Alby dan Putri adalah dua remaja yang tumbuh bersama. Kedua orang tua mereka yang cukup dekat, membuat kedua anak mereka juga bersahabat.
Tidak hanya persahabatan, bahkan indahnya mahligai pernikahan juga sempat mereka rasakan. Namun karena ada kesalahpahaman, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimana jika pasangan itu dipertemukan lagi dalam keadaan yang berbeda. Apakah Alby yang kini seorang Dokter masih mencintai Putri yang menjadi ART-nya?
Kesalahpahaman apa yang membuat mereka sampai memutuskan untuk berpisah?
Simak cerita selengkapnya ya...
Happy reading.
------------
Cerita ini hanya fiksi. Jika ada nama, tempat, atau kejadian yang sama, itu hanya kebetulan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon el nurmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mengambil kesempatan
Happy reading...
Intan turun dari mobilnya. Ia cukup kesal saat mengetahui pintu gerbang rumah itu di kunci oleh Putri. Wanita itupun memijit bel rumah bertubi-tubi.
Setelah sekian menit, pintu rumah dibuka Arif. Pemuda itu mengernyitkan matanya karena silau dari cahaya matahari.
"Buka, Rif!" Serunya.
"Sebentar, Kak. Nyari dulu kuncinya."
Kekesalan Intan bertambah karena Arif yang lama membukakan pintu untuknya.
"Maaf, Mbak. Arif tadi lupa di mana kuncinya diletakkan." Ucapnya sambil membuka kunci.
"Alby sudah bangun?"
"Sepertinya belum."
Tanpa menghiraukan tatapan Arif, Intan berlalu ke dalam rumah dan menuju tangga hendak ke kamar Alby. Seringaian kecil terlihat di wajahnya manakala mengetahui pintu kamar itu tidak terkunci.
Intan melangkah perlahan mendekati tempat tidur Alby. Pria itu terlihat cool dengan raut wajahnya tenang. Diletakkannya sling bag di atas nakas. Kemudian ia naik ke tempat tidur itu sambil menyingkap selimut dan berbaring di samping Alby.
**Arus sungai yang tenang menjadi tempat menyenangkan untuk memancing ikan. Di tepi hamparan sawah, sungai itu mengalir dengan bebatuan yang cukup besar di bagian tengahnya.
Dua remaja tanggung terduduk di salah satu batu yang ada di sana. Seorang diantara mereka setia menunggu ikan menarik umpan di kailnya. Sedang seorang lagi, bermain air dengan memasukkan kaki ke dalam air. Sesekali ia mengayunkan tangannya ke dalam air.
"Put, gimana pancingku mau dapat ikan kalau kamu nggak bisa diam. Lihat tuh! Pada kabur kan."
"Biarin aja. Ikannya juga kecil-kecil. Kasihan kalau dia kena pancingan kamu, Al."
"Duh, baiknya..." Ujarnya sambil mengacak lembut rambut Putri.**
Intan tertegun dengan bola mata yang membulat sempurna. Betapa tidak, ia masih tak percaya Alby kini memeluk dirinya. Hembusan nafas Alby terasa di bagian pipi. Pria itu tersenyum dengan kedua mata yang masih terpejam.
Susah payah Intan mencoba meraih sling bag. Saat tangannya berhasil meraih tas itu, Intan mengeluarkan ponsel dari dalamnya.
Sebelah tangannya menarik selimut agar menutupi bagian tubuhnya. Setelah itu, ia melepas ikatan rambut dan sedikit mengacak kasar rambutnya itu.
Sempurna. Tinggal cari angle foto yang pas. Batinnya.
***
Sementara itu di rumah Bu Rita, Putri sedang memungut serpihan gelas yang tanpa sengaja dijatuhkan Alfi. Terdengar ringisan kecil saat serpihan itu ada yang menggores ujung jarinya.
"Maaf, Ma. Alfi nggak sengaja."
"Iya, mama juga tahu. Sudah sana pakai sepatumu. Sebentar lagi teman-temanmu datang."
"Mama nggak kerja?"
"Nanti setelah semuanya beres. Al, jangan lupa bawa jas hujan."
"Jas hujan Alfi kan sobek, Ma." Sahutnya sambil memakai sepatu.
"Oh iya, ya. Nanti mama izin dulu deh. Beli jas hujan di toko, sekalian ketemu Mia. Terus mama ke sekolah kamu, nanti dititip sama penjaga sekolah ya."
"Nggak usah, Ma. Rame hujan-hujanan. Kemarin Acil dimarahi ibunya, karena baju putihnya kotor banget. Iya kan, Cil?" tanya Alfi pada Acil yang kebetulan nongol di pintu.
"Iya, hehe. Telingaku dijewer sama ibu," sahut Acil.
"Sekarang bawa jas hujan atau payung?" tanya Putri.
"Jas hujan."
"Tuh kan, Al. Acil aja bawa. Pokoknya nanti mama titipkan ke penjaga sekolah ya."
"Iya deh, terserah mama. Alfi berangkat ya, Ma. Itu darahnya masih keluar, Alfi ke warung Abah mau beli dulu plester."
"Nggak usah, Al. Nanti kesiangan. Nggak sakit kok," cegah Putri. Namun rupanya Alfi tidak menghiraukannya.
Sesaat kemudian, Alfi kembali dengan sebuah plester untuk mamanya. Anak itu bahkan memasangkannya sendiri di jari Putri.
"Jangan lari-lari ya, hati-hati!" pesan Putri.
"Nggak kerja, Put?"
"Sebentar lagi, Bu. Permisi ya, Bu. Putri mau ke dalam."
"Iya."
