 
                            Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor. 
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain. 
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasar malam
Setelah puas makan mie ayam dan bakso semangkuk sendirian. Ayudia langsung meminta pulang, tapi Linggar katanya ingin pergi ke suatu tempat dulu dan dengan terpaksa Ayudia mengiyakan.
Wanita itu kira Linggar ingin pergi ke tempat yang cukup penting, atau mungkin membeli pesanan keluarganya, kan. Tapi ternyata lelaki itu membawa Ayudia ke alun-alun kecamatan yang di sepanjang jalannya menawarkan berbagai jajanan.
Perut Ayudia yang tadinya begitu begah, seketika terasa kosong. Wanita itu sudah menandai mau beli apa saja begitu Linggar memarkirkan mobilnya.
"Mumpung lagi malam mingguan, sekalian aja kita kencan." Ujar Linggar dengan cengiran lebar.
Ayudia tak menanggapi, wanita itu terlalu terlena dengan banyaknya stand makanan di pinggir jalan. Entah kebetulan atau memang beruntung, ternyata di alun-alun kota sedang ada pasar malam.
"Mau beli?" tawar Linggar begitu Ayudia tak lepas pandangan pada penjual bakso bakar, padahal mereka baru saja memakan bakso kuah, masa wanita itu juga mau bakso bakar? Aneh.
Tapi tak apa, Linggar akan berbaik hati membelikannya kalau Ayudia memang mau.
"Nggak sih, lihat aja. Baunya kayanya enak," tolak Ayudia. Padahal matanya tak lepas memandangi bakso bakar berlumuran saus dan kecap itu, tapi bisa-bisanya dia menolak.
"Yaudah, beli aja." putus Linggar. Lelaki itu peka. Siapa tau pacar ngaku-ngakunya itu malu mau beli bakso bakar, kan.
"Di bilangin enggak usah!" protes wanita itu ketika Linggar menarik tangannya mendekati stand bakso bakar. Tapi bukan hanya ada bakso, ternyata ada sosis dan Frozen food lainnya seperti dumpling, cikua dan lain-lain.
"Beli buat diri sendiri, kok." jawab Linggar dengan tengil. Ayudia sontak merutuk malu. Bisa-bisanya dia kepedean.
"Oh, gitu."
Jujur dari lubuk hati yang paling dalam, Ayudia memang tak ingin bakso bakar itu. Dia lebih tertarik dengan telur gulung yang ada di sebelah stand bakso bakar.
"Aku beli telur gulung, nanti ketemu aja di parkiran." ketika Ayudia hendak melangkah pergi, Linggar seketika menahannya.
"Nggak! Nanti aja bareng, takut kesasar." begitu katanya.
Ayudia mendengkus sebal, memangnya dia anak kecil apa? Tapi, karena dia tak ingin berdebat dengan Linggar lebih lanjut, alhasil menurut. Kalau di pikir-pikir, mereka sekarang seperti sepasang kekasih sungguhan ya?
Pergi berduaan ke alun-alun kota sembari menikmati gemerlap lampu dari berbagai wahana, di temani berbagai macam jajanan yang di beli, duduk bersisihan dengan tangan Linggar yang tak lepas dari pinggang ramping Ayudia.
Mereka seperti pasangan.
Tapi anehnya, Ayudia malah nyaman-nyaman saja.
"Mau ngajak naik kora-kora, tapi takut dedek bayi kita mabok di dalam sana," Linggar menunjuk wahana berbentuk perahu itu dengan tusuk bakso bakar.
Ayudia meliriknya sinis. Lagi-lagi lelaki itu ngaku-ngaku. "Stop halu! Kalau mau punya bayi buat sendiri, nggak ngaku-ngaku punya orang lain."
"Duh, gimana ya? Mau buat sendiri juga yang punya pabrik bayinya lagi penuh, udah keisi sama punya mantan suaminya." ucap Linggar dengan santai.
Yang tak santai Ayudia, wanita itu langsung mencubit paha Linggar yang di lapisi celana jeans. "Gila!" rutuk Ayudia. Linggar menanggapinya dengan tawa cekikikan.
"Kalo pabrik lagi penuh gitu, bisa nggak sih di buat berproduksi lagi? Nggak apa-apa deh kalau dibuang di luar juga. Soalnya —ADOOWWH!" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Linggar lebih dulu menjerit heboh ketika merasakan sakit di area pahanya.
Yap, Ayudia dengan tak berperasaan menusuk paha Linggar dengan tusuk telur gulung di bagian lancip. Rasanya paha Linggar bolong saking sakitnya.
