NovelToon NovelToon
Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Balas dendam pengganti
Popularitas:312
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Gena Febrian pernah mengambil resiko untuk kehilangan segalanya demi seorang Indri, perempuan yang Ia cintai namun perempuan itu malah meninggalkannya untuk orang lain. Semenjak saat itu Ia bersumpah akan membuat hidup Indri menderita. Dan kesempatan itu tiba, Indri memiliki seorang anak sambung perempuan. Gena c akan menemukannya, membuatnya jatuh cinta padanya, dan kemudian dia akan menghancurkannya.

Sally Purnama seorang staff marketing dan Ia mencintai pekerjannya dan ketika seorang client yang dewasa dan menarik memberi perhatian padanya Ia menaruh hati padanya.

Tak lama kemudian dia menerima ajakan Gena, lalu ajakan lainnya. edikit demi sedikit, Genamengenal perempuan yang ingin ia sakiti, dan ia tidak bisa melakukannya. Dia jatuh cinta padanya, dan Sally jatuh cinta padanya.

Tapi-dia telah berbohong padanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terjebak. Saat Sally menemukan kebenaran, dia patah hati. Pria pertama yang sangat dia cintai telah mengkhianatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Salju tipis menyelimuti trotoar-trotoar kota Kopenhagen pagi itu. Udara dingin menggigit kulit, tapi langit tampak cerah, dan sinar matahari musim dingin yang lembut menyusup di antara bangunan klasik Denmark yang megah.

Angin berhembus pelan, membawa aroma kayu bakar dari rumah-rumah tua di sepanjang kanal. Pohon-pohon tanpa daun berdiri kaku seperti lukisan hitam-putih, sementara daun-daun beku yang tersisa menempel kaku di dahan. Sepeda-sepeda bersandar rapi di pagar besi, bannya menyisakan jejak ringan di atas salju. Di kejauhan, lonceng gereja tua berdentang pelan, bergema dalam keheningan pagi yang nyaris suci.

Sally menyesap latte hangat dari cangkir kertas di tangannya. Syal wol abu-abu melilit lehernya, menahan hawa dingin yang merambat masuk. Ia duduk di bangku taman, memandangi kanal yang mengalir tenang. Airnya memantulkan cahaya langit dan bangunan-bangunan kuno dengan jendela besar dan atap berwarna merah bata yang berbaris seperti kartu pos.

Di seberangnya, kafe-kafe kecil mulai membuka pintu, aroma roti dan kopi menyeruak dari celah pintu yang terbuka sebentar. Warga lokal melintas dengan langkah cepat dan wajah tersembunyi di balik mantel bulu. Pagi itu tampak seperti rutinitas biasa bagi mereka—tapi bagi Sally, semuanya terasa asing, dan sekaligus akrab. Penuh kenangan yang belum sempat menjadi nyata.

Pikirannya mengembara, jauh melintasi waktu dan jarak, kembali pada wajah yang tak kunjung bisa ia lupakan—Gena.

Negara ini adalah impian Gena. Berkali-kali lelaki itu menyebutkan dalam obrolan mereka, tentang keinginannya tinggal di Kopenhagen. Kota yang katanya tenang, teratur, dan jauh dari kekacauan masa lalu. Dulu, Sally hanya menanggapi dengan tawa kecil. Ia tidak pernah menyangka bahwa suatu hari, ia akan benar-benar berada di sini. Mencari seseorang yang meninggalkannya tanpa jejak.

“Kalau bukan karena Jefry, aku mungkin masih percaya kamu benar-benar pergi tanpa alasan, Gen,” gumam Sally, suaranya teredam oleh napasnya sendiri yang membentuk embun di udara dingin.

Ia kembali membuka ponsel, mengecek pesan dari Jaka—pria yang selama ini berusaha menjaganya. Tapi Sally belum membalas. Ada amarah di hatinya, meskipun ia tahu Jaka hanya ingin melindunginya. Ia hanya butuh waktu.

Kemarin malam, Sally kembali memutar rekaman suara Jefry. Kata-katanya bergema kembali dalam pikirannya.

"Gena enggak pernah ninggalin kamu karena enggak sayang, Sa. Dia kabur karena merasa enggak pantas buat kamu. Dia enggak mau kamu jadi korban hidupnya."

Itulah yang membuat Sally membeli tiket ke Denmark secepat kilat. Tanpa pikir panjang. Tanpa rencana pasti. Ia hanya mengikuti dorongan hati.

Ponselnya berdering.

Nama di layar: Fani.

Sally menjawab dengan cepat, menyandarkan punggung ke bangku taman.

"Gimana, Sa? Di Denmark lu udah ke mana aja?" suara Fani terdengar riang.

Sally tersenyum kecil. “Banyak. Gue udah jalan-jalan ke beberapa tempat. Ke Nyhavn, ke Tivoli Gardens, ke kastil Rosenborg... indah banget, Fan.”

"Wah asik! Tapi..." Fani menurunkan nada suaranya, "Lu udah ketemu Gena belum?"

Sally menghela napas. Matanya memandangi sepasang burung camar yang terbang rendah di atas kanal. “Belum, Fan... Gue cuma tahu dia di Denmark, tapi enggak tahu tepatnya di mana.”

“Lu beneran yakin nyari dia? Sendirian gitu?”

“Aku enggak tahu ini bodoh atau nekat, Fan... Tapi hati gue enggak tenang sebelum ketemu dia.”

Ada jeda hening dari seberang.

“Gue ngerti, Sa. Tapi lu harus hati-hati ya. Jangan terlalu berharap.”