Putri berniat untuk mandi, namun sebelum itu ia mengirimkan pesan pada Alby. Sesaat ia menyunggingkan senyum sambil menatap ujung jarinya yang dibalut plester. Kemudian ia menatap pada layar ponselnya lagi.
"Sepertinya Alby belum bangun. Atau mungkinn dia sedang di kamar mandi. Nggak apalah, toh dia juga nggak akan marah." Gumamnya, kemudian berlalu ke kamar mandi.
***
Lalu lalang orang-orang sudah menjadi pemandangan yang biasa di rumah sakit. Apalagi sebuah rumah sakit daerah yang menjadi rujukan dari instansi pelayanan kesehatan lainnya.
Setiap hari para dokter dan jajaran rumah sakit lainnya selalu disibukkan dengan pelayanan terhadap pasien dan keluarganya. Tak terkecuali dokter Alby yang kebetulan sedang tugas hari ini.
"Dokter, tolong anak saya. Dia terjatuh dari tangga." Seorang ibu datang memangku anaknya yang terlihat lemas sambil menangis.
"Silahkan ke sesebelah sini, Bu." Seorang perawat mengarahkan sang ibu tersebut.
"Anaknya muntah tidak, Bu? Bagian mana yang terbentur?"
"Tidak, Dok. Anak saya jatuhnya terlentang."
"Kok terlentang? Memangnya tangga di rumah ibu tidak ada pegangannya? Dik, siapa namanya?" Alby berusaha memastikan anak itu tetap sadar sambil memeriksa bagian dari tubuhnya.
"Berapa umurnya?" tanya Alby lagi.
"Lima tahun, Dok. Tangganya memang belum ada pegangannya," sahut si ibu pelan.
"Berapa meter kira-kira jarak dari posisi anak ibu terjatuh? Ada dua meter?"
"Enggak, Dok. Kurang dari dua meter," sahut sang ibu. Wanita itu terkejut saat anaknya tiba-tiba muntah.
"Dok..." Perawat itu seolah memberi isyarat dan Alby menganggukkan kepalanya.
"Ibu, mari ikut saya sebentar."
Ibu yang sedang mengelap muntahan anaknya itu nampak ragu meninggalkan putrinya. Dengan gerakan tangannya, Alby mempersilahkan.
"Adik cantik sama kakak dokter dulu ya. Siapa namanya, Cantik?" rayu Alby saat anak itu akan menangis melihat ibunya yang mengikuti langkah perawat.
"Tia," sahut anak itu pelan. Namun kemudian anak bernama Tia itu muntah lagi.
Perawat dan ibu si anak tak lama kemudian kembali menghampiri dokter Alby.
"Dok, ibu ini tidak menyanggupi pemeriksaan CT-Scan."
"Kenapa, Bu? Putri ibu harus menjalani pemeriksaan tersebut. Dikhawatirkan terjadi pendarahan di otaknya. Apa ini menyangkut biaya pemeriksaan?" tanya Alby dan dijawab anggukan pelan oleh ibu tersebut.
"Ibu tidak punya jaminan kesehatan?" tanya Alby lagi dan kali ini dijawab dengan gelengan kepala.
Alby menoleh pada anak yang kini nampak tertidur itu. Diusapnya pipi anak itu dengan lembut. Ujung matanya menangkap gerakan si ibu yang sedang mengusap air mata.
"Sebentar ya, Bu."
Alby meninggalkan ibu dan anak itu. Dari belakang perawat tadi mengikutinya. Selang beberapa menit, perawat itu datang lagi dengan seorang petugas rumah sakit.
"Bu, silahkan ikut bapak ini. Putri ibu akan menjalani pemeriksaan CT Scan," ujar perawat itu sambil menyerahkan berkas yang dipegangnya.
"Tapi, Sus. Saya kan tidak..."
"Ibu jangan khawatir. Dokter sendiri yang sudah menyanggupi semua biaya putri ibu."
"Semuanya?" tanya ibu itu dengan mata yang berkaca-kaca. Perawat itu mengangguk dan mempersilahkan ia mengikuti pria yang mendorong tempat tidur anaknya.
Sebelum meningglkan ruangan itu, ia menoleh pada Alby yang berdiri di samping meja sambil menelepon seseorang.
"Cie... yang lagi kasmaran," goda dokter Arga.
"Kasmaran, aku? Pada siapa?" tanya Alby heran. Kini ia mulai menyadari sikap aneh dari rekannya yang lain. Hampir semua dari mereka mengulumkan senyum.
"Kalian kenapa?"
"Ditunggu undangannya ya, Dok."
"Undangan apa?" Alby semakin heran.
"Ya undangan pernikahan dokter Alby sama dokter Intan."
"Ayo cepat halalkan, Dok."
"Maksud kalian apa sih?" Alby memilih untuk tidak mengacuhkannya. Ia terduduk sambil membuka pesan gambar yang baru saja masuk.
Arga? Ngirim gambar apa sih dia? batin Alby. Ia menoleh pada Arga yang berlalu sambil mengacungkan ibu jarinya.
Karena penasaran, Alby pun membuka pesan tersebut. Kedua maniknya membulat melihat sebuah foto yang dikirimkan Arga dari status yang dipasang Intan.
Apa-apaan ini? Apa Intan sudah gila?" Geramnya.
Boleh tdk tamat sekolah tp Jangan Mau di Goblokin Lelaki.. Apa lg Mantan Suami yg Gak Jelasa Statusnya.
Di katakan Mantan Suami, Nikahnya masih Nikah Sirih, bukan Nikah Syah Secara Hukum Negara.
Oh Putri Goblok, Mudah x memaafkan..
aku suka cerita nya gx bertele2 terus bisa saling memafkan
sukses buat author nya,,, semangatt