Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Galau
*Yosep*
Hari ini hasil tes itu keluar. Aku sangat gelisah. Di kelas pun aku tak lagi bisa konsentrasi. Terus terang, aku ingin pelajaran ini segera berakhir. Sehingga aku bisa melenggang ke rumah sakit, tempat kami menyerahkan sampel untuk diteliti.
Namun sayang, kabar terakhir yang kuterima bahwa baru sore nanti hasil tes DNA itu keluar. Ah, mengapa harus ditunda. Tak tahu kah bahwa aku tak terbiasa untuk menunggu. Haruskah aku mulai untuk menerapkan hakikat hidup yang biasa digunakan orang tua, sabar dan bersabar sambil mengelus dada. Bagiku itu adalah hal yang paling membosankan.
Tak ada salahnya kalau sedikit menghibur diri di ruang music. Memetik gitar atau biola yang biasa ku gunakan untuk mengusir galau di rumah.
Tak sangka aku tak sendiri. Ayu dan Rena sudah mendahuluiku. Mereka begitu asyik bermain musik. Sehingga tak menyadari kedatanganku.
Mata Ayu pun sampai terpejam saat mengalunkan sebuah lagu dengan jari-jemarinya tak berhenti menekan tuts-tuts piano. Begitu juga dengan Rena. Dengan dua stik di tangannya, dia mengiring Ayu yang mendendangkan sebuah lagu dengan suaranya yang merdu mendayu.
Setelah ijin pada pengelola ruangan, aku pun diam-diam mengiringi alunan lagu yang sedang mereka mainkan dengan sebuah alat musik biola.
“Yosep,” kata mereka hampir bersamaan. Mereka pun menghentikan permainan musiknya.
“Kenapa berhenti?” tanyaku.
“Karena ada kamu, nggak asyik.”
Ayu mulai lagi mengajakku ribut. Tak apalah, karena itu yang aku suka. Hanya dia yang sama sekali tak terpengaruh dengan pesonaku. Mungkinkah dia telah tahu kalau aku saudaranya?
“Aku sedang galau. Aku ingin bermain music. Tak bisakah aku gabung dengan kalian,” tanyaku memohon, tentu dengan hati yang sendu membiru.
“Oh… galau…Jangan-jangan sedang putus cinta,” kata Ayu setengah mengejek.
Ucapan Ayu sangat menyentuh karena pas banget dengan apa yang kurasakan saat ini. Kayaknya, dia sengaja menyindirku, deh. Aku memang sedang putus cinta. Ada larangan keras dari Mama. Tak boleh berharap lagi akan bisa mencintai Ayu. Tapi awas kalau dia bukan adikku, aku tak akan berhenti sebelum mendapatkannya.
Tapi kalau dia memang adikku, cinta ini akan lebih mendalam dan bermakna. Cinta tulus dari Kakak terhadap adik, bukan lagi kisah cinta dalam roman picisan.
“Mau request lagu apa, Kakak yang lagi galau?” tanya Ayu dengan tertawa kecil. Giginya yang putih tampak berjejer rapi sehingga membuatku makin terpesona.
“Lagu slow rock saja, gimana? Biar dapat semua. Ayu dapat slow dan memang kesukaannya yang aku sampai bosan mengiringinya. Aku dapat rock-nya. Irama kesukaanku yang membangkitkan semangat,” usul Rena dengan mata berbinar.
“Lha, aku dapat apanya?” protes ku. Karena aku tidak termasuk dalam pertimbangannya.
“Kamu dapat dua-duanya lah. Nggak boleh lama-lama galau meski sedang putus cinta. Harus tetap bersemangat," kata Ayu.
Hahaha…
Terus terang aku tak bisa menahan tawa. Para perempuan ini sungguh unik. Mengapa hal sepele begini dibuat rumit. Memilih lagu saja harus diputuskan dengan pertimbangan yang jelimet. Harus memperhatikan pandangan setiap orang.
“Ada-ada saja, kalian ini. Tapi baiklah. Lagu apa, nih?”
“Bukit berbunga saja, versi slow rock.”
“Okelah.”
Tik… tik… tik… jreng….
Musik piano, biola dan drum serentak berbunyi mengiringi Rena, sang biduanita. Meski bukan Indo, ternyata dia fasih juga mengalunkan lagu Indo.
Untuk lagu selanjutnya giliran Ayu menjadi sang biduanita. Dia memilih lagu dengan judul “When You Tell Me That You Love Me.” Lagu lawas yang sangat terkenal. Kalau tak salah lagu era zaman mamak masih remaja, tahun 90-an. Dari mana juga ia mendapatkannya. Aku jadi curiga kalau lagu itu ia dapatkan dari papanya. Maaf, kalau aku agak over thinking.
Tak apa kan kalau aku curiga, sebab aku masih belum bisa menerima kalau dia yang menyematkan perhiasan ke Ayu adalah papanya. Apa aku perlu melakukan tes DNA pada mereka berdua? agar aku tak lagi diliputi rasa curiga.
Oh, tidak… itu melanggar privasi. Ya, kalau mereka rela. Kalau tidak, akan membuat diriku dalam masalah.
