NovelToon NovelToon
Bukan Salah Takdir

Bukan Salah Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Psikopat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Mengubah Takdir
Popularitas:418
Nilai: 5
Nama Author: MagerNulisCerita

Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Situasi Yang Rumit

Suasana mencekam di kediaman Hutomo

Di ruang tamu, ketegangan terasa jelas. Dari jendela, terlihat keluarga Alfian baru tiba. Naura yang melihat kedatangan mereka buru-buru berdiri.

“Yah… Kek, Kak Naura ke atas dulu ya, lihat Bunda,” ujarnya pelan.

Belum sempat ia melangkah naik, ia sudah berpapasan dengan paman, bibi, dan sepupunya yang wajahnya terlihat kusut penuh beban. Naura mencoba tersenyum kecil.

“Selamat pagi, Pah… Mas…” sapanya.

Alfian berhenti sejenak, terlihat jelas ketakutan di wajahnya. Anak dan istrinya hanya menunduk tanpa suara.

Begitu Alfian masuk, Pak Hutomo tanpa bicara langsung melemparkan setumpuk berkas tepat ke hadapan putranya. Suaranya pecah oleh amarah yang ditahan terlalu lama.

“Apa maksudnya ini, Fian?! Kurang apa Papah ke kamu, hah?”

Alfian memungut berkas itu dengan tangan gemetar. Begitu melihat isinya—bukti korupsi yang dilakukan selama bertahun-tahun—matanya membesar.

“Maafkan Fian, Pah…” ujarnya dengan suara bergetar.

“Kurang APA Papah ke kamu, Fian?! KURANG APA?!” suara Pak Hutomo menggema di ruang tamu.

Melihat kakeknya mulai naik emosi, Marvino cepat memegang lengan sang kakek.

“Sabar Kek… tenang dulu,” ujarnya cemas, takut penyakit jantung sang kakek kambuh.

Pak Hutomo menatap Alfian tajam. Nada suaranya menurun, tapi amarahnya jelas tak berkurang.

“Papah kasih perusahaan itu supaya kamu bisa membangun, bukan menghancurkan. Danandra itu jantungnya Hutomo Grup, Fian. Lima tahun… lima tahun kamu melakukan tindakan bejat itu, dan kamu masih bisa tidur tenang?”

Alfian langsung bersimpuh di kaki ayahnya.

“Ampun, Pah… Fian janji akan memperbaiki semuanya…”

Pak Hutomo tidak menjawab. Ia justru melirik ke arah cucunya, Aldi, dengan tatapan kecewa yang jauh lebih menusuk.

“Kamu juga, Di. Udah besar tapi kelakuan makin memalukan keluarga. Mau jadi begajulan silakan, tapi INGAT! Jangan pernah bawa-bawa nama Hutomo di identitasmu. Kakek kecewa berat sama kamu.”

Aldi langsung jatuh berlutut sambil menangis.

“Kek… maafin Aldi… Aldi nggak mau dipenjara, Kek…”

Melihat suami dan anaknya bersimpuh, Ratri ikut menangis dan merapat, memohon.

“Pah… maafkan kami, Pah. Kami janji ini yang terakhir, Pah… kami mohon…”

Dari kejauhan, Angga—kakak Alfian—hanya bisa menggelengkan kepala, kecewa sekaligus sedih melihat keluarga adiknya seperti itu.

Akhirnya Pak Hutomo bersuara lagi, tegas tanpa ragu.

“Mulai detik ini, Danandra Grup akan dipegang Marvino, di bawah pengawasan Papah langsung.”

“Tapi Kek…” Marvino ingin bicara, namun Pak Hutomo mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia diam.

Alfian mendongak dengan wajah merah menahan emosi.

“Ini nggak adil, Yah… Vino masih muda! Mana mungkin dia bisa pimpin Danandra?”

“APA yang nggak adil? Papah kasih kamu lima tahun, dan ini hasilnya? Perusahaan hampir hancur!” hardik Pak Hutomo.

Ia tidak memberi ruang bantahan.

“Nggak ada protes. Kalau kamu masih mau kerja, Papah pindahkan kamu ke perusahaan tekstil di Bandung. Kakakmu, Naufal, akan mengawasi langsung.”

“Tapi Pah—”

“Nggak ada tapi-tapian!” potongnya tegas.

Alfian hanya bisa mengepalkan tangan, rahangnya mengeras menahan malu dan marah.

“Baik, Pah… ayo kita pulang,” katanya pada keluarga kecilnya.

Di kamar sang Bunda

Naura mengetuk pintu perlahan. Di dalam, ia melihat Bunda Melissa duduk memeluk lutut, wajah murung dan kosong.

“Loh, Bunda kenapa murung begitu?” tanya Naura lembut.

Bunda Melissa mengangkat wajahnya perlahan, air mata menahan di pelupuknya.

“Bunda kangen Arnold… anak Bunda nggak pernah jenguk. Bunda kangen banget. Apa Arnold nggak kangen Bunda?”

Naura ikut terenyuh.

“Sabar ya Bun… nanti Kak Arnold datang kok, ke mimpinya Bunda,” ujarnya sambil mengelus bahu sang bunda.

“Bunda udah makan? Udah minum obat?” tanya Naura lagi.

Melissa menggeleng pelan.

Pengasuhnya masuk. “Maaf Nona, dari pagi nyonya belum mau makan dan belum minum obat.”

“Oh ya sudah… Kak, tolong ambilkan makan siang dan obat Bunda ya.”

“Baik, Nona.”

Tidak lama, Angga masuk. Wajahnya terlihat khawatir.

“Kenapa, Dek?”

