebelah tangannya ke atas, bahkan wanita itu tak mau di salami oleh Arfira.
Arfira meneguk ludahnya susah payah. "Ummi kenapa?"
Wanita itu melengos, tak menjawabnya,
Arfira kini kembali menatap Abang dan juga abinya yang juga tampak diam saja. Mereka bahkan menatap datar padanya.
"Abi... Abang... Ini ummi kenapa? Kok ummi nggak mau Fira Salami? Fira salah apa?" Tanya Arfira menuntut.
Gus Izam mendesah, tangannya menekan ujung matanya yang akan mengeluarkan cairan bening, sungguh entah kenapa hatinya mendadak sesak.
Arfira semakin bingung dengan tingkah keluarganya. Di sana tidak ada Alana, karena wanita itu membawa Ryshaka pergi. Takut Alana mendengar obrolan mereka.
"Abi..."
Tak
Gus Izam meletakkan sesuatu itu di atas meja.
"Bisa kamu jelaskan, apa maksud semua ini?"
Degh
Mata Afria melotot melihat alat tes kehamilan itu di atas meja sana.