- 𝗨𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲 𝗦𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗛𝗮𝗿𝗶 -
Ria merupakan seorang mahasiswi yang dulunya pernah memiliki kedekatan dengan seorang pria bernama Ryan di dunia maya. Hubungan mereka awalnya mulus dan baik-baik saja, tapi tanpa ada tanda-tanda keretakan berakhir dengan menghilang satu sama lain. Sampai Ryan menghubungi kembali dan ingin memulai hubungan yang nyata.
Akankah Ria menerima atau menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan 3
Fina menyetujui kesepakatan itu dengan mudah. Lagi pula dia berpikir aku juga menyukai Ryan. Ada baiknya dia membantu menyatukan ke duanya dari pada melihatku berkeluh dengan hubungan yang naik turun.
"Oke, ga masalah."
Ryan senang dalam hati. Ada satu lagi yang membantunya mengawasiku. Dia melewati Fina dan bergegas ke arahku. Fina mengerti maksud tersembunyi itu dan tidak mengejar. Dia memberikan kesempatan itu. Ryan yang tiba di depanku hanya mengatakan kata "Beres" dan menggandengku pergi. Aku meronta ingin berpamitan dengan Fina. Tetapi Ryan bersikeras sudah melakukannya.
Aku menoleh ke belakang, Fina hanya melambai sambil tersenyum. Aku pun harus mau tak mau menerima perlakuan ini. Teman baiknya dibawa pergi begitu saja membuat Fina sedikit kesepian. Fina masih harus menunggu operasi ayahnya dan hanya mengharapkan semua berjalan lancar tanpa hambatan.
...****************...
Di parkiran rumah sakit aku memaksa Ryan untuk melepaskan tangannya dariku.
"Kamu apa-apaan sih?" kataku dengan marah.
"Fina masih butuh ditemenin," lanjutku.
"Aku udah bantu kamu. Sekarang aku mau nagih janji kesempatan itu sekarang apa salahnya?" Ryan mengatakan tanpa perasaan.
"Kamu ga liat situasinya," kataku.
"Apa lagi yang kamu mau? Aku udah turutin kemauan kamu," kata Ryan dengan nada tinggi.
Aku terkejut. Siapa sangka Ryan akan bertindak seperti ini? Apakah ini Ryan yang aku kenal atau dia berubah menjadi orang lain? Melihatku mematung di tempat, Ryan merasa bersalah. Dia segera membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk. Aku tak berani menolak lagi. Ini salahku juga menjanjikan kesempatan untuknya.
Perjalanan yang sepi, aku takut melihatnya. Ryan juga tak berbicara. Dia terlihat kesal. Apa ini salahku lagi? Oh, diriku yang malang ini harus menghadapi situasi sulit.
"Kalau hari ini ga bisa ya udah," kata Ryan serius.
"Oke," kataku.
Aku heran kenapa dia begini? Bukankah masih bisa besok jika ingin mengejarku lagi. Ada apa ini? Semakin mencurigakan.
Begitu sampai rumah dia tidak berkata apa-apa dan langsung pergi. Ini di luar kebiasaan sebelumnya. Apa dia mendapatkan masalah? Aku hanya menebak tak berani bicara langsung.
...****************...
Ryan memasuki kamarnya. Dia memijat pelipisnya. Pusing sekali dengan masalah ini. Siapa sangka ayahnya menyuruhnya kembali? Dia ingat nada dering itu khusus untuk panggilan ayahnya. Itu di dapatkan saat di rumah sakit bersama Fina. Dia langsung mematikan ponselnya dan bilang tidak penting.
Setiap sang ayah memanggilnya, sudah pasti dia disuruh kembali dari bermain. Kali ini giliran ibunya yang menelepon tepat setelah ponselnya kembali aktif. Dia mengangkatnya. Belum sang ibu berbicara, suaminya mengambil alih.
"Ryan pulang sekarang. Perusahaan butuh kamu," tegas ayahnya.
"Apa?" teriak Ryan.
"Kamu berani membantah ayah. Selama ini kamu diam-diam menjalankan perusahaan. Ayah sudah mau pensiun juga. Cepat kembali! Masalah kali ini tidak sederhana." Ayah terdengar serius.
Ryan mengambil napas dan menghembuskannya dengan berat. Dia menjawab, "Baik aku pulang sekarang juga."
Dia memutuskan telepon. Ayahnya hanya menyerah ponsel istrinya kembali. Dia berkata, "Udah dimatiin." Ibu merasa kasihan pada putranya dan mengirimkan pesan yang menenangkan.
✉️
Ibu: Hati-hati kalau pulang ya.
Ryan: Iya...
