⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 15
Perjalanan berlangsung lama. Setelah delapan jam lebih, mereka akhirnya sampai di lokasi, tepat di depan sebuah hotel.
"Al, bangun. Sudah sampai," bisik Ray pelan, sambil menepuk pipi Aluna.
"Aduh, pusing gue, Ray," keluh Aluna, mencoba membuka matanya yang berat.
Setelah Aluna cukup sadar, ia pun turun bersama Ray.
"Gue bawain tasnya," ujar Ray, mengambil tas Aluna lagi.
Semua murid berkumpul di depan hotel. Bu Asri, guru pendamping, memberikan pengarahan. "Anak-anak, kita sudah sampai, ya. Jangan pisah. Satu kamar akan diisi sepuluh orang karena ruangannya besar, ada lima kasur."
Semua murid diam mendengarkan, kecuali Aluna yang tiba-tiba mengacungkan tangan.
"Ya, Aluna, ada apa?" tanya Bu Asri.
"Saya enggak mau satu kamar dengan orang lain," ucap Aluna, suaranya dingin dan tegas, membuat suasana hening.
"Enggak bisa, Aluna! Semuanya harus satu kamar bareng-bareng," jelas Bu Asri, mencoba bersabar.
"Saya enggak mau," tolak Aluna, tetap pada pendiriannya.
"Tapi semuanya sudah diatur, Aluna, sudah pas!" Bu Asri mulai meninggikan suaranya.
"Saya pesan kamar sendiri," putus Aluna, lalu pergi begitu saja dari kerumunan itu, meninggalkan keheningan di belakangnya.
Para siswi mulai berbisik-bisik, membicarakan sikap Aluna.
"Sinting," gumam Baskara pelan, menatap tajam kepergian Aluna.
"Hus! Lo jangan gitu. Pacar gue itu," goda Robi, menyenggol lengan Baskara dan terkekeh.
"Sialan, lo!" desis Baskara, matanya masih terpaku pada sosok Aluna yang menjauh.
"Semuanya bubar! Masuk ke kamar masing-masing!" perintah Bu Asri, mengakhiri ketegangan.
Aluna melangkah masuk ke kamarnya, aura dinginnya sejenak melunak. Ia membuka pintu kaca jendela; semilir udara hangat Jogja segera masuk, dan pemandangan kolam mini yang tenang di bawah sana tampak begitu menyejukkan mata.
"Akh, nyaman sekali," gumamnya, bibirnya membentuk senyum kecil yang jarang terlihat. Ia segera merebahkan diri di kasur empuk, mengambil ponsel, dan membuka grup obrolan mereka.
"Sudah?" tanyanya singkat, ditujukan pada Ray dan Davin.
"Sudah, dong!" balas Ray cepat, disertai emotikon senyum lebar.
"Aman, Al," timpal Davin.
Tari dan Risa yang satu grup dengannya segera merespons.
"Al, gue mau sama lo!" pinta Risa, nada merengek.
"Ogah, gue mau sendiri."
"Ish, Aluna! Kita ke pantai, hayuuu!" ajak Tari penuh semangat.
"Mager, mau bobo."
"Bentar, Al. Lihat sunset," bujuk Ray.
"Jemput ke kamar gue."
"Siap, princess-ku," balas Ray, mengirimkan emotikon penuh cinta.
Ray segera pergi ke kamar Aluna. Tak lama kemudian, mereka berdua keluar dan menyusul Davin, Tari, dan Risa. Sore itu, mereka pergi ke pantai. Mereka duduk berlima di atas pasir, menikmati es krim sambil mengobrol dan tertawa lepas, menikmati kebersamaan.
"Indah, kan?" tanya Ray pada Aluna, suaranya lembut, mencoba menarik perhatian gadis itu.
"Hmm," balas Aluna, matanya menerawang jauh, menatap senja yang menguning, gradasi jingga, merah, dan emas memenuhi cakrawala.
Tiba-tiba, hatinya terasa sakit, nyeri yang familiar menusuk dadanya. Pemandangan pantai itu membawanya kembali pada kenangan tentang ibunya yang begitu menyukai pantai. Mata Aluna mulai berkaca-kaca, air matanya sudah di ujung pelupuk.
Ray, yang peka terhadap perubahan ekspresi Aluna, segera merangkul bahu gadis itu, mengusapnya dengan lembut, memberikan sandaran terbaik yang ia miliki.
"Kangen Ibu," lirih Aluna, air matanya tak terbendung lagi, jatuh membasahi pipinya.
