NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Umar menghela napas panjang saat menuntun langkah Citra ke rumah barunya, seperti janjinya. Mata Citra yang berkaca-kaca dan suara merengeknya yang lirih membuat Umar tak kuasa menolak, meski sebenarnya dia tahu mereka tadi sudah sama-sama naik taksi dari bandara ke sini.

"Citra memang selalu begini," gumam Umar pelan, bibirnya mengetat, berusaha menekan rasa jengkel yang mulai mengintip. Ia tahu, ini bukan soal keinginan, melainkan kewajibannya sebagai suami.

Perjalanan hampir sejam dari bandara terasa semakin berat di tubuhnya. Begitu sampai, tanpa jeda, Umar langsung memesan taksi lagi, menyiapkan diri menjemput Nay, istri pertamanya, dari yayasan tempatnya bekerja.

Langkahnya terasa berat, otot-ototnya mulai protes setelah bolak-balik antara dua dunia yang harus ia jalani. Tapi dia terus berjalan, menahan letih demi menjaga keseimbangan hidupnya yang rumit.

Umar menatap kosong ke luar jendela, jarinya mengetuk-ngetuk pelan di meja seolah mencari ritme yang bisa menenangkan pikirannya.

"Kenapa semua ini harus terasa begitu rumit?" gumamnya dalam hati, suara itu nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk yang berkecamuk di kepalanya.

Dia menarik napas panjang, menahan gelombang perasaan campur aduk yang mendesak untuk lepas. Namun, sekejap wajahnya merekah sedikit saat teringat rumah baru Citra yang tak jauh dari kampus tempatnya mengajar, hanya sekitar sepuluh menit perjalanan.

"Ini setidaknya memudahkan aku," pikir Umar, membayangkan betapa praktisnya nanti menjalani hari-harinya.

Lokasi tempat praktik Citra yang berdekatan pun memberi secercah harapan; tampak jelas bahwa keputusan ini bukan tanpa pertimbangan matang. Tapi kelegaan itu seperti asap yang cepat menghilang, berganti dengan keraguan yang terus menggerogoti. Umar menggigit bibir bawahnya, matanya menatap kosong ke titik yang sama, seperti mencari jawaban yang tak kunjung datang.

"Benarkah ini keputusan yang adil untuk semua? Ataukah aku sedang menggali lubang untuk diriku sendiri?" pikirnya berat, seolah menimbang beban yang tak terlihat namun menyesakkan dada. Ia hanya bisa merangkum semuanya dalam keheningan, menahan badai dalam hati yang terus mengusik.

Umar berdiri tegak di depan gerbang yayasan tempat Nay mengajar. Sinar senja memantul lembut di kaca jendela sekolah, tapi Nay belum tampak keluar. Umar mengusap dagunya pelan, bingung antara menunggu atau pergi dulu. Akhirnya dia mengeluarkan dompet, memberi isyarat kepada tukang taksi yang melintas.

“Mendingan bayar dulu, nanti aku pulang bareng Nay pakai angkot, atau kalau susah, panggil taksi lagi,” pikirnya.

Langkah kaki Umar cepat memasuki gedung sekolah setelah menyapa satpam di pintu masuk dengan senyum sopan. Di ruang guru, dia berharap bisa bertemu Nay lebih cepat. Seorang wanita berbicara,

“Tunggu sebentar, Pak. Bu Nay lagi ngajar di kelas. Mungkin sebentar lagi keluar.”

Jantung Umar berdegup sedikit lebih cepat. Dalam hatinya, dia berdoa, ‘Semoga Nay nggak marah aku tiba-tiba datang.’ Dia hanya mengangguk pelan, menahan gugup yang mengganjal.

Umar duduk termenung di sudut ruangan, jemarinya tak henti mengetuk-ngetuk layar ponsel. Deretan notifikasi pesan dari Citra memenuhi layar, satu demi satu muncul tanpa henti. Matanya mengerut, menatap panjang deretan kata yang terasa seperti serangan halus.

“Kenapa dia sibuk banget sih nelpon aku? Padahal baru beberapa jam kita pisah,” gumamnya pelan sambil menyembunyikan wajahnya di telapak tangan.

Jantungnya berdebar, rasa cemas menyeruak ikut merayapi pikiran. Rasanya Citra sulit melepaskan dirinya, seperti takut kehilangan bahkan dalam hitungan detik. Umar menghela napas panjang, dadanya naik turun bergelombang, pertanyaan-pertanyaan membebani benaknya.

“Haruskah aku mulai menjaga jarak? Kalau Nay sampai tahu, gimana ya? Aku nggak mau dia cemburu atau malah khawatir,” bisiknya pelan, seperti menenangkan diri sendiri dalam kegelisahan. Tangannya mengepalkan ponsel erat, seolah memaksa hatinya agar tenang.

Aku berjalan tergopoh-gopoh, tangan penuh tumpukan buku pelajaran yang hampir saja terjatuh. Mataku segera mencari-cari sosoknya di sudut ruangan yang sudah terasa seperti pelabuhan damai. Di sana, Mas Umar duduk gelisah, jari-jarinya lincah memainkan handphonenya. Tatapan kami bertemu seketika, dan seulas senyum lebar merekah di wajahnya senyum yang selalu berhasil menghangatkan sudut hatiku yang paling dingin.

