Ini kelanjutan cerita Mia dan Rafa di novel author Dibalik Cadar Istriku.
Saat mengikuti acara amal kampus ternyata Mia di jebak oleh seorang pria dengan memberinya obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya.
Nahasnya Rafa juga tanpa sengaja meminum minuman yang dicampur obat perangsang itu.
Rafa yang menyadari ada yang tidak beres dengan minuman yang diminumnya seketika mengkhawatirkan keadaan Mia.
Dan benar saja, saat dirinya mencari keberadaan Mia, wanita itu hampir saja dilecehkan seseorang.
Namun, setelah Rafa berhasil menyelamatkan Mia, sesuatu yang tak terduga terjadi diantara mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Cara mengatasi masalah adalah dengan menghadapinya, bukan dengan menghindar."
Ia mengusap bahu lelaki yang telah menikahi putrinya hampir satu bulan lalu.
Pernikahan rahasia yang hanya melibatkan keluarga inti itu dirahasiakan dari khalayak umum.
Bahkan, untuk sementara Rafa dan Mia tinggal di tempat terpisah.
"Kalian butuh bicara dari hati ke hati. Kalau kalian terus terpisah seperti ini, bagaimana hubungan kalian akan berkembang?"
Rafa mengangguk.
Memandang pintu kamar Mia dengan perasaan ragu. Saat memutar gagang pintu, ternyata tidak dikunci.
Ia melongokkan kepala sejenak, pandangannya berputar ke setiap sudut kamar. Mia tampak sedang duduk di sisi tempat tidur dengan memeluk lutut.
Ragu, Rafa terdiam sejenak. Menimbang perasaan Mia saat ini. Yang pasti ia terluka, kecewa dan marah. Dan itu wajar.
Rafa segera melangkah masuk. Berjongkok di hadapan wanita itu. Ingin sekali ia peluk dan menenangkan, atau sekedar menghapus air matanya.
Namun, ia tak memiliki keberanian.
"Aku tahu kamu sedang kecewa dan marah. Aku minta maaf. Kamu tidak salah, aku yang salah."
Tak ada sahutan. Bahkan tidak terdengar isak tangis dari Mia. Namun, air mata mengalir di sudut matanya.
"Tinggalkan aku sendiri. Aku mau sendiri di sini."
"Tapi jangan menangis. Kasihan janinnya. Kalau Ibunya menangis, janinnya pasti ikut sedih."
Mia tertegun sejenak. Sikap lembut Rafa mengalirkan rasa yang berbeda. Namun, sudut lain dari hatinya masih menyimpan amarah dan kecewa.
"Aku akan melakukan apa saja yang kamu inginkan. Tapi, jaga janin yang ada di rahim kamu. Kasihan dia."
"Aku cuma mau kamu tinggalkan aku sendiri," ucap Mia lirih.
Rafa tak punya pilihan lain. Khawatir keberadaannya di sana akan membuat Mia semakin tertekan.
"Ya sudah, aku akan pergi. Kamu jaga diri, ya. Jangan lupa minum obatnya."
Tanpa mengulur waktu, Rafa segera melangkah.
Diam-diam Mia masih memandang punggung tegap suaminya dengan linang air mata.
Aneh memang, ia menginginkan Rafa pergi, tapi hati kecilnya tak rela ditinggal.
Apakah ini hanya pembawaan janin dalam kandungan?
Ah, rasanya terlalu berlebihan.
Maka setelah kepergian Rafa, Mia mengalihkan perhatian dengan mandi, rebahan di kamar sambil memainkan ponsel.
Hari pun bergerak menuju malam. Mia masih bersandar di tempat tidur dengan tatapan kosong.
Pikiran melayang memikirkan akan seperti apa kehidupannya setelah ini. Hingga deringan ponsel berhasil mengalihkan perhatian. Mia meraih benda pipih itu.
Ada nama Wina tertera pada layar sedang melakukan panggilan video.
"Mia, bagiamana keadaan kamu?" tanya Wina sesaat setelah panggilan video mereka terhubung.
"Aku tidak apa-apa, Win. Hanya perlu istirahat." Mia melirik suasana sekitar di belakang Wina yang terlihat ramai dengan lampu-lampu taman. "Kamu di mana?"
"Aku ada di bazar amal kampus. Tadinya aku mau ajak kamu, tapi kamunya sakit," ucap wanita muda itu.
"Maaf ya, lain kali saja. Aku malas ke mana-mana."
"Ya sudah, tidak apa-apa. Di sini sangat ramai. Sayang kamu tidak ada." Wina menyorot kameranya ke sekitar lokasi taman tempat mereka mengadakan bazar amal.
Mia memperhatikan sejenak. Hingga pandangannya tertuju pada sosok lelaki yang berdiri membelakangi kamera dari jarak tak begitu jauh.
Meskipun tidak melihat wajahnya, namun Mia dapat mengenali melalui pakaian, potongan rambut dan bentuk tubuhnya.
Matanya kemudian menangkap sosok wanita cantik yang berdiri di sebelahnya. Hal yang membuat suasana sekitar terasa memanas.
"Kak Rafa?" Tanpa sadar ia menggumamkan nama suaminya.
