Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: BRIAN MULAI CURIGA
#
Kantor CEO Hartavira Group—dulu kantor Elang, sekarang milik Brian—terletak di lantai 28 gedung SCBD dengan pemandangan Jakarta yang membentang sampai horizon. Ruangan itu luas, mewah dengan furniture import, dinding kaca besar, meja mahoni yang lebih besar dari kasur king size. Tapi pagi ini, kemewahan itu tidak membawa ketenangan.
PRANG!
Gelas kristal melayang melewati ruangan, menghantam dinding kaca dengan keras, pecah menjadi ribuan serpihan yang berkilauan di lantai marmer seperti berlian palsu. Brian berdiri di tengah ruangan dengan napas terengah, setelan Armani sedikit kusut—sangat tidak seperti biasanya—dasi dilonggarkan, rambut yang biasa rapi tersisir sekarang sedikit berantakan karena terlalu sering diremas frustasi.
"SIAPA?!" teriaknya pada tiga orang yang berdiri kaku di depan mejanya—asisten pribadinya, kepala keamanan, dan kepala IT. "Siapa yang bocorkan rekaman itu?! Kalian pikir gue bayar kalian mahal-mahal buat APA?!"
Asisten pribadinya—wanita muda bernama Linda dengan kacamata tebal dan clipboard yang gemetar di tangan—mundur selangkah, suara keluar bergetar. "Pak Brian, kami sudah investigasi. Rekaman itu dikirim dari email anonim yang untraceable. Pakai VPN berlapis, server luar negeri, enkripsi tingkat tinggi. Ini... ini bukan pekerjaan amatir."
"Profesional berarti ada yang bayar mereka!" Brian berjalan bolak-balik seperti harimau di kandang. "Cari tau siapa! Hack kalau perlu! Suap kalau perlu! Ancam kalau perlu! GUE NGGAK PEDULI CARANYA!"
Kepala IT—pria berkacamata dengan kemeja putih basah keringat—mengangkat tangan lemah. "Pak, wartawan yang publikasikan itu dilindungi undang-undang perlindungan sumber jurnalistik. Kalau kita terang-terangan tekanan mereka, bisa jadi berita baru yang lebih buruk—"
"LEBIH BURUK?!" Brian tertawa—tawa tanpa humor, tawa orang yang sudah di ujung kesabaran. "Saham kita udah anjlok 35%! Investor udah mulai panik! Board of directors udah kirim surat 'concern' yang basically mau audit mendalam! Dan kamu bilang bisa lebih buruk?!"
Ia berhenti di depan jendela besar, menatap Jakarta di bawah dengan tangan dimasukkan ke kantong celana—pose yang biasa ia pakai untuk terlihat tenang dan berkuasa, tapi sekarang hanya terlihat defensive. "Keluar. Semua keluar. Dan jangan balik sampai kalian punya INFO BERGUNA!"
Ketiga orang itu keluar dengan cepat, meninggalkan Brian sendirian di ruangan luas yang tiba-tiba terasa seperti penjara mewah. Ia berdiri di sana, menatap pantulan dirinya di kaca jendela—wajah yang masih tampan tapi sekarang ada garis-garis stress di sekitar mata, ada ketegangan di rahang yang tidak pernah ada sebelumnya.
Pintu terbuka lagi. Brian menoleh dengan cepat, siap berteriak—tapi berhenti ketika melihat siapa yang masuk.
Zara.
Istrinya—dulu kekasih Elang—masih cantik seperti biasa dengan cara yang calculated: dress hitam ketat yang pas di tempat yang tepat, heels Louboutin yang membuat kakinya terlihat panjang, rambut hitam panjang ditata loose wave, makeup perfect yang terlihat natural padahal butuh satu jam untuk achieve. Ia berjalan masuk dengan langkah yang tenang, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.