"Sakit loh, mbak. Kalo bolong gimana?" Linggar meringis-ringis, bahkan lelaki itu sedikit membuat jarak di antara keduanya.
Ayudia tak mengira kalau refleksnya bisa sekuat itu, dia bahkan tak sadar sudah menusuk paha Linggar karena dia kira itu bakso. Wkwk.
"Yaa maaf! Lagian kalo ngomong jangan ngaco deh, aku perempuan yah, kamu kalo bicara sembarangan kaya gitu lagi bisa aku laporkan sebagai tindak pelecehan, loh!" ancam Ayudia.
Linggar mengaduh sekali lagi, lelaki itu masih mengusap-usap pahanya yang terasa nyut-nyutan. "Galak!" Dumel Linggar.
Sebenarnya Ayudia sedikit tak tega dengan Linggar yang terus mengusap-usap pahanya dengan ringisan kecil. Mungkin dia menusuknya terlalu dalam kali ya, sampai lelaki itu kesakitan.
"Mana yang sakit, sini lihat!" Ayudia memutuskan untuk bertanggung jawab. Dia ikut mengusap di titik sakit menurut Linggar. Bisa dia lihat kalau jeans di bagian itu memang sedikit berlubang dengan noda saus.
"Ke mobil aja, terus buka celananya biar gampang di obatin." Ajak Ayudia entah sadar atau tidak kalau ucapannya itu membangkitkan jiwa nakal Linggarjati. Ditambah wanita itu juga mengusap-usap pahanya dengan lembut.
"Yakin nih? Udah nggak sabar ya mau lihat ..." Linggar menunjuk tengah-tengah kakinya dengan isyarat mata. Sontak Ayudia menggeplaknya kesal.
"Bisa serius nggak!?"
Linggar terbahak keras sampai beberapa pasangan yang tak jauh dari mereka menoleh penasaran. Sementara Ayudia semakin di buat cemberut. Wanita itu berdiri, siap meninggalkan Linggar kalau saja lelaki itu tak tanggap meraih lengannya.
"Mau kemana?"
Ayudia melipat kedua tangannya di depan dada, "Pulang, lah!" jawabnya ketus.
Kening Linggar berkerut, lelaki itu melirik jam tangannya. "Masih juga jam delapan, beneran mau balik sekarang?" tanya-nya meyakinkan.
"Padahal jarang loh bisa pergi ke kecamatan, mana jauh juga kan dari rumah. Yakin nggak mau lihat-lihat dulu?" imbuh Linggar memanas-manasi. Dia kira bakal mempan, ternyata Ayudia memang keras kepala.
"Nggak! Lagian perjalan dari sini kerumah jauh, nanti kemaleman, lagi!" ucap Ayudia seolah mengingatkan Linggar. Lelaki itu akhirnya setuju untuk pulang.
Selain karena alasan jauh, Linggar juga baru ingat kalau Ayudia sedang mengandung. Tidak baik bepergian sampai malam membawa ibu hamil, takut ada apa-apa di jalan.
Dengan perlahan namun pasti, Linggar mengendarai mobilnya menuju desa. Beruntung karena dia memutuskan membawa mobil, coba saja dia nekat membawa motornya, pasti sudah kalang kabut dia sekarang. Terlebih kalau hujan, kan makin repot.
Baru juga di bilang, hujan tiba-tiba turun dengan begitu derasnya tanpa aba-aba apapun. Mereka masih setengah jalan, dan sialnya sudah memasuki area hutan yang gelap.
"Berhenti dulu, ya?" kata Linggar. Dia tidak mau mengambil resiko, terlebih hujan juga sangat deras sampai suara mereka tak terdengar di telinga.
"Deres banget," cicit Ayudia. Linggar yang tak mendengarnya lalu berteriak, "APA?" lelaki itu benar-benar tak bisa mendengar suara Ayudia dengan jelas.
Wanita di sebelahnya itu mendekat ke arahnya, lalu berucap. "Deres banget!" dengan sedikit memekik.
Linggar angguk-angguk, kemudian keduanya diam menikmati pemandangan hujan yang menutup akses penglihatan. Bulu-bulu halus Ayudia sontak berdiri ketika melihat hutan yang begitu menyeramkan. Wanita itu melepas seatbelt dan meringkuk kearah Linggar.
Linggar yang peka segera menggenggam erat tangan Ayudia, beruntungnya wanita itu tak menolak. "Takut?" tanya Linggar tepat di depan telinga Ayudia. Wanita itu menoleh dan mengangguk, tak berani menatap kesamping dimana hutan terlihat sangat menyeramkan.
"Mau pelukan nggak?"
Heh!
