Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Pria Itu
"Sorry kalau keganggu," timpal Rita dengan kesal, tidak benar-benar meminta maaf.
Pria itu menatap kami bergantian sekilas dengan tatapan tajam kemudian kembali membelakangi kami lagi.
"Rese banget sih. Ini 'kan tempat umum. Bebas kali orang mau ketawa, mau jungkir balik. Ngurusin hidup orang banget," dumel Rita dengan suara pelan. Namun aku yakin cukup terdengar oleh pria itu.
"Ta, udah biarin," tegurku tak ingin menjadi masalah.
Pria itu melirik tajam sekilas, aku pun menatapnya dengan tatapan maaf hingga pria itu kembali membelakangi kami.
Karena latte kami memang sudah habis, kami pun memutuskan untuk pergi dari kedai ramen itu. Di parkiran, Rita tengah menggunakan helm dan jaketnya.
"Gara-gara cowok itu gue jadi bad mood." Sepertinya Rita masih kesal. Memang sih, setelah pria itu menegur kami, suasana menjadi kurang nyaman. "Tapi gue kayak pernah lihat cowok itu deh?"
"Oh ya? Lihat di mana?" tanyaku.
Tiba-tiba seseorang berteriak. "Mbak!" Aku pun reflek menoleh ke arah sumber suara. Ternyata pria yang menegur kami tadi tengah berjalan ke arah kami.
Sontak aku dan Rita saling tatap keheranan.
"Maaf, saya cuma mau mastiin," ujar pria itu padaku. "Mbak datang ke nikahan Alleta dan Reymond Gantara gak beberapa waktu lalu?"
"Iya," anggukku dengan bingung. Kenapa dia tahu?. "Ada apa ya?"
"Saya..." Tiba-tiba ponselnya berdering. Pria itu segera mengecek ponselnya dan kemudian menatapku lagi. "Saya sedang buru-buru, tapi ada yang ingin saya bicarakan nanti. Bisa saya minta nomor HP Mbak?"
Rita tiba-tiba menyikutku pelan. Dengan bingung aku menatap ponsel pria itu dan Rita bergantian.
"Oh, i-iya boleh," ujarku akhirnya sambil meraih ponsel itu dan memasukkan nomorku. Siapa tahu yang ingin dibicarakannya memang sesuatu yang penting. Kemudian pria itu men-save nomorku dan ponselku pun berdering.
"Itu nomor saya. Saya akan menghubungi Mbak nanti. Permisi," pamitnya.
Kemudian pria itu pergi dengan terburu menuju mobilnya. Aku dan Rita tanpa sadar memerhatikan pria itu hingga mobilnya menghilang dari parkiran.
"Gue inget! Iya bener! Gue lihat dia di nikahannya Alleta. Dan ternyata dia juga lihat lo di sana. Kalau dia masih inget sama lo, berarti lo berkesan banget buat dia, Ra. Ini kesempatan yang gak bisa lo lewatin. Okay, gue emang kesel sama itu cowok tadi, tapi kalau dilihat-lihat dia good looking juga, terus dia ngutarain maksudnya dengan gentle dan to the point. Bonusnya lagi lihat mobilnya, supercar, Ra! Dia pasti tajir. Fix, lo harus buka pintu hati lo lebar-lebar buat itu cowok!"
Rita yang tadi mengomel karena ditegur pria itu, sudah pergi entah ke mana, sekarang ia menjelma menjadi seorang mak comblang yang siap mempersatukan target-targetnya.
"Apaan sih, Ta. Cowok itu pasti pengen mastiin sesuatu doang sama gue," elakku. "Lagian aku udah tunangan. Inget 'kan?" Ku perlihatkan cincin yang melingkar di jari manisku padanya.
"Tapi cowok itu lebih wow dari Saga, Ra. Mumpung janur kuning belum melengkung, ayo dong, Ra. Selama ini lo gue kenalin sama cowok2 yang speknya paling okay dari semua yang gue kenal, tapi cowok barusan lebih dari okay! Extraordinary malah, Ra! Sekarang cowok yang speknya gak kaleng-kaleng tiba-tiba deketin lo, gak bisa dilewatin sih, Ra."
Rupanya Rita serius.
"Apa sih, Ta. Udah ah, yuk." Aku tak menanggapi ocehan Rita. Tentu saja, masalah antara aku, Gaga, dan Alleta saja sudah sangat memusingkan. Aku tidak ingin menambah masalah baru.
Rita terus menggodaku tapi aku abaikan itu. Bagiku pria tadi tidak bermaksud apapun. Ia hanya ingin memastikan sesuatu. Aku yakin itu. Tapi jujur, aku menjadi penasaran juga, kira-kira hal apa yang ingin dibicarakannya?
Sudahlah, aku tidak perlu memikirkannya terlalu serius. Aku tidak tahu apakah pria itu akan benar-benar menghubungiku atau tidak.
Hingga, aku dan Rita tiba di depan tempat kost ku. Setelah menurunkanku, Rita pun pergi. Saat akan memasuki pagar, seseorang memanggilku, "Rara," bersamaan dengan bunyi klakson.
Sontak aku berbalik dan aku melihat Gaga keluar dari mobilnya. "Gaga," gumamku sama sekali tak menyangka ia berada di sini.
