Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7.
Secara tiba-tiba, angin berdesir kencang. Tirai jendela berkibar liar, seperti tangan tak terlihat yang mengguncangnya. Aroma cerutu menguar kuat, menusuk hidung Kodasih. Aroma yang sangat dikenalnya. Aroma cerutu milik Tuan Menir.
Kodasih tersentak. Ia beranjak dari duduknya, tubuhnya gemetar.
"Tuan...? Kau di sini...?" bisiknya, nyaris tak terdengar.
Lampu minyak berkedip kedip. Lalu, dari bayangan di cermin, ia melihatnya. Sosok tinggi besar, gagah dengan jas kolonial dan topi bundar berdiri di belakangnya. Wajahnya pucat, matanya kosong, namun dari sorotnya terpancar bara kemarahan.
"Kau sudah tak mencintaiku, Kodasih?" suara itu berat, bergema seperti dari dalam sumur tua.
Kodasih berbalik cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Ruangan kosong. Cermin bergetar pelan. Namun aroma cerutu itu tetap menggantung di udara.
"Aku sudah memberikan segalanya padamu... Kamu pun ingin aku tetap di sini. Tapi sekarang kau ingin lelaki lain?" suara itu kembali terdengar, kali ini dari atas langit-langit.
Kodasih menjerit, bangkit berdiri dan berlari keluar kamar. Tapi pintu kamar loji tertutup rapat, seolah digembok oleh tangan tak kasat mata. Dinding loji bergetar. Dari celah kecil di jendela tampak, pohon-pohon di halaman bergoyang liar meski tak ada badai.
Kodasih menoleh ke arah dinding kamar..
Lukisan besar Tuan Menir mulai merembes darah dari sudut matanya. Darah itu menetes perlahan, menyatu dengan lantai ubin kelabu yang telah lama menyimpan rahasia.
Kodasih kembali menjerit sekuat tenaga.. Minta tolong pada Mbok Piyah dan Pak Karto, suara nya bergema di seluruh loji besar itu..
Sementara itu Mbok Piyah yang berada di kamar bersama suaminya. Kamar yang berada di belakang. Kamar khusus untuk babu babu. Mendengar suara jeritan Kodasih..
“Pak, Nyi Kodasih menjerit minta tolong.. Bangun Pak.. aku takut..” ucap Mbok Piyah pelan membangunkan suaminya yang telah tidur.
Mbok Piyah pelan pelan bangkit dari tidurnya. Dia duduk di tepi tempat tidur. Hatinya gelisah, ingin mendatangi Kodasih yang menjerit minta tolong. Namun sebagian hatinya takut akan hantu Tuan Menir.
Pak Karto yang kecapekan sudah tertidur, di antara sadar dan tidak dia memang mendengar suara jeritan Kodasih..
Pak Karto membuka kedua matanya karena paha nya ditepuk tepuk oleh istrinya..
“Aku kira aku mimpi Mbok. Apa benar Nyi Kodasih minta tolong?” ucap Pak Karto kedua matanya berkedip kedip..
“Iya Pak, dengar itu dia masih minta tolong.. kok seperti ketakutan ya..” ucap Mbok Piyah sambil menoleh ke arah sumber suara. Kamar Kodasih.
“Kenapa dia ketakutan. Bukannya dia sudah dijaga oleh arwah Tuan Menir?” gumam Pak Karto mau tak mau dia bangkit dari tidurnya..
“Dia itu aneh, arwah Tuan Menir tidak boleh pergi dari sini. Tapi sekarang dia ketakutan sendiri.” Gumam Mbok Piyah yang nada dan ekspresi wajahnya tampak campur aduk antara heran, takut juga kesal pada Kodasih yang tidak mau arwah Tuan Menir pergi.
Pak Karto meraih lampu minyak dari meja kecil di sudut kamar. Api kecil di sumbu itu berkedip, seperti ikut gelisah. Ia menggenggam gagang lampu erat-erat, lalu menoleh pada istrinya.
"Ayo, kita lihat. Tapi pelan-pelan saja, jangan sampai bikin marah... dia," bisiknya pelan.
Mereka keluar dari kamar, menyusuri lorong sempit yang remang-remang. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas lantai ubin berwarna kelabu. Di ujung lorong, kamar Nyi Kodasih tampak seolah diselimuti kabut tipis. Udara di sekitar pintunya dingin dan lembap. Suara jeritan telah berganti menjadi isak tertahan.