"Iya, ada Kak Rafa di sini," sahut Wina, mendengar suara Mia. "Dan kamu tahu, dia lagi-lagi cari perhatian pada Kak Rafa. Aku rasa setelah bazar mereka akan dinner bareng."
Mia tergugu. Entah mengapa hatinya terasa sakit.
Tiba-tiba rasa mual kembali menyerang perut. Ia menghempas ponsel ke tempat tidur. Lalu, segera masuk ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut.
**
**
"Raf, apa setelah ini kamu masih ada kegiatan lain?" Dina menerbitkan senyum terindah menatap lelaki itu.
"Tidak, tapi aku harus pulang."
"Sayang sekali. Padahal aku mau minta tolong."
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa. Minta tolong yang lain saja, ya," tolaknya secara halus.
Deringan ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Rafa menarik benda pipih tersebut dari saku dan melihat nama yang tertera dari sana.
"Bunda?" gumamnya melihat nama Airin. "Assalamualaikum, Bunda."
"Walaikum salam, kamu di mana, Raf?"
"Sedang ada kegiatan kampus, Bun. Kenapa?"
"Mia muntah-muntah terus!" ucapnya dengan nada terdengar khawatir.
"Ya Allah...."
"Bunda tidak tahu harus bagaimana. Mia menangis terus di kamar mandi. Sudah telepon Ayah, tapi katanya suruh hubungi kamu."
"Aku ke sana sekarang, Bunda."
Tanpa menunggu Rafa segera beranjak, langkahnya sempat terhenti karena ditarik oleh Dina. Namun, segera ia tepis tangan wanita itu.
"Mau ke mana, Raf?"
"Aku harus pergi ada urusan penting."
Wanita itu menggeleng. "Kamu tidak boleh pergi. Kamu kan panitia."
"Maaf, ini lebih penting. Tolong bilang ke teman-teman lain, ya."
Ia segera beranjak. Beruntung malam ini ia menggunakan motor, sehingga bisa mempercepat perjalanan menuju rumah sang mertua.
Sementara di rumah, Mia berdiri di depan wastafel dengan tubuh lemas. Perutnya tak kunjung membaik.
Terlebih jika mengingat kedekatan Rafa tadi dengan wanita lain yang membuat perut terasa seperti berguncang.
Ia masih terisak-isak saat merasakan sosok tangan menarik tubuhnya, disusul dengan pelukan hangat. Lalu, kemudian belaian lembut pada perut.
Mia merasakan kehangatan yang berbeda dari setiap sentuhan. Sensasi mual yang sedari tadi menyiksa perut perlahan menghilang.
Terlebih, setelah menyesap aroma parfum yang terasa memanjakan indera penciuman.
Kepalanya mendongak sejenak, ia menatap rahang tegas sang lelaki.
Lalu, tanpa sadar menyusup bersandar di lekukan leher, menghirup banyak-banyak aroma tubuhnya yang menenangkan.
Hangat dan nyaman. Hingga rasanya tak ingin beranjak dari posisi ini.
"Bunda bilang kamu muntah terus. Maaf, aku khawatir makanya langsung ke sini," bisik Rafa pelan.
Mia yang bersandar itu terpejam mendengar suara dari dalam dada suaminya. Terasa menembus sampai ke hati.
Belum lagi gerak tangannya yang mengusap kepala, sementara satu tangan lainnya mengusap perut. Seolah ada interaksi kecil antara ayah dan anak.
"Masih mual?" tanyanya berbisik.
Mia menggeleng sebagai jawaban.
Ketika pelukan itu berurai, entah mengapa ada perasaan tak rela. Sepertinya ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
Bukannya reda, tangis Mia malah semakin menjadi-jadi.
Tubuh lemahnya nyaris luruh ke lantai. Beruntung Rafa langsung menopangnya.
Membawa keluar dari kamar mandi dengan menggendongnya dan merebahkan ke tempat tidur.
"Obatnya mual dari dokter sudah diminum, kan?" Lagi Rafa bertanya.
Mia diam. Tak ada jawaban.
Hingga Airin memasuki kamar dengan membawa nampan berisi makanan, yang kemudian ia letakkan di meja.
"Mia belum makan malam. Mungkin karena itu perutnya mual," ucap Airin. Tersenyum membelai rambut putrinya.
"Makan dulu ya, Nak. Habis itu minum obatnya. Kasihan kamu bisa lemas kalau tidak makan."
Airin melirik Rafa, seolah memberi sinyal agar Rafa segera bergerak.
"Bunda keluar dulu, mau telepon Ayah." Wanita itu mengulas senyum, lalu segera keluar kamar.
Membiarkan Rafa berdua dengan Mia agar memiliki lebih banyak waktu bersama.
Tinggal di tempat berbeda setelah pernikahan sepertinya kurang baik bagi keduanya.
Tapi, demi menjaga keamanan hal itu terpaksa menjadi pilihan paling baik. Selain itu, Mia belum bisa menerima Rafa seutuhnya.
Airin tak benar-benar pergi. Ia mengawasi dari luar kamar.
Sementara Rafa yang berdiri di samping tempa tidur menatap Mia. Duduk di tepi tempat tidur dan meraih piring makanan.
"Ayo makan, aku suapin, ya."
************
************
jangan mudah terhasut mia
apa Mia GX tinggal bareng Rafa, terus Rafa gmana
tambah lagi thor..🙏😁🫣