Tari dan Risa, yang duduk di sampingnya, terdiam. Mereka tidak berani bicara, karena mereka tahu, yang Aluna butuhkan hanyalah teman yang berada di sisinya, tanpa kata-kata penghibur yang klise.
Di kejauhan, Baskara dan Robi memperhatikan mereka.
"Dia kenapa?" tanya Baskara, matanya menatap Aluna yang sedang menangis di pelukan Ray.
"Enggak tahu. Biasanya dia ceria, atau kadang datar tanpa emosi," jawab Robi, merasa aneh dengan pemandangan itu.
"Kelemahan dia apa, ya?" gumam Baskara, nadanya penuh perhitungan.
"Mau ngapain, lo?" tanya Robi, merasakan niat jahat Baskara.
"Gue ingin dia hancur," jawab Baskara dingin, tatapan kebencian di matanya makin menguat.
"Jangan, Bas! Lo tuh, ya, cari penyakit! Bukan dia yang hancur, tapi lo yang hancur, percaya sama gue," peringat Robi, suaranya terdengar sungguh-sungguh.
Baskara tak menghiraukan Robi. Ia hanya terus menatap Aluna dengan tatapan penuh kebencian bercampur penasaran. Gadis itu, dengan segala misteri dan kekebalannya, telah menarik perhatiannya.
Setelah Aluna sedikit tenang, dan matahari mulai tenggelam sepenuhnya, mereka beranjak dari pantai. Aluna dan teman-temannya makan malam di sebuah kafe. Mereka kembali asyik mengobrol dan bercanda, melupakan sejenak kesedihan di pantai. Pukul 8 malam, mereka pun kembali ke hotel.
Saat sampai di lobi, semua siswa dan guru sudah berkumpul. Suasana tampak tegang.
"Ini tas milik siapa?" tanya Pak Dion, guru kedisiplinan, memegang sebuah tas ransel dan mengeluarkan isinya.
Aluna dan gengnya menatap kerumunan itu. Wajah Aluna tanpa ekspresi, ia berdiri menyandar pada tembok, kedua tangannya melipat di dada, menunggu apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, Baskara datang bersama Robi.
"Kenapa tas saya dibongkar, Pak?" tanya Baskara, wajahnya menunjukkan keheranan dan sedikit kemarahan.
"Oh, ini punya kamu? Kamu bawa rokok sampai lima bungkus! Buat apa? Buat jualan?" hardik Pak Dion, suaranya menggelegar.
"Pak, saya enggak bawa rokok," bantah Baskara, terkejut.
"Ini tas kamu, kan? Dan ini rokoknya! Kenapa kamu mengelak?" Pak Dion menunjuk tas dan bungkus-bungkus rokok di meja.
"Iya, itu tas saya, tapi saya enggak merokok, Pak," Baskara bersikeras, mencoba membela diri dari tuduhan yang tidak ia lakukan.
"Ikut saya!" perintah Pak Dion tegas, lalu berbalik pergi.
Semua yang berada di sana bubar, suasana tegang itu perlahan mencair.
Aluna dan gengnya segera masuk ke kamar Aluna, kamar yang mewah dan pribadi.
"Waaah, nyaman banget! Gue ikut di sini!" seru Tari, langsung merebahkan diri di kasur.
"Enggak, ah! Sempit," tolak Aluna santai, membuat Tari cemberut.
"Gue juga!" timpal Risa.
"Gue dong, mau!" Ray ikut-ikutan menggoda Aluna.
"Jangan! Bukan muhrim," jawab Aluna datar, namun ada senyum samar di bibirnya.
"Kapan muhrimnya?" tanya Ray sambil tersenyum nakal.
"Masih jauh," jawab Aluna santai.
"Eh, itu si Baskara gimana, kira-kira?" tanya Davin, mengalihkan pembicaraan.
"Paling dihukum lagi dia," jawab Aluna, menatap kolam renang dari jendela, tatapannya dingin.
"Seru juga, anjir! Lihat dia kikuk tadi," Ray terkekeh, puas dengan hasil rencana mereka.
"Kapan lo beli rokok itu?" tanya Tari, penasaran.
"Kemarin, lah," jawab Ray bangga.
"Are you happy, Al?" tanya Davin, menatap Aluna.
"Sedikit," jawab Aluna, wajahnya kembali datar.
Mereka pun melanjutkan obrolan santai hingga pukul 10 malam. Davin dan Ray akhirnya kembali ke kamar mereka, meninggalkan Aluna, Tari, dan Risa.
Bersambung...
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