NovelToon NovelToon
Pewaris Dendam

Pewaris Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Balas dendam pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:291
Nilai: 5
Nama Author: Lautan Ungu_07

Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.

Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab: 18 Sogokan

Setelah mendapat kecurigaan tentang kekalahan Alka, Varel perlahan mulai turun tangan. Mencari informasi tentang juri itu, dan tak butuh waktu lama baginya.

Hanya dalam sekejap mata, informasinya Varel dapatkan dengan cukup jelas.

Suasana restaurant malam itu ramai. Tapi tak mampu menghilangkan dinginnya perasaan Varel. Setelah berhasil mendapatkan nomor ponsel juri itu, Varel langsung meminta ia datang menemuinya.

Dari arah pintu, seorang laki-laki dewasa masuk, mengenakan jas dan celana hitam. Langkahnya pelan tapi mantap, wajahnya datar, tatapannya dingin.

Varel akhirnya duduk berhadapan dengan juri yang ngasih nilai paling rendah buat Alka. Ia duduk dengan tenang, wajah datar, tapi sorot mata gelisah. Dari situ saja, Varel tahu. Ada yang nggak beres.

Varel menatapnya lama, menghela napas dalam. "Langsung aja... kenapa kamu ngasih nilai begitu rendah?"

"Nilai ya memang sesuai kemampuan, Pak." jawab Juri itu, tapi matanya tak berani menatap balik Varel.

"Kemampuan?..." ulang Varel, alisnya menyerit. "Bukannya kemampuan anak itu sudah bagus?" suaranya pelan, tapi penuh penekanan.

"Ada beberapa gerakan yang dia nggak paham!" jawabnya ngasal. Ada gemetar halus pada tangannya.

"Yakin? Itu masalahnya?" Varel tersenyum miring. "Kalau memang kemampuan anak itu yang kurang bagus, kenapa cuma kamu yang ngasih nilai rendah?"

Semakin ia berbohong, semakin Varel menekan. Rahangnya memegang, ia mencoba menatap Varel, tapi tak mampu lama.

"Katakan! Ada apa dengan, kamu?" tekan Varel, tangannya mengepal di atas meja. "Berapa yang dia kasih? Katakan!... saya bisa kasih kamu lebih dari itu!" Varel sedikit membungkuk, wajahnya mendekat, tatapannya semakin tajam.

Juri itu mundur sedikit, lalu membuang muka. Ia menelan ludah, merasa salah atas penilaiannya pada Varel.

Varel terkekeh, lalu kembali duduk tegak. "Kalau kamu nggak bilang siapa orangnya... saya bisa saja bikin nama kamu jelek di dunia pelatihan dance. Dan... kamu pikir orang itu akan sanggup nolong kamu?"

Juri itu masih tetap diam, tatapannya lurus ke atas meja, yang hanya ada satu minuman milik Varel.

Varel membuang napas kasar, lalu bangun dari duduknya. "Kamu pikir aja gimana baiknya. Bilang, siapa orang di balik kamu. Atau... hidup nggak tenang!" ia melangkah, menjauh dari meja.

Tapi langkahnya terhenti saat Juri itu memanggilnya. "Pak Varel..."

Varel berbalik, menatapnya lama. Tapi tak ada jawaban.

"Ada... yang ngasih saya amplop. Suruh kasih nilai Alka jelek." katanya pelan, matanya menatap lantai.

"Siapa?"

Juri itu menelan ludah, seolah masih ragu. "Fellisya," suaranya bergetar.

Varel tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi jijik. "Datang ke kantor saya, jika kamu butuh uang dan menagih apa yang tadi saya katakan!" katanya, sebelum ia benar-benar melangkah, meninggalkan Juri itu yang masih duduk terpaku.

Mobil melaju kencang di jalanan yang sudah gelap. Tangannya mencengkeram stir kuat, rahangnya masih menegang. Seperti sedang mengeluarkan sisa emosi yang masih nempel dalam dada.

Suara klakson terdengar nyaring saat mobil tiba di depan pagar rumah. Tak lama, seseorang langsung membukanya. Mobil itu langsung masuk menuju halaman rumah.

Varel keluar dari dalamnya. Ekspresi wajahnya selalu dingin, datar. Ia mendorong pintu perlahan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Mas," sahut Renata yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

Varel tersenyum. "Mas, mandi dulu." katanya, sambil terus melangkah menuju kamarnya.

Setelah suaminya masuk ke dalam kamar. Renata berjalan menuju dapur, menyiapkan makan malam.

Sudah hampir dua puluh menit, Varel dan Renata duduk berdua di ruang makan. Suasana sudah sepi, hanya suara obrolan ringan mereka dan angin yang berhembus pelan.

"Kenapa pintu belakang belum di tutup?" tanya Varel.

"Ada Felly di taman." jawab Renata sambil ngunyah.

Varel langsung terdiam, merasa jika ini kesempatan untuk berbicara soal masalahnya.

Makanan di piring mereka kini sudah habis. Renata bangun untuk merapikan bekasnya. Sementara Varel berjalan pelan menuju taman belakang.