Saat itu dia berkemas dengan cepat dan langsung checkout dari penginapan. Dia melakukan mobilnya ke kota. Sebelumnya, dia juga sudah memesan tiket pesawat ke Bandung. Huh mengesalkan dia tak mengabariku kalau sudah pulang.
...****************...
Beberapa jam kemudian, di rumah Ryan menemui ayahnya di ruang kerja. Dia membuka pintu dan tak berniat masuk ke dalam. Dia menyandarkan tubuhnya di bingkai pintu. Dia seperti tidak peduli dengan ekspresi ayahnya yang terlihat marah. Namun, ayahnya berusaha menahan diri.
"Kamu sudah menjalankan perusahaan dari balik layar selama beberapa tahun ini. Perusahaan juga berkembang pesat baik di dalam ataupun luar negeri. Baru-baru ini beberapa petinggi ingin melihatmu karena mereka paham kemampuanku tak sebanding denganmu."
"Hanya bertemu saja kan?" kata Ryan dengan cuek.
"Iya. Mereka hanya ingin tau."
"Baiklah atur saja tempat dan waktunya. Aku ke kamar dulu," kata Ryan sambil meninggalkan.
"Anak ini benar-benar... " Ayah Ryan yang merasa sulit mengendalikannya.
...****************...
Ryan kembali ke kamarnya. Hatinya terasa buruk. Dia berbaring di atas kasur setelah meletakkan tasnya. Pikirannya melayang.
"Hari yang tenang akan berakhir. Akankah aku bisa bertemu lagi dengan Ria?" katanya di dalam hati.
"Mungkinkah seperti yang pernah dia katakan. Kita berbeda dan tak mungkin bisa bersama?"
Ryan lelah baik hati maupun pikiran. Dia ingin terus di dekatku, tapi keadaan tak mengizinkan. Kesempatan yang datang tak dapat diperjuangkan.
"Akankah ini akhir diantara kita?"
"Tidak. Aku tidak akan menyerah semudah itu. Kita berdua pernah berpisah dan akhirnya benar-benar bertemu. Kita memulainya dari awal sampai titik ini. Mana mungkin aku menyerah? Sekalipun orang lain mengatakan sesuatu aku akan tetap bertahan."
Ryan terus menerus meyakinkan diri bahwa dia tak akan berpisah lagi denganku. Kata-kata yang diucapkan menjadi pengantar tidurnya. Apakah ini semua mimpi? Dia akan tau setelah dia bangun.
...****************...
Aku tak peduli dengan Ryan yang tak menghubungi. Namun, hati ini merasa resah saja. Orang yang mengganggu berhenti memberiku gangguan, tapi aku justru menjadi tidak biasa.
"Apakah dia sudah tidur atau belum?" kataku sambil memandangi layar ponsel menunggu pesannya.
Aku takut menghubungi untuk pertama kalinya karena dia seperti marah, tapi entah mengapa aku merasa itu bukan ditujukan untuk diriku. Sebenarnya siapa? Bolehkah aku melakukan telepon?
Aku takut-takut memencet tombol panggil. Lama sekali tidak diangkat. Apa dia tidur? Detik-detik menuju akhir panggilan itu diangkat.
"Ryan sudah tidur."
Suara wanita yang terdengar lembut dari seberang. Aku mengedipkan mata dan berpikir siapa? Ibu Ryan yang mengangkat teleponku masih terhubung.
"Emm... ini siapa ya?" tanyaku.
"Saya ibunya," jawabnya.
"Oh, maaf menganggu malem-malem. Kalau dianya udah tidur ya sudah Tante," kataku tak enak.
"Ngapain sungkan sama tante? Bilang aja langsung ga papa," pintanya tanpa ragu.
"Ah, ya itu cuma mau nanya kabar aja. Soalnya dia tadi pergi dengan muka yang ga enak dilihat," kataku mengingat kembali ekspresinya.
Ibu Ryan diam-diam mengambil foto Ryan dan mengirimkan padaku. Ah, foto yang diambil saat dia tertidur membuatku kaget. Apa yang dilakukan ibunya?
"Itu apakah udah bisa tenang?" tanyanya lembut.
"Sudah Tante. Makasih," kataku dengan kikuk.
"Sama-sama," jawabnya ramah.
"Jangan lupa main ke rumah ya!" katanya mengingatkan.
"Iya Tante kalau ada waktu," kataku.
"Harus ada pokoknya. Kalau ga ada harus luangin. Bentar aja ga papa. Tante pengen ketemu kamu soalnya," katanya dengan senang.
"Iya Tan. Sudah dulu ya," kataku mengakui.
"Oke. Selamat malam semoga mimpi indah sayang," katanya dengan nada keibuan.
Panggilan itu berakhir. Aku berpikir tentang Ryan yang sudah pulang ke tempatnya sendiri. Kenapa dia tidak mengabariku?