Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbal Perasaan
Hujan gerimis masih turun tipis ketika Juan menghentikan mobil hitamnya di seberang rumah Reyhan. Ia menatap layar ponselnya dengan ekspresi waspada.
"Bos Vin bilang suruh ngecek keadaan nona Adelia … tapi kalau gue masuk tiba-tiba kayak maling, gimana kalau dikira perampok? Aduh, repot nih!" gumamnya sambil menggaruk kepala.
Juan turun kembali dari mobil, menyampirkan hoodie ke kepalanya. Langkahnya ragu mendekati pagar rumah itu. Suara rintik hujan bercampur dengan degup jantungnya.
"Oke, Juan … lo cuma mau ngecek doang. Nggak usah paranoid. Santai kayak di pantai."
Namun ketika mendekat, ia melihat pintu rumah sedikit terbuka.
"Eh buset… pintu rumah kok nggak dikunci? Ini mah udah tanda-tanda horror, Bro!" bisiknya sambil celingukan.
Juan mendorong pintu pelan-pelan hingga celah terbuka. Matanya menajam, mencari tanda-tanda bahaya. Tapi yang terdengar hanya suara napas teratur Adelia yang tertidur di dalam kamar.
"Delia … lo nggak kenapa-kenapa, kan?" gumamnya pelan. Ia maju selangkah lagi, tapi malah menginjak mainan bayi di lantai.
"Crak!"
Juan langsung lompat mundur, panik sendiri. "Wah mampus! Gue bikin suara. Kalau Reyhan ada di rumah terus nangkep gue, bisa dikira maling! Aduh … Bos Vin, kenapa nyuruh gue misi gila gini sih."
Ia memberanikan diri melongok ke dalam kamar. Dari jauh, ia hanya melihat Adelia tertidur pulas dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dagu.
"Syukurlah … kayaknya dia nggak sadar apa-apa."
Tapi saat Juan hendak memastikan keadaan, langkahnya malah tersandung ujung karpet.
"Brukk!”
"Anjir karpet sialan...," gumamnya keras. Sambil berdiri lagi dengan napas terengah, Juan mengeluarkan ponsel dan menelepon Vincent.
"Halo, Bos Vin! Gue udah ngecek rumahnya."
"Gimana keadaannya?" suara Vincent terdengar dingin di seberang.
"Delia aman, Bos. Gue liat dia tidur pulas kayak bayi. Nggak ada yang aneh … eh tapi tadi pintu rumahnya nggak dikunci, sebelum gue sampe. Mungkin ulah tu dua orang tadi. Gue coba kejar, tapi ya … lo tau lah, Bos, kaki gue kejepret batu. Kalah cepat dah!"
"Goblok!" bentak Vincent. "Kalau ada apa-apa sama dia, gue potong gaji lo!"
"Waduh, Bos … jangan gitu dong. Gue udah jungkir balik demi nyelamatin Nona Delia. Tapi tenang aja … sekarang dia aman."
"Pastikan terus aman. Gue nggak mau ada drama bodoh lagi."
"Siap, Bos. Gue jagain dari jauh nih. Mau gue nginep di mobil sekalian?"
"Ya kalau nggak mau mati, ya lakuin aja."
Juan—pria tampan khas Pakistan usia tiga puluhan yang super random itu mendesah pasrah.
"Demi gaji lancar, gue rela deh jadi bodyguard bayangan."
Pagi harinya Reyhan kembali. suasana di rumah terasa dingin. Ia duduk di meja makan menatap layar ponselnya—foto yang dikirim Emma terpampang jelas: seorang pria tertidur di ranjang, selimut menutupi hingga dagu, dan Adelia di sampingnya.
Reyhan mengepalkan tangan. "Jadi ini harga kesetiaanku? Delia … kenapa kamu bisa serendah ini. Apa mungkin dia—Vincent, pria yang sedang dekat dengannya sekarang?"
Saat Adelia keluar dari kamar dengan senyum lembut, membawa roti panggang hangat, Reyhan hanya melirik dingin.
"Rey, kamu nggak mau sarapan lagi denganku? Aku buatkan teh juga biar nggak terlalu berat di pagi hari."
"Taruh aja di meja. Aku nggak lapar," jawab Reyhan datar tanpa menatapnya.
Adelia terdiam, senyum di wajahnya perlahan pudar.