“Bunda belum makan dan belum minum obat, Yah,” jawab Naura.

Angga duduk di samping istrinya.

“Kok Bunda begini? Katanya mau ketemu Arnold? Gimana mau ketemu kalau Bunda jatuh sakit terus?”

Pengasuh datang membawa makanan. Setelah pamit, Naura menyuapi sang ibu pelan-pelan hingga Melissa tertidur.

Saat itulah Angga menatap putrinya, serius namun lembut.

“Dek, apa yang bikin kamu minta guru ngaji?”

Naura menatap ayahnya dengan keyakinan baru.

“Nana merasa kita sudah jauh banget dari ajaran agama, Yah. Nana mau belajar. Kata teman Nana, nggak ada kata terlambat buat belajar ilmu agama.”

Angga mengangguk perlahan, bangga.

“Memang… keluarga Hutomo sudah terlalu jauh dari ajaran agama. Baik, besok Ayah minta Pak Mamat carikan guru ngaji yang cocok.”

Di sebuah rumah di pedesaan

“Ba, mulai minggu depan Fahri sudah masuk kuliah lagi. Jadi klinik mungkin Fahri titip ke teman dulu ya, Ba, Mi.”

Baba dan Umi tersenyum hangat.

“Baba dan Umi dukung, Nak. Kamu sudah kami anggap anak sendiri.”

“Terima kasih Ba, Mi,” Fahri menyalami mereka.

Setelah ia pergi, Umi menatap suaminya lirih.

“Ba… Umi takut kalau suatu saat Fahri kembali ke keluarganya, dia melupakan kita.”

Baba menghela napas panjang.

“Yang kita takutkan mungkin saja terjadi, Mi. Tapi Baba yakin, Fahri bukan anak yang begitu.”

Ia meraih tangan istrinya.

“Sudahlah… Umi jangan terlalu dipikirkan. Baba mau ke ladang dulu, bantu Ujang di sawah.”

“Iya Ba… hati-hati,” jawab Umi, masih dengan mata sendu.

Di kediaman Alfian

Begitu pintu rumah tertutup, Ratri langsung meledak.

“Kok bisa sih, Pah?! Kamu ketahuan kayak gitu! Kamu tuh nggak bisa diandalkan jadi laki-laki!”

Alfi—masih dipenuhi emosi—mendengus.

“Kamu juga, Di! Mamah capek sama kelakuan kamu!”

Aldi hanya menunduk.

“Bisa diem nggak, Mah? Papah pusing. Lagian papah selewengkan dana itu buat gaya hidup kamu juga!” balas Alfian ketus.

“Terus sekarang gimana dong, Pah?! Kalau kamu dipecat dan dipindah ke perusahaan Kak Naufal, gimana dengan arisan Mamah? Mamah malu, Pah!”

Merasa tidak ada yang mengerti bebannya, Alfian langsung mengambil kunci mobil dan berjalan keluar.

“Pah! Pah! Dengerin Mamah dulu! Mamah belum selesai ngomong!” Ratri berteriak.

“Alah! Papah pusing! Jangan ganggu Papah!” Alfian menggebrak pintu dan meninggalkan rumah.

Ratri berdiri terpaku, bingung dan marah. Aldi hanya melihat ibunya dengan wajah kusut.

Dikediaman Keluarga Wijaya

Suasana malam itu terasa hangat. Seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan, menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh Anindita, istri Hendra. Aroma masakan yang mengepul membuat suasana semakin akrab.

Di tengah makan malam itu, Hendra membuka percakapan untuk memecah keheningan.

“Pah, papah sudah dengar berita yang ramai di media?” tanyanya pelan.

Sementara itu, istrinya masih sibuk menyiapkan nasi, sayur, dan lauk di piring Hendra. Pak Wijaya hanya menjawab dengan deheman kecil.

“Yang Hendra dengar… Alfian, anak bungsu Pak Hutomo, juga menyelewengkan dana perusahaan Danandra,” lanjut Hendra, kali ini dengan nada lebih serius.

Pak Wijaya menghela napas perlahan. “Papah juga kasihan sama Hutomo, Dra. Di masa tuanya, dia tidak bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi ya sudahlah… setiap orang punya jalan hidup masing-masing.”

Beberapa detik hening, sebelum Pak Wijaya tiba-tiba berucap sambil menatap piringnya, “Ngomong-ngomong… ini lauk papah ke mana ya?”

Semua orang melihat sekilas ke arah piringnya—dan mendapati lauknya tertutup nasi.

Seketika seluruh keluarga tertawa dan menggelengkan kepala.

“Papah ini… dari dulu kalau cari lauk pasti hilang sendiri,” celetuk Anindita sambil ikut tertawa.

“Kami curiga, papah sengaja sembunyiin lauk biar lebih dramatis,” tambah Hendra menggodanya.

Candaan pun berlanjut, membuat ruang makan kembali riuh oleh tawa keluarga Wijaya.

1
bebekkecap
😍
bebekkecap
next kak, gasabar pas semuanya kebongkar🤣
AuthorMager: Sabar kak, masih lama...hhehhe
total 1 replies
AuthorMager
Bismillah, semoga banyak pembaca yang berminat. Aamiin
AuthorMager
Selamat menikmati alur cerita yang penuh plotwist
bebekkecap
seru banget kak, lanjut kak
AuthorMager: siap kak, bantu like and share ya kak🤭
total 1 replies
bebekkecap
makin seru aja ini kak ceritanya, sayang kok bisa cerita sebagus ini penikmatnya kurang👍💪
AuthorMager: Aduh makasih kak, bantu share ya kak🙏
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
AuthorMager: duh, jadi terharu. makasih kak
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!