"Mas Umar, sudah lama nunggu, ya?" suaraku keluar dengan nada ringan, padahal aku tak benar-benar butuh jawaban. Dia hanya membalas dengan senyum yang semakin mengembang, seolah kata-kata tak pernah mampu mengungkapkan apa yang tergambar di matanya.

Aku duduk di sampingnya, mengulurkan tangan. Saat menggenggam tangannya, aku mencium punggungnya perlahan, seakan mengirimkan doa lewat sentuhan itu. Mas Umar, suamiku, yang selalu hadir membawa ketenangan walau hanya lewat diamnya.

"Sudah boleh pulang, kan, Sayang?" suaranya pelan, napasnya bergetar sedikit. Matanya menatap dalam, penuh harap yang tak mampu kusembunyikan. "Aku kangen banget sama kamu, Nay."

Aku memiringkan kepala, mata kutatap tajam sambil pura-pura berpikir. Akhirnya aku cuma terkekeh kecil mendengar ucapannya. Dia memang selalu begini, jujur sampai polos, tanpa ragu, sampai kadang aku merasa seperti gadis remaja yang sedang pertama kali jatuh cinta.

"Sudah sih, Mas. Tapi," jawabku pelan, berusaha menata nada supaya tidak berat, "sepertinya setelah pulang ini masih ada rapat guru-guru sampai Magrib."

Wajah Mas Umar langsung berubah, matanya membesar seperti anak kecil yang baru tahu es krimnya jatuh ke lantai. Ada sedikit kerutan sesal di dahinya, tapi dia tetap terbuka, menunjukkan perasaannya tanpa menutupi.

Rasanya aku ingin mengelus kepalanya dan bilang jangan khawatir, tapi aku tahu dia harus menyelesaikan tugas dulu.

"Ayo, kita pulang saja, sayang! Setelah ini aku telepon kepala yayasan bilang aku ‘menculik’ kamu biar gak ikut rapat," ujarnya semangat, berusaha membuatku tersenyum.

Nay terpaku sesaat, terbius oleh bisikan lembut suaminya yang penuh rayuan. Namun tiba-tiba pikirannya tertarik ke tumpukan pekerjaan di kantor.

"Eh, tunggu dulu, Mas! Tas dan laptopku masih tertinggal di meja," katanya cepat, melepaskan tangan Umar dengan ragu.

Wajahnya menunjukkan pergulatan antara keinginan segera pulang dan tanggung jawab yang menunggu. Dalam hati, Nay bertanya-tanya, apakah ia harus memilih antara kebahagiaan bersama suami atau beban pekerjaannya?

"Bisakah aku dapat keduanya?" gumamnya lirih, berharap suatu hari menemukan jalan tengah itu.

Akhirnya, mereka duduk bersama di taksi, saling menggenggam tangan erat. Detak jantung mereka berdetak cepat, menghangatkan ruang hening di antara mereka, seperti ingin menghapus jarak yang lama terpisah.

"Ibu dan bapak sehat, kan, Mas?" tanya Nay dengan mata yang berkaca-kaca, seolah menyimpan keresahan dalam setiap suaranya. Umar mengangguk sambil menarik napas lega, tangannya menggenggam erat jemari Nay.

"Sehat, sayang! Oh iya, ibu menitip sesuatu untukmu. Nanti kalau sampai rumah, kamu bisa buka sendiri," ujarnya hangat.

"Selain itu ada oleh-oleh wingko babat khas Semarang, kamu pasti suka," lanjut Umar, wajahnya memancarkan kenyamanan yang membuat Nay merasa hangat di hati.

Nay menatap jendela yang mulai gelap, bibirnya bergetar pelan.

"Aku jadi tak sabar ingin cepat sampai rumah," gumamnya lirih.

"Setelah sampai nanti, aku akan telepon ibu dan bilang terima kasih," Nay menunduk sejenak, membayangkan wajah ibu mertuanya yang selama ini selalu dirindukan.

Umar tersenyum lebar melihat sikap tulus Nay. Hatinya makin mantap,

"Kamu memang pilihan yang tepat."

Tiba-tiba Umar bersuara lembut, tapi penuh godaan,

"Nanti sampai rumah, aku kunci kamu di kamar, ya."

Nay terkejut, langsung mencubit lengan Umar dengan cemberut manis. Tapi tak lama, senyumnya muncul lagi saat tangannya mengusap lembut genggaman Umar, terasa kembali hangat dan penuh cinta..

Umar menatap Nay penuh harap, suaranya tercekat sedikit,

"Nay, sayang… Ngomong-ngomong, kamu sekarang nggak sedang berhalangan, kan?"

Matanya menyelidik, mencoba menangkap respon dari istrinya. Nay menggeleng cepat, bibirnya membentuk senyum tipis, membuat dada Umar sedikit lega. Matanya berkaca-kaca, sinar kebahagiaan mengalir pelan di wajahnya.

“Alhamdulillah,” gumam Umar lirih dalam hati, suara senyumnya hampir tak terdengar.

Tangannya menggenggam lembut tangan Nay, rasa syukur memenuhi dadanya. Hari ini, bersama istrinya yang paling ia cintai, berjalan menuju ladang yang menghampar luas, Umar merasa hidup ini penuh berkah. Tuhan yang Maha Pengasih memang selalu menyertai langkah mereka berdua.

1
tina napitupulu
nyesak tak tertahankan...
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!