Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 17
Bianca duduk rapi di kursi ruang tunggu lantai delapan, kedua tangannya menggenggam map cokelat yang berisi CV dan portofolio hasil karyanya. Ruangan itu bernuansa modern dominan putih dan abu-abu dengan dinding kaca yang memperlihatkan hiruk-pikuk kota dari ketinggian. Beberapa kandidat lain duduk berjajar, sebagian sibuk membuka ponsel, sebagian lagi terlihat mengulang jawaban di kepala mereka.
Bianca menarik napas perlahan.
Jantungnya berdegup cepat, tapi bukan karena takut melainkan karena harap. Sudah lama ia membayangkan hari ini. Hari di mana ia tidak hanya menjadi “istri seseorang”, tetapi kembali menjadi dirinya sendiri.
“Bianca Kartika.”
Nama itu terdengar dari arah pintu ruangan wawancara.
Bianca segera berdiri. Ia merapikan kemejanya, melangkah dengan punggung tegak dan wajah tenang. Ketika pintu dibuka, ia disambut dua orang pewawancara seorang pria paruh baya berkacamata dan seorang perempuan dengan riasan minimalis namun berwibawa. Di meja mereka tertera name tag HR Manager dan Head of Planning Department.
“Silakan duduk, Bianca,” ucap sang HRD dengan senyum profesional.
“Terima kasih,” jawab Bianca mantap.
Wawancara dimulai dengan pertanyaan standar latar belakang pendidikan, pengalaman kerja daring yang pernah ia jalani, alasan melamar di perusahaan tersebut. Bianca menjawab satu per satu dengan jelas, terstruktur, dan tidak bertele-tele. Nada suaranya tenang, pilihan katanya lugas, sorot matanya fokus.
Ketika masuk ke pembahasan teknis, suasana berubah.
“Kami bergerak di bidang perencanaan tata ruang terpadu. Menurut Anda, tantangan terbesar dalam penataan kawasan urban saat ini apa?” tanya Head Department.
Bianca tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, lalu berkata,
“Ketidakseimbangan antara fungsi ekonomi dan keberlanjutan sosial. Banyak kawasan dirancang untuk tumbuh cepat, tapi lupa menyediakan ruang hidup yang manusiawi. Padahal tata ruang bukan hanya soal bangunan tapi tentang bagaimana manusia berinteraksi di dalamnya.”
Kedua pewawancara saling melirik.
Bianca lalu membuka mapnya, memperlihatkan beberapa sketsa dan konsep rancangan yang pernah ia buat. Ia menjelaskan alur berpikirnya, dasar analisis, hingga solusi yang ia tawarkan. Tidak ada kesan menggurui, tidak pula ragu-ragu. Ia tahu apa yang ia bicarakan.
“Ini menarik,” gumam sang HRD sambil membaca cepat portofolio Bianca. “Anda terbiasa bekerja mandiri?”
“Ya,” jawab Bianca jujur. “Tapi saya juga terbiasa bekerja dalam tim. Bagi saya, perencanaan yang baik lahir dari diskusi, bukan ego.”
Wawancara berlangsung hampir satu jam tanpa terasa. Ketika akhirnya ditutup, Bianca berdiri dan kembali mengucapkan terima kasih.
“Bianca,” panggil Head Department sebelum ia keluar. “Jika nanti kami menghubungi Anda lebih cepat dari jadwal, apakah Anda siap mulai bekerja?”
Bianca tersenyum kecil, tapi matanya berbinar.
“Saya siap.”
Ia keluar dari ruangan dengan langkah ringan. Baru saja duduk kembali di ruang tunggu, ponselnya bergetar.
Nomor tak dikenal.
“Selamat siang, Bianca,” suara di seberang terdengar ramah. “Kami dari tim HR. Kami ingin menyampaikan bahwa Anda diterima. Jika tidak keberatan, kami berharap Anda bisa langsung bergabung hari ini.”
Bianca menutup mulutnya refleks.
“Ha—hari ini?” tanyanya memastikan.
“Ya. Departemen perencanaan sedang membutuhkan tambahan tenaga.”
Bianca menelan ludah, lalu tersenyum lebar. “Saya bersedia. Terima kasih banyak.”
Telepon ditutup.
Bianca duduk terdiam beberapa detik. Lalu matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih—melainkan karena lega. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu terjadi, hidupnya memberi kabar baik yang sepenuhnya miliknya.
