 
                            Setelah kematian bayi malangnya yang baru saja lahir, tepat 2 jam setelah itu Ayu Maheswari tewas secara tragis ditangan suaminya sendiri. Jiwanya menolak mendapat perlakuan keji seperti itu. Ayu tidak terima. Ia berdoa kepada Tuhan-nya, meminta dibangkitkan untuk membalaskan dendam atas ketidak adilan yang ia terima.
Begitu terbangun, Ayu tersentak tetiba ada suaminya-Damar didepan matanya kembali. Namun, Damar tidak sendiri. Ada wanita cantik berdiri disampingnya sambil mengapit lengan penuh kepemilikan. 
"Tega sekali kamu Damar!"
Rupanya Ayu terbangun diraga wanita lemah bernama Rumi. Sementara Rumi sendiri adalah adik angkat-Raisa, selingkuhan Damar.
Ayu tidak terima! Ia rasa, Rumi juga pasti ingin berontak. Dendam itu semakin tersulut kuat. Satu ambisi dua tujuan yang sama. Yakni ingin melihat keduanya Hancur!
Rumi yang semula lemah, kini bangkit kuat dalam jiwa Ayu Maheswari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
1 jam sebelum itu, Rumi yang masih didepan makam Ayu, kini hanya mampu terpaku menatap pusara yang di asingkan di pojok ruang. Disana tidak ada taburan bunga, atau sekedar rerumputan hijau.
Dada Rumi terasa perih. Batin Ayu menjerit kesakitan melihat pusaranya sendiri. Namun, hidupnya tidak hanya untuk meratap. Ayu harus bangkit lebih kuat di tubuh Rumi. Kembalinya bangkit tidak hanya untuk meratap saja. Tapi sebuah misi yang harus terbalaskan.
Rumi perlahan meninggalkan pemakanan keluarga besar itu. Ia menuju ojek semula, dan pergi dari sana.
Setibanya di rumah, langkahnya di hadang oleh sang Kakak, perihal ancaman laporan yang akan Rumi lakukan. Raisa yang kegabah, seakan menunjukan jika kecelakaan itu ada sangkut paut denganya.
"Kau datang ke hotel bersama Tante Ana untuk apa?" Raisa menghempaskan lengan Rumi di teras samping.
Rumi berdecih. Wajahnya sama sekali tenang, tidak takut dengan penindasan yang di lakukan Kakaknya. "Kenapa memangnya? Kamu takut, Raisa? Atau jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa?" jantung Raisa berdetak kuat, merasa cemas jika kecelakaan yang di alami Rumi disebabkan olehnya.
Rumi tersenyum miring. Setelah itu melanjutkan kalimatnya, "Jangan-jangan kau lah dalang di balik kecelakaanku?!" Rumi sampai menunjuk wajah Raisa.
Deg!
Mulut Raisa seketika terkatup. Tubuhnya menegang kuat, bagaikan tawanan yang mendapat giliran gantungan. "Ka-kau berani menuduhku, Rumi? Sekarang kamu sudah berani denganku,"
Rumi menghela nafas dalam. Ia membuang muka kesembarang arah, merasa lucu dengan gertakan sang Kakak. Bagi Rumi saat ini, Raisa tak lebih dari topeng badut di pinggir jalan.
"Untuk apa aku tak berani? Kau makan nasi, aku juga makan nasi," kekeh Rumi sinis, sambil melipat tanganya di dada. "Ingat Raisa... Dulu memang aku hanya diam menjadi bahan olok-olokanmu. Tapi sekarang, jangan panggil namaku lagi. Rumi yang dulu telah pergi. Dan sekarang, akulah sepenuhnya yang menjalankan tubuh Rumi. Jadi kau jangan pernah bermacam-macam padaku, atau kau sendirilah yang akan hancur!"
Raisa seakan tak berkutik sama sekali. Mulutnya terkatup, tak mampu membalas sikap badas Rumi.
"Awas saja kamu Rumi!" setelah memberi peringatan, Raisa melenggang masuk begitu saja.
Rumi masih tersenyum getir melihat kepergian Kakaknya. "Raisa, Raisa... Kau wanita yang paling bodoh! Saking bodohnya, kau sampai mendorong dirimu sendiri dalam permainan kejimu.'
Rumi bergegas masuk kedalam. Begitu tiba di ujung tangga lantai dua. Ia agak sedikit terkejut melihat Bu Sintia duduk termenung di teras balkon. Entah dorongan dari mana, langkah kaki Rumi seakan mendekat. Tapi begitu tiba di samping sofa, Rumi menghentikan langkahnya.
Sebuah liontin berbentuk hati, yang di dalamnya terdapat foto dua anak kecil perempuan.
Semakin dalam berjalan, Ayu dibuat tercengang, kala melihat foto semasa kecilnya ada didalam liontin hati itu. Dan foto satunya, memperlihatkan masa kecil Raisa yang sedang tersenyum manis.
Deg!
"Bagimana bisa Bu Sintia menyimpan fotoku sewaktu kecil?" Ayu sampai membekap mulutnya dalam tubuh Rumi. Ayu sungguh tak menyangka, mengapa hal sekebetulan itu dapat terjadi.