Meski dengan seribu pertanyaan dan prasangka tentang lelaki itu, namun semua tak bisa membuyarkan konsentrasi ku untuk mengiringi alunan lagunya. Apalagi Ayu memiliki suara tinggi dan merdu. Membuat diriku makin bersemangat.
Sampai lagunya berakhir, telingaku pun masih terngiang-ngiang oleh suaranya yang indah.
“Sekarang giliran kamu, Yosep,” kata Rena.
“Lho, aku juga tho?”
Mereka tak menyahuti, namun sebagai gantinya mereka memandangku dengan tatapan yang tajam dan mengintimidasi. Membuat diri ini bergidik dan menyerah. Dalam hati aku masih sempat mengumpat, “Dasar kalian, para wanita.”
“Oke. Aku akan membawakan sebuah lagu yang berjudul Choose To Stop Loving,” kataku dengan gaya seorang MC professional.
Huaa...ha…ha…ha….
Mereka tertawa terbahak-bahak. Serba salah, kan. Mereka menyuruhku menyanyi, tapi belum juga aku menyanyi mereka sudah mentertawakan ku. Kalau begini, membuat kepercayaan diriku menghilang, deh.
“Bener nih, dengan lagu itu?” tanya Ayu dengan penuh kecurigaan.
“Lha… memang benar.”
“Rupanya sang play boy sudah bertobat,” ucapnya dengan senyum, namun ekor matanya melirik ke arahku.
Mereka ini ada-ada saja. Apa salahnya jika aku menyanyikan lagu itu.
“Jadi nggak nih…” ucapku agak jengkel karena tawa dan senyum mereka yang tak berhenti.
“Oke…oke…” jawabnya sambil menarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala. Ia pun kembali konsentrasi dengan tuts-tutsnya.
Begini kan lebih baik. Dan akhirnya, tik…tik…tik…jrengg….
***
Memainkan lagu bersama mereka sangat menyenangkan. Sampai beberapa lagu pun masih kurang. Kalau bukan karena ada teguran dari petugas ruangan music, mungkin aku tak akan berhenti mengajak mereka bermain music. Tapi sudahlah, memang waktunya sudah habis. Karena ruangan akan digunakan untuk pelajaran gamelan.
“Kapan-kapan kita main lagi ya,” ajak Rena. Dia yang dari awal tampak antusias dengan permainan music kita.
Aku dan Ayu hanya tertawa. Karena minggu besok kita sudah disibukkkan dengan ujian dan ujian. Setelah itu mungkin kita focus pada persiapan untuk memasuki perguruan tinggi. Tak ada lagi kesempatan untuk bermain musik bersama.
“Mungkin saat liburan sebelum kita masuk ke perguruan tinggi,” kata Rena mencoba bernegosiasi.
“Boleh.” Aku segera menimpali. Kasihan juga kalau memupuskan harapannya yang tak seberapa ini. Tapi tak tahu apakah bisa dilaksanakan atau tidak. Yang pasti selama ujian kita tak mungkin masuk ke ruang music lagi.
“Ya. Boleh,” jawab Ayu tak bersemangat.
Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ada sebersit kegundahan atau kesedihan dibalik wajahnya yang selalu tersenyum. Meski celotehannya tampak sangat tenang dan penuh canda, tapi aku merasakan dia tak baik-baik saja sejak di ruang music tadi.
“Ada denganmu, Ayu?” tanyaku.
“Tak ada apa-apa.”
“Kamu bohong.”
Dia pun menarik nafas panjang.
“Papa sekarang ada di sini. Tapi ia tak bisa menemuiku, dia sibuk. Padahal aku rindu,” ucapnya dengan wajah sendu.
Jadi ini yang membuatnya sendu kelabu macam ini. Itu masalah gampang, mudah diselesaikan.
“Temui saja di tempat dia menginap.”
“Aku takut bibi akan marah, dan papa tak suka.”
“Sudah ijin?”
“Belum.”
“Ijin dulu, jangan menduga yang nggak-nggak.”
“Baiklah. Tapi kalau nggak boleh, bolehkah aku minta tolong ke kamu untuk mengantarku ke hotel, tempat papa menginap?”
“Nah, gitu dong. Sekali-kali kabur lah. Kamu akan merasakan bagaimana asyiknya kabur,” kata Rena.
Dasar Rena, setan mana yang membisikinya sehingga dia berani-beraninya untuk mengajak Ayu main kabur-kaburan segala. Untung saja Ayu tak pernah terpengaruh.
“Bagaimana Yosep. Apakah kamu mau mengantarku?”
“Baiklah, tapi kamu ijin dulu ke tantemu. Masalah diijinkan atau tidak, itu masalah nanti. Aku siap membantumu, kok.”
“Terima kasih, Yosep.”
“He…eh,”
Dari pada nanti dia kabur dengan Rena yang aku tak tahu akan dibawa kemana, lebih baik bersama denganku. Dan ini merupakan kesempatan bagiku untuk membuktikan sangkaan ku selama ini, bahwa Ayu bukan putri dari lelaki yang selalu dipanggil nya "Papa".
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.