Pak Karto mengulurkan tangan, hendak mengetuk pintu, namun sebelum jarinya menyentuh kayu, pintu itu terbuka perlahan dengan sendirinya, berderit seperti mengeluh.
Ruangan gelap, hanya diterangi cahaya dari lampu minyak mereka. Mbok Piyah menggigit bibir. Di tengah ruangan, Kodasih terduduk di lantai, tubuhnya membungkuk, rambutnya menjuntai menutupi wajah. Bahunya terguncang.
"Ny... Nyi Kodasih?" panggil Mbok Piyah pelan.
Kodasih tak menjawab. Tapi perlahan, ia menoleh. Matanya merah, bukan karena tangis
"Dia... dia marah... karena aku .. aku... " bisik Kodasih lirih tidak berlanjut.
Mbok Piyah mundur setapak. Pak Karto berdiri kaku. Lampu di tangannya bergetar.
"Apa... maksud Nyi Kodasih? Siapa yang marah?" tanya Pak Karto, meski dalam hati ia tahu jawabannya.
Tiba-tiba, lukisan Tuan Menir di dinding mengelupas. Bukan catnya, melainkan lapisan kanvas itu sendiri, seperti dicakar dari dalam. Tetesan darah menetes makin deras. Darah itu mengalir turun ke lantai ubin kelabu.
Pak Karto dan Mbok Piyah terpaku. Sedangkan tubuh Kodasih langsung tergeletak di lantai ubin warna kelabu itu. Pingsan.
Mbok Piyah menggigil tubuhnya memeluk suaminya..
“Kita bawa Nyi Kodasih keluar dari kamar ini.” Ucap lirih Pak Karto dengan suara gemetar.
Dengan tubuh gemetar dan dingin. Pak Karto dan Mbok Piyah mencoba mengangkat tubuh Kodasih. Terasa begitu berat tubuh perempuan muda itu.
Keringat dingin mulai bercucuran di tubuh Pak Karto dan Mbok Piyah..
Mbok Piyah yang merasa tidak kuat lalu berteriak teriak memanggil teman temannya..
“Di... Nah.. Yem...” teriak Mbok Piyah sekuat tenaga..
“Tolong....!!” teriak Mbok Piyah lagi.
Suara teriakan Mbok Piyah menggema di seluruh loji, namun yang terdengar sebagai balasan hanyalah kesunyian. Tidak ada jawaban dari orang orang yang dipanggil oleh Mbok Piyah. Padahal kamar mereka hanya berjarak dua lorong dari situ. Harusnya mereka mendengar..
Pak Karto menatap istrinya, napasnya terengah. “Kenapa mereka tidak menjawab…? Biasanya Tiyem paling cepat lari.”
Mbok Piyah menatap ke arah lorong yang gelap. “Aku takut Pak… Jangan jangan…”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara langkah kaki... pelan... teratur... seperti tumit sepatu kulit menjejak lantai ubin kelabu dari ujung lorong.
Pak Karto langsung menyorotkan lampu minyak ke arah suara itu, namun yang terlihat hanyalah bayangan. Sosok tinggi besar berdiri diam di ujung lorong, siluetnya seperti mengenakan jas panjang dan topi bundar. Wajahnya tak terlihat, hanya matanya... dua titik merah membara menyala dari dalam gelap.
Mbok Piyah menjerit. Lampu minyak di tangan Pak Karto hampir terlepas, tapi ia berhasil menggenggamnya erat.
“Ampun… ampun Tuan… kami cuma mau bantu Nyi Kodasih,” lirih Pak Karto, suaranya pecah.
Namun bayangan itu tak bergerak. Malah, suara berat Tuan Menir kembali terdengar, kali ini seperti berasal dari seluruh penjuru loji:
“Kalian semua ingin mencuri dia dariku... Kodasih hanya milikku. DIA SUDAH BERJANJI...”
Tiba-tiba, dari plafon, darah mulai menetes deras. Menimpa tubuh perempuan muda itu yang terbaring tak sadarkan diri. Darah mengalir menyusuri ubin, membentuk pola aneh, mirip tulisan atau simbol kuno yang tak dikenali.
Pak Karto panik. Ia mencoba mengangkat tubuh Kodasih sekali lagi, tapi terasa seperti mengangkat batu besar. Mbok Piyah yang setengah menangis berusaha menghapus darah dari wajah Kodasih, tapi darah itu seperti melekat, tak bisa dihapus.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk