 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 RENCANA
Di waktu yang bersamaan dan tempat yyang berbeda. Ansel merasa senang karena Bannesa datang mengunjunginya dengan keranjang besar berisi roti kukus. Bocah kecil itu
bahkan tidak bisa menahan senyumnya dan mengambil satu roti kukus dari keranjang itu dengan malu-malu.
"Kupikir kau sudah melupakannya. Terima kasih," ujar Ansel sebelum mengigit roti kukus. Bannesa tersenyum ketika melihatnya. Bocah kecil itu terlalu menggemaskan. Bannesa jadi tidak tahan untuk tidak mengusappuncak kepalanya.
"Ayahku meminta pelayan membuatkan 100 roti kukus untukmu, tetapi kupikir itu terlalu banyak. Maka dari itu aku hanya membawa beberapa puluh. Sisanya aku berikan kepada pelayan di dapur yang memasaknya," ungkap Bannesa dengan jujur. Padahal Bannesa meminta ayahnya
untuk membuatkan roti kukus sebanyak 50. Namun, ketika Bannesa pergi ke dapur untuk memeriksa roti kukus pesanannya, dia menyaksikan satu panci besar berisi roti kukus di sana. Kepala pelayan pun mengatakan
padanya, bahwa roti kukus di dalam panci itu berjumlah 100 biji.
"Kalau begitu, dapatkah kau membawakanku roti kukus ini setiap hari?" tanya Ansel dengan mata berbinar. Mulut mungilnya masih terlihat mengunyah dengan perlahan. Bannesa terkejut dengan pertanyaan ini. Dia ingin mengatakan bahwa itu sedikit merepotkan. Namun, Bannesa tidak tega untuk mengatakannya.
"Err.... Baiklah. Aku akan membawakanmu roti kukus setiap
hari." Akhirnya Bannesa hanya bisa menyetujuinya dengan enggan. Sayang sekali Ansel tidak dapat menangkap
keengganan itu. Jadi bocah kecil itu sangat senang ketika Bannesa menyetujui permintaannya.
"Bagus. Terima kasih!" Serunya sambil mengambil satu roti kukus lagi dari keranjang. Bocah kecil itu melahapnya dengan gembira. Sementara Max, pemuda itu tidak tahu sama sekali mengenai permintaan konyol apa yang telah diminta putranya kepada putra penguasa wilayah ini. Setelah mengantarkan Tuan Alfons menggunakan kereta kudanya, Max kembali ke penginapan Bugenvil dengan keringat tipis di sekitar wajah tampannya. Dia membersihkan wajah dengan sapu tangan bermotif bunga
yang pernah Bannesa berikan padanya. Mengenai Bannesa, Max baru mengingat bahwa anak laki-laki itu saat ini sedang menemui Ansel di kamarnya. Sebelum Tuan Alfons
diantar pulang, seorang pelayan wanita yang Max duga berasal dari kediaman Duke Froger datang dengan sekeranjang besar berisikan roti kukus dan memberikannya pada Bannesa. Anak laki-laki itu pun merasa senang,
lalu segera bergegas menanyakan keberadaan Ansel. Bannesa berniat tinggal untuk bermain dengan bocah
kecil itu. Max tidak bisa menghentikannya, apalagi Tuan
Alfons. Beliau pun mempercayakan keponakannya di bawah pengawasan Max.
Saat berada di depan pintu kamarnya, Max menghentikan niat untuk masuk dan beristirahat. Dia tidak ingin menggangu Ansel yang sedang bermain dengan Bannesa. Dari depan saja, Max samar-samar dapat mendengar gelak tawa mereka. Tanpa sadar pemuda tampan itu pun tersenyum kecil di sudut bibirnya. Dia melanjutkan langkah menuju kamar sang ibu yang berjarak tiga kamar dari kamarnya. Setelah mengetuk, Riana pun membukakan
pintu dan mempersilakan putranya untuk masuk. Max segera masuk dan duduk di kursi empuk yang berada di
sudut ruang kamar.
"Ibu, mari kita bicarakan beberapa hal," ujar Max kemudian.
Riana tidak tahu apa yang ingin putranya bicarakan. Namun, dia tetap mengangguk dan mengambil posisi untuk duduk di seberang Max.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Riana dengan sikap santai. Max pun tidak membuang waktu, dia segera mengatakan isi pikirannya.
"Sekarang kita sudah menjadi penduduk legal di wilayah ini. Apa yang ingin Ibu lakukan? Apa Ibu ingin berjualan makanan atau apa? Katakan padaku." Max berucap dengan nada biasa. Namun, terdengar desakan di telinga sang ibu.
Riana sedikit mengernyitkan dahinya. Dia juga sudah memikirkan hal ini. Riana tidak ingin menyaksikan anaknya bekerja seorang diri. Selagi dia masih sehat, Riana telah berencana untuk melakukan beberapa pekerjaan. Baik itu pekerjaan biasa ataupun kasar. Namun, dia tidak menyangka Max akan menanyakan dia ingin melakukan apa.
Seperti Max akan mengabulkan apa saja keinginannya.
"Mungkin Ibu bisa bekerja sebagai pelayan di kediaman sebuah keluarga besar," ujar Riana dengan gamang. Max segera menggeleng tegas.