Karena mendengar pergerakan dari Ibunya, kini Rumi segera bersembunyi dibalik guci besar dekat pintu.
Bu Sintia sudah masuk, dan perlahan turun ke bawah. Dan tak lupa, ia menyimpan kembali liontin tadi didalam saku pakaiannya.
Ayu didalam tubuh Rumi masih membeku di tempatnya. Apa yang sebenarnya terjadi di masa kecilnya dulu. Apa hubungan keluarganya dengan Bu Sintia? Ataukah... Ada rahasia besar yang tak pernah Ayu ketahui selama ini. Namun, bagaimana ia akan mencari tahu, jika tubuhnya saat ini adalah Rumi.
Pikir Ayu, hanya Afan-pria yang akan membantunya menyelesaikan semua ini. Ayu harus meyakinkan Afan, agar pria itu percaya terlebih dahulu jika ia benar-benar Ayu.
"Aku harus bertemu dengan Afan." Rumi segera kembali menuju kamarnya.
Di kamarnya, Rumi kini duduk didepan meja rias sembari melepas tas selempangnya. Ia mengambil kartu nama milik Afan, menatap sejenak, lalu bangkit mencoba menghubungi pria itu.
1 menit, 2 menit, Rumi menunggu dalam gelisah. Ia berdiri dibalik jendela balkon, menatap jauh sambil menanti panggilannya terjawab.
*
*
Sementara di kediaman Adipati,
Afan baru saja masuk kamar, setelah tadi cukup menerima informasi dari pelayan di rumahnya. Pria itu hendak menuju kamar mandi, namun fokusnya terganggu oleh deringan gawai diatas nakas.
Drttt...
Nomor tanpa nama.
Afan memicing sembari tanganya mengambil ponsel itu. "Nomor siapa ini?" dan tak lama itu ia menggeser tombol hijau. "Hallo, dengan siapa?"
Disebrang, Ayu hanya mampu membekap mulutnya kuat-kuat. Rasanya teramat rindu dengan suara lembut dari sang sahabat. Di tengah rasa sesaknya, Ayu mencoba bersuara.
"Halo, benar ini dengan Pak Afan?" Bibir tipis itu sampai bergetar, sebab saking rindunya.
Deg!
'Suara itu? Nggak, nggak! Nggak mungkin itu suara Ayu... Ya Allah, apa karena aku saking rindunya.' Afan tersentak kuat, kala mendengar suara sahabatnya di sebrang. Dan entah bagaimana, suara Rumi seolah berubah menjadi suara Ayu.
"Hallo, kok diam saja Pak? Benar 'kan ini nomornya Pak Afan?" Ayu sampai mengulang kembali katanya.
"Iya, dengan saya sendiri. Ini siapa ya?" Afan masih mengerutkan dahinya.
"Saya Rumi, wanita yang hampir Anda tabrak waktu lalu." Ucap Ayu lirih.
Afan tersadar, rupanya ia hanya rindu dengan sahabatnya. Sampai-sampai suara wanita lain ia anggap suara Ayu.
"Oh jadi ini nomor kamu? Apa ada sesuatu? Atau... Tubuhmu merasa sakit?"
"Tidak ada, Pak! Cuma... Ada sesuatu serius yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Apa lusa Pak Afan senggang waktu?" tanya Rumi memastikan.
Afan tampak berpikir sejenak. Ia kini berjalan menuju teras balkon, menopangkan tubuhnya pada pembatas balkon. "Bisa-bisa, besok kita bertemu saja di cafe, yang kebetulan kamu singgahi waktu lalu."
Rumi menyetujui itu, "Baik, Pal! Kalau begitu saya tutup dulu."
Afan menghela nafas dalam, sambil membalikan badannya menatap luar. Ponselnya masih tergenggam erat. Namun pikiran Afan tidak pernah lepas dari sosok Ayu Maheswari.
"Ayu ... Semoga saja Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertemu kamu di kehidupan selanjutnya. Dan semoga, di kehidupan itu... Aku bisa membahagiakanmu." Gumam Afan tersenyum menatap hamparan luas langit senja.
Afan menoleh kebawah, kala melihat mobil Kakaknya baru saja tiba. Dan seketika tatapan Afan berubah bengis. Kedua tangannya terkepal kuat, hingga rahangnya menggeretak.
"Dasar pria brengsek! Aku tidak peduli mau kau kakaku atau tidak. Dan aku yakin, kau pasti yang sudah membunuh Ayu! Puas-puaskan saja kau bernafas Damar... Setelah itu, akan ku buat kau menderita sedalam-dalamnya." Dendam batin Afan yang masih menatap jalan Kakaknya.
Sementara Damar, dengan wajah lelahnya ia mencoba bersikap tenang, masuk kedalam seolah sedang tidak terjadi apa-apa.
"Damar... Darimana saja baru pulang?"
ayu itu istrinya damar yang sudah di bunuh mertuanya sendiri kak. lalu Ayu bertransmigrasi ke tubuh Rumi.
sementara Rumi, dia adik angkat Raisa, selingkuhanya Damar. apa masih bingung kak🤗😍
Rumi nich knp jga.