"Mau ngapain, Mas?" tanya Renata, keningnya mengerut.

Langkah Varel terhenti. "Ada sedikit masalah sama Felly." jawabnya, lalu melanjutkan kembali langkahnya.

Halaman belakang rumah itu sudah sepi. Hanya lampu temaram yang menerangi setiap sisi. Fellisya duduk di bangku besi, sambil main ponsel.

Varel datang menghampiri, suaranya langsung terdengar, berat. "Nyogok juri, buat jatuhin, Alka? Kamu pikir itu hebat?"

Fellisya menggeleng pelan, tapi ada senyum miring di bibirnya. "Aku cuma nurut sama, Oma. Kamu... jangan ngerasa paling bener!"

Mata Varel langsung merah, nahan emosi. "Felly... itu anak kandung kamu sendiri!"

Fellisya tertawa keras, seolah meledek. "Terus... saya sudah bilang sejak awal. Saya nggak sudi di akui sama mereka!" suaranya dingin. "Dan, Oma bilang. Anak itu nggak boleh di biarin dance. Kalau kamu mau bantah Oma, silahkan." lanjutnya. Fellisya bangun dari duduknya, lalu pergi tanpa kata lagi.

"Fellisya, keterlaluan..." suara Varel meninggi. Dadanya naik turun, nahan emosi.

Angin malam berhembus semakin dingin, suasana semakin sunyi. Hanya suara jangkrik yang terdengar di luar.

Malam berlalu begitu saja. Suara burung dan kendaraan samar-samar terdengar. Satu per satu, penghuni rumah itu berdatangan ke ruang makan. Mengikuti aroma makanan yang sudah tersaji di atas meja makan.

Alka yang sudah mengenakan seragam sekolah, tapi rambut masih acak-acakan, bahkan basah. Tak lama Lista datang, mengenakan seragam yang sama, tapi versi lebih rapi dari Alka.

Wajah Alka ceria, ada senyum di bibirnya. Berbeda dengan Lista yang datar dan dingin.

Fellisya berdiri di ujung dekat meja makan, tangannya melingkar di depan dada. Menatap Alka menusuk.

"Anak SMA, kelakuan kayak bocah. Mau sekolah, nggak ada rapi-rapinya." sindir Fellisya sambil menarik kursi, lalu duduk dengan tegak.

Alka menatapnya, menghela napas panjang. Lalu menggeliat kecil. "Nona, sepertinya anda memperhatikan saya!"

"Tidak tertarik untuk memperhatikan!" balasnya pelan, tapi cukup jelas.

"Lantas... kenapa Nona mengkritik penampilan saya?" tanya Alka, di sambung dengan tawanya.

Fellisya menatapnya sebentar. "Kamu, tidak pantas di sebut anak sekolah."

Tawa Alka semakin menggema, ia membungkuk, mendekatkan wajahnya. "Nona Fellisya yang terhormat! Apakah anda pantas... di sebut dokter kecantikan? Sedangkan wajahmu saja jelek!"

"Uhukhh..." Fellisya tersedak makanannya sendiri.

Lista dan Renata berusaha menahan tawa yang ingin keluar. Sementara Varel, pura-pura mengusap hidung. Menyembunyikan senyum tipis yang timbul di wajahnya.

"Sopan kah begitu?" sahut Fellisya, suaranya cukup lantang.

"Nona, anda yang mulai duluan. Saya..."

"Alka," suara Nadira memotong ucapan Alka. "Jaga sikap dengan orang yang lebih dewasa dari kamu!"

"Iya, Oma." sahut Alka cepat, tangannya meraih buah apel merah di hadapannya.

Ruang makan seketika menjadi tegang bagi Alka. Tak ingin menghadapi banyak pertanyaan dari Nadira, Alka bangun dari duduknya.

"Aku duluan," katanya sambil melangkah pergi.

"Alka," suara Nadira kembali menghentikannya. "Minggu depan kamu ujian nasional, sebentar lagi lulus. Oma harap, kamu udah pikirin langkah selanjutnya."

Alka tersenyum, lalu menatap Nadira lama. "Alka udah pikirin, dan mungkin... Alka mau kuliah ambil jurusan hukum."

"Tumben? Ngaku kalah ya? Percuma dance nggak jelas, ujung-ujungnya juga kalah lagi, kan?" celetuk Fellisya. Nada suaranya seperti merendahkan.

Tangan Alka langsung menunjuk ke arahnya, "Lo..."

"Jangan bikin keributan lagi!" kata Nadira cepat.

Tangan Alka mengepal di samping tubuhnya, tatapannya menusuk, napasnya memburu. Tapi tak lama, Alka langsung pergi dari sana, membawa amarah yang masih nempel dalam dada.

1
Apaqelasyy
Keren banget plotnya.
Lautan Ungu_07: Awww makasih udah baca🎀 seneng banget ada yang notice alurnya.💝💝
total 1 replies
Willian Marcano
Buatku melek sepanjang malam.
Lautan Ungu_07: Aduhh, kasihan matanya... tapi makasih loh, udah baca cerita ini.😅🥰🎀
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!