"Tidak. Ibu tidak boleh melakukan hal itu. Kita di sini untuk memperbaiki hidup bukan untuk menderita. Jika Ibu tidak ingin melakukan apa-apa tidak masalah. Aku akan mengurus
semuanya. Ibu hanya perlu mengatur segala urusan di rumah baru kita." Riana nyaris tersedak ketika mendengar putranya yang sangat pendiam tiba-tiba berbicara panjang
lebar padanya. Terlebih nadanya sedikit terdengar memaksa. Sejujurnya, Riana masih belum mengerti apa yang ingin Max lakukan di wilayah ini. Riana selalu berpikir, bahwa kemungkinan alasan Max pindah ke wilayah Utara tidaklah sesederhana mencari kerja dan memperbaiki kehidupan. Mengingat hal ini, Riana tidak bisa tidak merasa
cemas.
"Kamu sendiri, apa yang ingin kamu lakukan? Sudahkah kamu memikirkannya?" Riana bertanya balik, tanpa mengindahkan ucapan Max sebelumnya.
"Aku ingin membeli beberapa hektar tanah untuk berladang, lalu mempekerjakan beberapa orang untuk mengurusnya. Sebagian besar hasil panen kita akan menjualnya," jelas Max dengan nada meyakinkan. Dia sudah memikirkan matang-matang mengenai langkahnya di wilayah ini. Pertama, Max akan membangun kekayaannya secara perlahan, kedua dia akan mulai mengumpulkan beberapa informasi penting terkait dengan rencananya, ketiga barulah dia akan perlahan menggunakan sumber daya yang ia miliki untuk mengumpulkan kekuatan. Setelah itu semua, Max sudah memikirkan rencananya ke depan. Dia akan melakulkan secara perlahan dan berjanji akan menunjukkan neraka dunia kepada Julius dan Kekaisaran Zenos.
"Baiklah. Kalau begitu, mari kita berladang. Ibu akan mengikuti semua keputusanmu," ujar Riana kemudian.
"Aku juga berencana untuk membuat sesuatu dan menjualnya," tambah Max sembari menghela napas singkat.
"Apa yang ingin kamu buat?" tanya sang ibu dengan dahi berkerut. Dengan tenang, Max kembali menjelaskan rencananya kepada sang ibu. "Aku sudah berkeliling hampir ke semua toko yang ada di ibu kota ini. Rata-rata mereka menjual gula yang terbuat dari madu. Itu pun jenis gula batu. Tidak ada yang memproduksi gula dari tebu atau mungkin mereka memang tidak mengetahui cara membuatnya."
"Jadi, kamu berencana memproduksi gula tebu? Apa kamu
tahu cara membuatnya?" Belum selesai Max menjelaskan, Riana telah menyelanya. Riana tidak menyangka putranya
akan memiliki pemikiran seperti itu. Dulu, Riana juga pernah mendengar tentang gula tebu dari almarhum ayahnya. Namun, itu sudah sangat lama. Ayahnya juga mengatakan proses pembuatannya cukup rumit hingga tidak ada yang mau memproduksinya. Mendengar pertanyaan sang ibu,
Max mengangguk kecil. Sesungguhnya pengetahuan mengenai pembuatan gula tebu Max peroleh dari kehidupan
sebelumnya. Di kehidupan sebelumnya, Max tidak sengaja menyelamatkan seorang nenek dari serangan kelabang raksasa. Meski Max berhasil menyelamatkan wanita tua itu, sang nenek tetap meregang nyawa akibat racun mematikan dari binatang buas yang menyerang itu. Saat itu Max tidak tahu siapa keluarga dari sang nenek. Dia pun menguburkan wanita tua itu di di bawah pegunungan. Ketika Max
memeriksa keranjang bambu yang dibawa nenek itu, Max nmenemukan sebuah buku usang dan sebotol serbuk putih dengan rasa manis. Karena rasa penasaran, Max pun
membaca buku tersebut dan tidak menyangka bahwa yang dia baca adalah cara mengolah tebu menjadi gula pasir.
Namun, sayang, pada kehidupan itu Max tidak dapat mencobanya karena terlalu sibuk memenuhi permintaan
membunuh, hingga lambat laun Max telah melupakan apa yang sudah ia baca. Buku itu pun hilang entah ke mana.
Di kehidupan kali ini, Max mengingat dengan jelas kenangan itu. Dia pun berencana untuk mencobanya. Namun, dalam hati dia merasa sedikit tidak enak, karena nenek itulah yang
telah mengembangkan cara mengolah tebu menjadi gula pasir. Max merasa seolah dia telah mengambil pencapaian
orang lain bahkan sebelum orang itu mencobanya. Untungnya, perasaan ini dengan cepat menghilang. Jadi Max
tidak terlalu terbebani dengan rasa bersalah.
"Ya. Aku tahu cara sederhana untuk membuatnya. Apa Ibu akan mendukung keputusanku?" tanya Max di akhir kalimatnya. Riana terlalu senang mendengar hal ini. Meski merasa sedikit janggal mengenai dari mana anaknya
mengetahui hal itu. Namun, Riana tidak menanyakannya karena dia percaya pada sang putra.
"Baiklah. Lakukan apa yang kamu inginkan. Ibu akan mendukungmu."
***