Adelia menata kemeja kerja Reyhan seperti biasa. Ia menggantungkan jas hitam di dekat pintu kamar, memastikan dasi favorit Reyhan sudah disiapkan di atas meja rias.
Namun Reyhan hanya berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ponsel di genggamannya masih memunculkan foto 'pengkhianatan' yang dikirim Emma semalam.
'Apa benar kamu sebersih itu, Del? Atau aku yang sudah buta sejak awal?' batinnya bergejolak.
"Rey…" panggil Adelia pelan. "Kemejamu sudah kusiapkan. Mau aku setrika lagi?"
"Nggak usah." Suara Reyhan datar, tanpa intonasi.
Adelia menggigit bibir, mencoba menahan air mata. Sudah beberapa hari ini sikap Reyhan semakin menjauh. Bahkan menyentuh tangannya saja, Reyhan enggan.
"Kalau ada yang mengganjal, kamu bisa bicara padaku, Rey. Jangan hanya diam seperti ini setiap waktu," ucapnya hati-hati.
Reyhan menoleh sekilas, tatapannya tajam menusuk.
"Bicara? Lalu kamu akan berkata apa? Bahwa kamu istri yang sempurna? Atau kamu akan memutar balik semua fakta yang ada di depan mataku?"
Adelia tertegun. "Maksudmu … apa?"
"Sudahlah." Reyhan mengambil dasi dan berjalan keluar kamar. "Aku harus pergi cepat. Ada urusan mendadak."
"Pergi? Ke mana?" suara Adelia bergetar.
"Ke Singapura. Rapat luar negeri. Bisa beberapa hari, atau minggu. Jangan banyak tanya," potong Reyhan dingin.
Adelia berlari menyusul, menggenggam lengan suaminya. "Rey, tolong jangan begini … Aku hamil anakmu, tapi kenapa kamu seperti membenciku?"
Reyhan menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam pada tangan Adelia yang memegang lengan kemejanya.
"Lepaskan."
"Tidak, Rey! Kalau aku ada salah, katakan! Jangan siksa aku dengan diam begini."
Reyhan menarik napas panjang, lalu menepis tangan Adelia kasar hingga wanita itu sedikit terhuyung.
"Aku nggak mau ribut pagi-pagi. Jangan paksa aku untuk mengatakan hal yang akan kamu sesali."
Adelia berdiri membeku. Dadanya sesak. "Apa yang terjadi padamu, Rey … kenapa kita jadi begini?"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Reyhan mengambil koper kecilnya dan melangkah keluar rumah. Suara pintu yang dibanting terdengar nyaring, membuat Adelia terjatuh berlutut di lantai dengan air mata yang akhirnya tumpah.
"Reyhan … aku bukan seperti yang kamu pikirkan…" bisiknya lirih.
Di Bandara Changi, Singapura
Emma menyambut Reyhan dengan senyum lebar. Dress merah marunnya tampak kontras dengan koper Louis Vuitton yang digenggamnya.
"Aku senang kamu akhirnya ikut, Rey."
"Aku hanya datang untuk rapat. Jangan berharap lebih," jawab Reyhan singkat.
Emma tersenyum penuh arti. "Tentu saja … rapat." Ia mengaitkan tangannya di lengan Reyhan, meskipun pria itu tidak membalas.
"Lagipula keluarga besarku sudah menunggumu. Mereka ingin mengenal calon menantu mereka."
Reyhan menghentikan langkahnya, menatap Emma tajam. "Jangan gunakan kata ‘calon menantu’. Aku tidak ada niat seperti itu."
Emma mengangkat alis, masih dengan senyum liciknya. "Tentu saja, Rey. Kita lihat saja … sampai kapan kamu bisa mempertahankan sikap dingin itu."
Di sisi lain, Adelia duduk sendirian di ranjang. Ponselnya berkali-kali dia buka, berharap ada pesan masuk dari Reyhan. Tapi layar itu kosong.
Tangannya bergerak pelan membelai perutnya yang mulai membuncit. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Kamu dengar, Nak? Papamu pergi … entah sampai kapan dia pulang."
Di luar rumah, Juan—si asisten Vincent—masih duduk di dalam mobil sambil mengintip ke arah jendela kamar Adelia, dari balik gorden kamar yang terbuka.
"Waduh … Nona Delia kayaknya lagi nangis tuh. Bos Vin pasti ngamuk kalau tau." Juan menghela napas. "Semoga aja Reyhan cepet sadar kalau istrinya itu cantik sekali."