"Sayang," suaranya lembut dengan edge tajam di bawahnya, "aku dengar kamu teriak-teriak sampai dua lantai di bawah bisa dengar. Ini nggak bagus untuk image."
"Image?" Brian tertawa pahit. "Image kita udah HANCUR, Zara! Atau kamu nggak baca berita? Atau nggak liat portofolio saham kita yang merah semua?!"
Zara berjalan ke meja, duduk di kursi client dengan kaki disilangkan elegan—pose yang biasa ia pakai untuk seduce atau manipulate, tergantung situasi. "Sayang, jangan panik. Panik itu yang bikin kita kalah. Kita udah handle situasi lebih buruk dari ini."
"Lebih buruk?" Brian menatapnya dengan mata liar. "Kapan? Kapan kita pernah ada di situasi di mana bukti ASLI kejahatan kita tersebar ke publik?"
"Rekaman itu bisa kita claim sebagai deepfake—"
"Ahli forensic INDEPENDEN udah verifikasi asli!" Brian memotong dengan keras. "Deepfake defense nggak akan berhasil! Dan yang lebih parah..." Ia berhenti, berjalan ke meja, membuka laptop, menunjukkan dokumen laporan. "Ada investor baru yang beli saham kita. Banyak. 15% dalam seminggu terakhir. Beli dari angel investor yang panic selling dengan harga sedikit di atas market."
Zara mengerutkan kening—wajah cantiknya berubah fokus, otak bisnis yang tajam mulai bekerja. "Siapa?"
"Harris Setiawan."
Nama itu membuat Zara terdiam sejenak. Bibirnya yang glossy sedikit terbuka, mata menyipit. "Harris? Harris yang dulu Elang bantuin waktu hampir bangkrut?"
"Iya. DIA." Brian menutup laptop dengan keras. "Kenapa dia tiba-tiba tertarik invest di perusahaan yang lagi collapsing? Kenapa dia beli saham yang orang lain buang? Ini nggak masuk akal kecuali..."
"Kecuali dia tau sesuatu yang kita nggak tau," Zara menyelesaikan dengan suara yang mulai kehilangan ketenangan. "Atau... atau ada yang suruh dia."
Mereka bertukar pandang—dua orang yang pernah berkonspirasi bersama, yang pernah tidur di ranjang yang sama sambil merencanakan kehancuran orang lain, sekarang melihat sesuatu yang menakutkan di mata masing-masing: kemungkinan bahwa mereka tidak lagi yang memegang kendali.
"Kamu pikir..." Brian berbisik, tidak berani menyelesaikan kalimat.
"Elang?" Zara menggeleng keras, terlalu keras untuk meyakinkan. "Nggak mungkin. Elang masih di jalanan. Dia nggak punya uang, nggak punya koneksi, nggak punya—"
"Dia punya OTAK!" Brian berteriak, lalu menurunkan suara dengan usaha. "Elang itu genius di strategi bisnis. Dia yang bikin Garuda Investama dari nol jadi unicorn dalam tujuh tahun. Dan sekarang dia bebas, dia punya waktu, dia punya DENDAM—"
"Dendam nggak cukup tanpa resource," Zara berdiri, berjalan mendekati Brian dengan langkah yang calculated—langkah yang biasa ia pakai untuk calm him down dengan sentuhan atau kata lembut. Ia meletakkan tangan di dada Brian, menatap matanya dengan mata yang practiced innocence. "Sayang, Elang itu nothing sekarang. Mantan narapidana dengan reputasi koruptor. Siapa yang mau dengerin dia? Siapa yang mau invest sama dia? Mungkin rekaman itu cuma kebetulan—mungkin ada whistleblower internal yang jual info buat duit—"
"Stella," Brian berkata tiba-tiba, nama itu keluar seperti pencerahan yang menakutkan. "Stella Febriani. Asisten marketing yang menghilang dua minggu lalu. Yang rumahnya kita gerebek tapi laptopnya kosong. Yang kabur entah kemana."