Hari itu juga, Bianca diperkenalkan ke tim Departemen Perencanaan Tata Ruang. Ruang kerja mereka dipenuhi papan konsep, peta kawasan, maket kecil, dan layar besar yang menampilkan desain digital. Ia diberi meja kerja sederhana di sudut ruangan, lengkap dengan komputer dan name tag bertuliskan namanya.
“Selamat bergabung, Bianca,” ucap salah satu rekan kerjanya ramah.
Bianca membalas dengan senyum tulus.
“Terima kasih. Senang bisa bekerja di sini.”
Ia menyalakan komputer, membuka file pertama yang diberikan padanya. Jari-jarinya bergerak luwes, pikirannya fokus. Dunia terasa lebih sunyi dalam arti yang baik.
Di tengah segala kekacauan hidupnya, Bianca akhirnya menemukan satu ruang yang benar-benar ia miliki.
Sebuah awal.
Sebuah pijakan.
Dan mungkin… sebuah kekuatan baru untuk bertahan.
Di sebuah kamar apartemen bernuansa gelap, hanya lampu meja yang menyala redup, amarah meledak tanpa sisa.
BRAKK!
Sebuah vas kristal melayang dan pecah menghantam dinding. Pecahannya berhamburan ke lantai marmer, memantulkan kilau tajam seperti emosi yang tak terkendali. Laki-laki itu berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, rahangnya mengeras, urat lehernya menegang.
Matanya merah. Bukan karena menangis melainkan karena amarah yang terlalu lama dipendam.
“Harusnya kau hancur, Sadewa…” gumamnya rendah, nyaris seperti geraman.
Ia menendang kursi di dekatnya hingga terguling. Tangannya meraih pigura foto di meja foto dirinya bersama Sarah, diambil diam-diam di sebuah restoran mewah. Dengan dengusan sinis, pigura itu dihantamkan ke lantai.
“Kau dengar itu?” katanya pada bayangannya sendiri. “Harusnya hari ini kau dipermalukan. Harusnya semua orang melihatmu ditinggalkan di pelaminan.”
Ia tertawa pendek tawa tanpa humor.
“Tapi apa yang terjadi?”
Langkahnya terhenti di depan layar televisi yang masih menampilkan potongan berita sosial foto-foto resepsi pernikahan Sadewa beredar di media daring. Sosok Sadewa berdiri tegak dengan beskap sempurna. Di sampingnya… seorang perempuan.
Cantik. Elegan. Berkelas.
Tangannya mengepal.
“Bianca Kartika,” ucapnya lirih, penuh racun. “Perempuan sialan itu…”
Ia tidak menyangka. Tidak pernah sekalipun membayangkan bahwa rencana yang ia susun rapi pelarian Sarah, kekacauan keluarga, kehancuran mental Sadewa justru berbalik arah. Sadewa tidak jatuh. Tidak hancur. Tidak dipermalukan.
Sebaliknya ia menikah dengan perempuan yang jauh lebih high value dari Sarah.
Laki-laki itu meraih botol minuman di meja, meneguk isinya tanpa peduli. Cairan keras itu membakar tenggorokannya, tapi tidak mampu meredam api di dadanya.
“Aku sudah memastikan Sarah kabur,” katanya penuh amarah. “Aku pastikan dia memilih aku. Aku pastikan Sadewa kehilangan segalanya.”
Tangannya bergetar.
“Tapi sekarang?”
Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajah tampan dengan sorot mata gelap dan licik.
“Sekarang dia justru menang.”
Ia memukul kaca cermin hingga retak. Darah merembes dari buku-buku jarinya, tapi ia sama sekali tidak mengerang. Rasa sakit fisik tak ada apa-apanya dibanding rasa terhina.
Sadewa tidak hanya selamat.
Sadewa naik level.
Dan itu membuatnya gila.
Dengan napas terengah, ia bersandar di dinding, lalu tertawa pelan tawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
“Baiklah,” bisiknya dingin. “Kalau begitu… kita mainkan permainan yang lebih besar.”
Matanya menyipit, penuh tekad berbahaya.
“Kalau tidak bisa menghancurkan pernikahanmu… maka aku akan menghancurkan hidupmu.”
Ia mengambil ponselnya, membuka kontak bernama S.
Belum ditelepon.
Belum sekarang.
“Tenang saja, Sadewa,” katanya seolah berbicara langsung pada musuhnya. “Kau belum tahu siapa aku sebenarnya.”
Lampu kamar dimatikan.
Ruangan tenggelam dalam gelap.
Dan di balik kegelapan itu, sebuah dendam mulai tumbuh pelan, licik, dan mematikan.