Sally mengangguk pelan walau Fani tak bisa melihat. "Iya. Gue tahu."

Langkah-langkah kaki orang lewat di trotoar berbatu mengiringi percakapan mereka. Sally berdiri, berjalan perlahan menyusuri pinggiran kanal, masih berbicara dengan Fani.

“Lu sekarang lagi di mana?” tanya Fani, masih terdengar cemas.

“Gue... di Kopenhagen, Fan,” jawab Sally. Matanya memindai jalanan, seperti biasa, berharap wajah itu muncul dari antara kerumunan.

Dan saat itu juga, sesuatu membuatnya berhenti melangkah.

Di seberang jalan, di antara keramaian sepeda dan pejalan kaki, Sally melihat sosok yang sangat dikenalnya.

Seorang pria sedang bersepeda santai, mengenakan jaket biru tua dan syal rajut krem. Wajahnya teduh, sama seperti yang ia ingat. Matanya tajam, namun menyimpan lelah yang dalam.

Itu Gena.

“Fan,” ucap Sally panik, “Udah dulu ya. Gue ada urusan penting.” Tanpa menunggu jawaban, ia menutup sambungan telepon.

Hatinya berdegup cepat. Kakinya bergerak sendiri, mendekat ke arah seberang jalan. Gena, yang awalnya tak menyadari, akhirnya menoleh.

Mata mereka bertemu.

Satu detik.

Dua detik.

Lalu Gena menghentikan sepedanya perlahan, turun, dan berdiri di sisi jalan.

Sally pun menghentikan langkahnya.

Seakan seluruh kota berhenti sejenak. Semua suara meredam.

Keduanya hanya saling menatap. Dan perlahan—sebuah senyum tipis muncul di wajah mereka. Begitu familiar, begitu menenangkan, namun juga menyakitkan karena terlalu lama tak terlihat.

“Akhirnya,” suara Sally pecah dalam napasnya, “aku nemuin kamu, Gen.”

Gena tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Sally dengan mata yang berkaca-kaca, seolah tak percaya wanita yang ia tinggalkan jauh di Indonesia kini berdiri di hadapannya.

Sally melangkah mendekat. Tidak ada pelukan. Tidak ada ledakan emosi. Hanya keheningan yang penuh makna.

"Aku pikir aku gila," kata Gena lirih. "Tiap pagi aku bangun, dan berharap kamu muncul dari kabut kota ini. Tapi kamu enggak pernah datang. Aku pikir, aku harus belajar hidup tanpamu."

Sally menghela napas, menahan air mata. “Dan aku pikir... aku harus mencari kamu sendiri, karena aku enggak bisa hidup sambil pura-pura lupa.”

Keduanya terdiam sejenak, sampai akhirnya Gena menunjuk ke arah kanal. “Ada café kecil di ujung sana. Kamu mau duduk dan cerita semuanya?”

Sally mengangguk. “Tapi kamu yang mulai dulu.”

Café itu kecil, temaram, dengan dinding bata ekspos dan jendela besar yang menghadap ke kanal. Di dalamnya hangat, wangi kopi bercampur kayu bakar.

Gena menarik kursi untuk Sally, lalu duduk di hadapannya. Mereka memesan cokelat panas dan kue kayu manis khas Denmark. Tak satu pun dari mereka langsung menyentuhnya.

Sally memandangi wajah Gena. Ada gurat baru di matanya. Tapi juga ada ketenangan yang dulu jarang ia lihat.

“Kenapa kamu kabur, Gen?”

Gena menunduk. Tangannya meremas gelas kertas yang ia pegang. “Aku... takut. Aku rasa... kamu terlalu baik buat aku. Aku penuh luka, penuh kegagalan. Aku cuma takut suatu hari kamu bakal nyesel sama pilihamu.”

“Kamu enggak pernah tanya aku, apakah aku siap dengan itu semua.”

“Aku tahu,” Gena mengangguk. “Tapi Jaka... dia bilang lebih baik kamu enggak tahu semuanya. Dia tahu betapa rusaknya aku.”

Sally tersenyum pahit. “Dan tetap saja, aku tahu. Karena cinta itu enggak butuh persetujuan. Aku enggak mau jadi korban perlindungan, Gen. Aku cuma mau tahu kamu jujur.”

Gena menatap Sally dalam-dalam. Matanya memerah. “Aku masih cinta sama kamu, Sa.”

Air mata Sally jatuh. Ia tak mencoba menyekanya. “Aku enggak datang ke sini buat jawaban. Aku cuma mau kamu tahu... kamu enggak sendirian.”

Gena menghela napas panjang. “Aku enggak berani pulang. Aku takut semua orang membenciku.”

“Bukan semua orang,” potong Sally. “Aku enggak. Jefry juga enggak. Bahkan, mungkin, Jaka pun enggak.”

Gena terdiam. Lalu, perlahan, tangannya meraih tangan Sally di atas meja.

“Sally... maukah kamu tinggal sebentar di sini? Cuma beberapa hari... bareng aku?”

Sally menggenggam tangan Gena. “Aku ke sini enggak buat nyari masa lalu, Gen. Tapi kalau kamu siap bangun masa depan... aku di sini.”

Gena menutup matanya sejenak, menahan air mata. Lalu tersenyum tipis.

“Terima kasih... karena tetap mencari aku.”

Mereka tidak tahu ke mana takdir akan membawa. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka duduk saling menatap, dengan hati yang tak lagi menyembunyikan luka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!